Selasa, 23 Desember 2014

Banyak Bertanya Sesat Di Jalan?


Kurang lebih 14 abad yang lalu, Rasulullah SAW sudah mengingatkan kita dalam sebuah hadits:  “Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai apabila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka “qila wa qala” (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat) serta menyia-nyiakan harta.” Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 1715. Hadits tentang tiga perkara yang dibenci ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Mughirah hadits no.2408 dan diriwayatkan juga oleh Muslim. (Sumber: Almanhaj.or.id).

Aku teringat tentang kata-kata seseorang (sebut saja ia Mawar) hehe. Dia bilang,“Jangan banyak bertanya, nanti kita sama aja kayak Bani Israil”. #Jleb. Di sisi otak yang lain kita dicekoki peribahasa sejak SD, kalau malu bertanya itu akan sesat di jalan. Akhirnya kita dilema mau milih yang mana. Imbasnya, di kelas atau di majelis ilmu kita hanya bisa manggut-manggut. Hanya ada dua arti antara mengerti dengan isyarat kepala mengangguk atau manggut-manggut karena mengantuk. Bertanya itu bukan sebuah aib. Justru itu adalah dorongan kesemangatan seseorang dalam kebaikan. Sesungguhnya bertanya itu sikap yang mulia. Buktinya, dulu para sahabat sering bertanya banyak hal tentang masalah agama kepada Rasulullah SAW. Bertanya itu pekerjaan mulia. Dalam tanda kutip, bertanya untuk mengambil manfaat. Bukan bertanya untuk riya. Bukan bertanya dengan niat menjatuhkan. Bertanya karena mencari kebenaran, bukan mencari segala pembenaran. Nah..! Digaris bawahi dan ditulis tebal ya. J

O..ya. Bani Israil. Tentang Bani Israil yang hobinya nanya. Aku setuju kepada Ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim” yang mengatakan bahwa  mereka (Bani Israil) itu gak cuma hobi nanya. Tapi bawel. Cerewet. (Masih mendinglah quote-quote cinta zaman sekarang yang menyatakan kalau cewek yang bawel binti cerewet itu sebenernya setia kalau udah sayang). Hehe *abaikan. Nah ini lebih parah. Cerewetnya mereka, Allah firmankan dalam Al Quran untuk alasan I’tibar dan agar kita dapat mengambil hikmahnya. Mereka itu rewel atau cerewet mulai dari soal makan. Seperti yang Allah firmankan dalam Surat Al Baqarah ayat 61. Sampai menjadi kufur dan mengingkari Nabinya (Q.S.Al Baqarah: 55). Mereka juga banyak bertanya (Q.S. Al Baqarah 68).

So gimana ya kalau konteksnya itu anak-anak kecil yang doyan nanya? Kayak gambar di atas ononoo….Gak mungkin juga anak-anak yang lagi imutnya gitu kita samakan dengan Bani Israil. Dalam pola perkembangan otak,  memang pada sebagian anak bisa menimbulkan sikap kritis. Dan itu sah-sah saja. Banyak bertanya disini, kita bertanya pada hal-hal yang sudah jelas, apalagi kalau jawabannya sudah diatur di dalam Al Quran dan Hadits. Jangan salah kawan. Dalam bertanya kita juga punya adab-adabnya. Biarkanlah saya menculik sedikit ilmu Syaikh Shalih Bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh -hafizhahullah- tentang adab bertanya. Diantaranya adalah:

Pertama, salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya dengan pertanyaan yang jelas dan tidak samar, dengan kata-kata yang lugas dan tidak putar-putar yaitu menjelaskan duduk permasalahan sebelum bertanya. Kedua, adab lain yang perlu diperhatikan oleh penanya adalah tidak bertanya tentang sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya. Sebagian penuntut ilmu, atau orang yang sudah bisa menelaah masalah, terkadang sudah pernah menelaah sebuah masalah dan mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang hal tersebut, namun ia datang kepada mufti (penasehat) lalu bertanya. Jika sang mufti menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan salah satu pendapat yang ada, namun terdapat pendapat ulama yang berlainan, si penanya berkata: “Apa dalil jawaban anda?“. Jika dalilnya dijelaskan, si penanya pun membantah dalil tersebut, atau ditentang dengan dalil lain, atau ia berkata “Sebagian ulama berkata tidak demikian“, atau semacamnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: “Bertanyalah kepada ahli dzikir jika engkau tidak tahu”(Q.S An-Nahl: 43)


Jika sudah tahu, jangan bertanya. Karena anda sudah punya ilmunya, dan waktu seorang mufti atau seorang penuntut ilmu itu dapat digunakan untuk kepentingan dan kewajiban lain yang sangat banyak. Sehingga ia dapat menghemat waktu untuk aktifitas yang lainnya. Bedakanlah antara bertanya untuk mengambil manfaat atau untuk mengajari -padahal anda ketika bertanya berarti anda dalam kondisi seseorang yang tidak tahu atau untuk mengajak diskusi.

Terakhir, inilah yang menjadi opsi jawaban dari pertanyan pada judul tulisan ini. Opsi lainnya aku kembalikan kepada para pembaca yang jauh lebih tahu dan mengerti. Aku hanya membagikan apa yang sekiranya bermanfaat. Tidak ada sama sekali niat untuk menyindir siapa pun. *Eh jadi curhat. Oke serius. Apakah banyak bertanya bisa membuat kita sesat di jalan ? Nah! Oleh karena itu, merupakan adab dalam bertanya adalah tidak bertanya kepada lebih dari satu orang alim untuk satu pertanyaan, karena dapat berakibat membuang-buang waktu orang alim. Dan selanjutnya dapat menyebabkan penanya kebingungan. Kebanyakan mereka berkata: “Saya sudah lelah bertanya namun masih bingung. Mufti A berkata demikian, Mufti B berkata demikian“. Kita katakan: “Anda yang salah dari awal. Karena anda bertanya kepada lebih dari satu orang alim. Tanyalah kepada orang alim yang anda percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Ambillah fatwanya dan anda pun tidak ada beban lagi di hadapan Allah. Karena yang Allah perintahkan kepada anda adalah bertanya kepada ahli dzikir, dan anda telah melaksanakannya. Janganlah menambah-nambah beban bagi diri anda”.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Q.S Al Maaidah: 101).

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Wallahu ‘Alam Bishawab…


Sabtu, 20 Desember 2014

Allahu Yasyfiika Ananda Haris

Haris Maulana Penderita Hidrosefalus
Sungguh. Aku tidak tahu ini hanya kebetulan atau memang sudah takdir Tuhan. Aku harus dipertemukan dengan seorang anak yang menderita hidrosefalus. Awalnya, aku menganggap ini hanya sesuatu yang remeh. Jelas, tujuanku hanya satu. Ya.Mendapat berita feature (kisah) untuk aku serahkan kepada dosen sebelum UAS 26 Desember mendatang. Sebagai tugas mata kuliah praktikum jurnalistikku di kampus. Aku tidak terlalu peduli esensi berita itu sendiri. Yang penting bagiku, tugasku selesai. Ya. Hanya itu.
Waktu itu, temanku Lathif yang menyarankan agar aku meliput berita tersebut. Bahkan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Hah. Aku berfikir, apa itu akan menjadi nilai berita yang WAH nantinya? Apa berita “seperti itu” bisa nyangkut di Koran? Heyy….bocah penderita kepala air seperti itu sudah sangat sering muncul di televisi kawan?? Mainstream bukan..?
Akhirnya  karena “fikiran iblisku” itu, aku menunda-nunda hingga berhari-hari lamanya. Dan Jumat (19/12) bulat aku rencanakan untuk menuju lokasi. Dan mungkin ini adalah teguran Tuhan, temanku yang bersedia mengantarkanku sejak kemarin, ia berhalangan. Pikiranku mulai kacau, aku layangkan pesan singkat kepada temanku yang lainnya yang kebetulan tahu dimana lokasi tempat tinggal anak tersebut. Namun nihil, ia juga tidak bisa mengantarkanku.
Setelah itu, aku meminta alamatnya kepada temanku yang baru saja aku sms. Karena Tuhan juga tahu aku seorang penakut yang tidak punya nyali ke tempat asing sendirian, Alhamdulillah dengan kesediaan temanku Reni untuk mengantarku, sekitar pukul 10.00 WIB kita berangkat. Hanya beberapa ratus meter saja dari kampusku, dengan satu kali naik kendaraan angkutan umum kita sampai. Kita turun di pinggir jalan raya. Tepat di depan kami underpass kokoh yang usianya masih seumur jagung. Namun ternyata setelah bertanya kepada orang sekitar, mereka bilang, lokasi rumah anak tersebut cukup jauh dari jalan raya tersebut.
Kau tahu bagaimana terik panas di tengah hari yang membakar kulit dan menusuk tulang? Ya, seperti itulah. Kita harus berjalan lagi sekitar 100 meter sambil ditampar-tampar panas matahari. Melelehkan setiap pori-pori kulit. Di atas aspal panas yang agak rusak, kami memasuki sebuah tempat yang hanya ditumbuhi sedikit  rumput kering di sekitarnya. Sangat luas. Hening diringkuk sepi. Kami juga melihat telah berdiri kokoh di sebelah pintu masuknya dua buah apartemen mewah yang sepertinya baru diisi oleh segelintir orang. Nampaknya usia bangunan itu masih sangat belia.
Dan aku tidak peduli. Mengingat perjalanan kami masih cukup jauh, derap langkah kami percepat. Sudah lama kita berjalan namun sepi. Tentu tidak ada seorang pun yang bisa kita tanya. Syukurlah beberapa saat kemudian kami melihat ada satu rumah sederhana dengan dua orang ibu-ibu sedang berdiri di depannya. Setelah menanyakan apa maksud dan tujuan kami, Alhamdulillah mereka tahu dan salah satu ibu-ibu itu bersedia mengantarkan kami ke lokasi. Dengan sebatang rokok yang masih sempurna bentuknya, ia jepit dengan kedua bibirnya itu, dan berjalan sekitar 10 langkah di depan kami. Aku sempat merasa bersalah karena Reni mengeluh kakinya sedikit lecet akibat perjalanan yang cukup jauh tadi.
Kami menuruni alas tanah yang sedikit licin. Saling menuntun satu sama lain. Keringatku mulai berlompatan. Dan entah kenapa dadaku berdegup lebih kencang. Ternyata ada satu kampung kumuh di tengah hiruk pikuk kota Bogor ini. Jujur saja, ini kali pertamaku menginjakkan kaki di tempat kumuh seperti ini. Hatiku mulai terenyuh. Aroganku mulai melemah. Kami terus menyusuri satu dua rumah yang bagi kami itu sangat tidak layak. Hanya dibangun oleh kayu-kayu, dicampur triplek, kardus dan ah…mataku tak sanggup menerima. Apalagi rumah-rumah mereka itu di samping sungai. Bagaimana jika terjadi longsor? Bagaimana jika nanti terkena banjir? Ya Allah………..
Aku menunduk. Seorang ibu yang tadi mengantarkan kami, menunjuk salah satu rumah. Alhamdulillah, ternyata kami sudah sampai. Aku menarik tangan Reni yang berjalan di depanku. Aku berteriak kecil, aku bilang kepadanya bahwa aku takut tidak sanggup melihat anak itu. Dan benar saja, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, anak kecil yang (maaf) kepalanya sangat besar tengah tergeletak di atas kasur. Semua suara seperti tersekat di tenggorokan. Ujung mataku mulai basah. Aku tahan sekuat mungkin agar tidak menangis.
Setelah berbincang sebentar, kami dipersilahkan masuk oleh sang ibu. Anaknya itu bernama Haris Maulana, ia masih sangat kecil. Usianya baru dua tahun. Ia menderita sakit hidrosefalus sejak lahir. Namun belum mendapat penanganan serius karena terbentur biaya. Ayahnya hanya seorang pemulung barang rongsokan dan buruh bangunan. Itu pun jika mendapat tawaran. Penghasilannya hanya sekitar 30-40 ribu per hari. Selama ini Haris hanya dibantu oleh sebotol obat yang harganya 100.000/ botol dan itu habis dalam jangka waktu 5 hari saja. Sampai saat ini, belum ada perhatian serius dari pemerintah setempat. Hanya peran segelintir donatur yang tidak menentu ada, yang ikut berbela sungkawa membelikan susu, pampers, atau sedikit uang. Sekali lagi, para donatur itu tidak menentu adanya. Saran dokter, ia harus dioperasi dan itu tidak cukup hanya sekali, namun seumur hidup. Lagi-lagi karena terbentur biaya yang sangat besar, akhirnya orang tuanya hanya bisa pasrah dan berusaha semampunya.
Barisan pertanyaan yang telah aku siapkan telah ibunya jawab. Aku lihat. Aku lihat matanya terus berkaca-kaca seiring berkata. Walau ia berusaha mematahkannya dengan ulasan senyum sederhana. Aku meminta izin kepada sang ibu untuk menyentuh Haris. Aku usap pipinya dan berdoa semampuku dalam hati. Ibunya menekan ubun-ubun Haris sampai kulit kepalanya nampak menjorok ke dalam. “Tuh Kak, lembek..”, ujar sang ibu kepadaku.  Astagfirullah….. Aku terkejut. Hatiku menjerit melihatnya. Terasa nyeri seluruh gumpalan hati. Aku tahan lagi sekuat mungkin agar mataku tidak meleleh. Bisa apa diriku? Bisa apa!?
Hening. Sejenak mulut kami terbungkam melihat realita ini. Seperti saling beradu antara teriakan ampun dan kesedihan yang menonjok-nojok dada kami hingga terasa sesak. Kami pamit. Dalam perjalanan pulang kami berharap, semoga berita ini bisa menelusup relung hati orang-orang yang lebih dari cukup hartanya. Mengusik dinding kalbu pemerintah untuk lebih peduli terhadap rakyatnya yang miskin. Membangkitkan kepekaan sosial mereka yang lama pingsan karena dilempar oleh kemewahan dan jabatan.
Terakhir, semoga Allah meridhai setip langkah kita menuju kebaikan. Aaamiin…
Wallahu Yasyfiik Ananda Haris…..
Salam cinta untukmu dari kami semua.



Jumat, 21 November 2014

Ini soal BBM (Yang Maju Mundur Cantik)



Benar. Ini bukan lagi soal pilpres. Bukan  soal KIH (Koalisi Indonesia Hebat) atau KMP (Koalisi Merah Putih). Kalau kata permaisyuri kita Nona Syahrini, Ini soal BBM (Yang Maju Mundur Cantik). Selasa, 18 November 2014 pukul 00.00 WIB. secara resmi Bapak Jokowi kita menetapkan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp.2000,00. Sebenarnya, isu tentang rencana kenaikan harga BBM ini sudah sampai di sebagian telinga masyarakat jauh-jauh hari sebelumnya. Tapi syukurnya, nyaris tidak terulang lagi kejadian seperti pada masa bakti Bapak SBY. Ketika tersiar harga BBM akan naik, para pelaku usaha telah menaikkan harga produksi mereka. Lalu setelah ditetapkan harga BBM betul-betul naik, bertambah dua kali lipat lah kenaikan harga bahan pokok dan lan-lain.

Ada juga yang memuji strategi Pak Jokowi yang mulai memberlakukan kenaikan itu di tengah malam. Dimana hanya segelintir saja yang lebih dahulu mengetahui. Dan ini cukup jitu untuk membasmi para pemilik usaha atau jasa yang hendak mencari keuntungan dua kali lipat (katanya). Persis seperti yang dilakukan Bapak Soeharto tempo doeloe. Walaupun kita sadar harga cabai yang sering melambung, justru naik lebih cepat dan lebih awal. Menurutku, itu bukan akal-akalan para petani. Karena hampir semua orang tahu dan merasakan kemarau panjang pada bulan-bulan lalu. Tentu lahan dan tanaman banyak yang rusak dan para petani pasti rugi berat. Modal banyak, keuntungan lenyap. Akhirnya cabai sempat langka diproduksi. 

Lucunya, masih ada segelintir manusia dengan santainya mengatakan, “Baru dua ribu, kok repot”. Memang betul, hanya dua ribu. Kita semua tahu, tahap kedua dan selanjutnya dari dampak kenaikan ini akan sangat panjang. Ini juga membuktikan bahwa sebagian dari kita masih belum memiliki kepekaan sosial. Lupa bahwa rakyat di Negeri ini tidak semuanya kelas menengah apalagi menengah ke atas. Bagi yang memakai pertamax pun boleh saja ber-euphoria. Kocek aman. Tapi mereka juga akan merasakan cipratan akibat kenaikan ini pada saat makan, belanja, dan lain sebagainya.

Setelah ditetapkannya kebijakan yang memberatkan ini, esoknya semua bingung. Bingung ketika tarif angkutan umum naik. Pagi yang disibukkan dengan keluhan dan emosi. Aku menyaksikan sendiri, anak SMA yang diteriaki supir angkot karena ongkosnya kurang gopek. Rasanya, tak bisa berkata apa-apa. Sebagai rakyat biasa, kita hanya bisa ikut-ikut saja. Kemudian beranjak siang, sudah tersiar kabar bahwa telah terjadi aksi besar dimana-mana. Di depan Kantor Kementrian Energi dan Sumber Daya Manusia sampai di depan Istana Presiden Jakarta. Dari golongan mahasiswa sampai bermacam organisasi masyarakat. Mereka tentu menolak mentah-mentah keputusan pemerintah. Esoknya lagi, sudah banyak angkutan umum yang mogok beroperasi.  Ikut demo juga, meminta penyesuaian tarif. Berbagai aspirasi mereka lontarkan. Namun ada juga yang sinis menanggapi, “Waktu Pak SBY naikkin BBM sampai 4 kali, pada kemana mahasiswa? Paling yang sekarang aksi itu mahasiswa bayaran!”. Ada lagi, “Setiap menjelang lebaran atau natal harga bahan pokok sering naik, tapi gak ada yang aksi. Dan waktu itu harga BBM sedang normal. Sekarang naik 2000 “doang” pada protes!”. Yaah.. memang betul pada setiap perbuatan kita yang dirasa benar,  mustahil semua orang akan ridho dan mendukung. Mahasisiwa membela rakyat, tapi rakyat kadang tidak membela mahasiswa.

Aksi dan mogok massal (di sebagian daerah) ini masih berlajut hingga saat ini. Walaupun Pak Presiden hanya menanggapi santai. Katanya, ini sudah biasa, reaksi dari sebuah keputusan. Padahal, sudah berbagai aksi anarkis terjadi di Nusantara. Apa pemerintah menunggu ada yang terkapar baru segala protes mau didengar?. Apa harus terjadi lagi rakyat yang berdarah-darah seperti 16 tahun yang lalu? Ada yang menyeletuk, “Mau apa demo? Emang kalau udah demo, bisa turun lagi harga BBM nya?” . Yaah…kita berdoa saja meminta yang terbaik. Tapi memang benar adanya kalimat tadi. Buat apa neko-neko ikut demo. Capek hati. Toh pada kenyataannya, suara kita dibutuhkan pada saat pemilu saja.






*Mengambil nafas kecewa.

Kamis, 06 November 2014

Cinta Adalah Aku

Aku tidak akan menulis tentang cinta, jika cinta itu bukan kamu.
Tapi aku akan selalu berpuisi cinta, karena cinta itu adalah aku.
Puisiku mungkin tak akan sekelas dewi sastra.
Tapi jika kau ingin tahu bahwa setiap huruf, titik dan koma, itu.
Itu ada hembusan nafas dari ruh cintaku yang mungkin mampu kau sentuh walau dari jarak jauh.
Aku ingin bertanya, dan jawablah tanpa perlu bibirmu terbata-bata.
Kenapa kau selalu sempat muram, padahal aku selalu menjadi pemerhati terbaikmu yang amatiran?
Tidakkah kamu mendengar aku yang tersengguk, saat kamu menangis tertunduk?
Bukankah letup tangisku lebih mencekik dari seribu jangkrik yang menderik?

Minggu, 26 Oktober 2014

Cermin Hati Di Otakku


Motorku menderit di depan toko berwarna pink. Aku tanggalkan helm hitamku pada spion . Gigiku beradu. Sedikit kesal. Aku tahu ini sangat memalukan. Tapi aku tak peduli. Ini semua harus aku lakukan demi menjaga  predikat maskulinku yang dikoyak-koyak oleh perempuan aneh itu. Perlahan aku turun dari motor. Refleks aku rapikan rambut dengan jari. Ini memang sudah kebiasaanku selepas berkendara motor.

Tak perlu mengucapkan salam. Tak ada waktu untuk sekedar melihat bermacam-macam boneka, dompet wanita, jepitan, dan semua yang tak mampu korneaku tangkap di ruangan serba pink itu. Dan ups, lengan kananku tak sengaja mengusik sebuah benda lalu terjatuh. Lagi-lagi penyakit sembronoku kambuh.

“Ya ampun.” Aku bantingkan badanku setengah jongkok. “Apa ini?” Batinku bertanya. Dari bentuknya aku mengira itu adalah sebuah benda yang pernah dipakai Annisa, adik perempuanku jika ke sekolah. Hah. Konyol. Ini baru pertama kali aku menyentuh ikat rambut wanita. Aku menggeleng.

“Mau cari apa Mas, ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang perempuan penjaga toko yang berhasil menghancurkan lamunanku. Aku bergegas berdiri.

“Saya mau mencari cermin berwarna pink, Mbak. Eh, maksud saya cermin itu bungkusnya warna pink. Pokoknya ada warna pink nya Mbak. Terus bentuknya hati ya Mbak. Ada?”

“Em? Bentuknya hati ya Mas? Lagi kosong tuh Mas.” Tukasnya cepat.


“Oh kalau begitu terima kasih Mbak, saya permisi.” Aku tersenyum datar. Membalikkan badan dan melangkah keluar. Sangat kecewa.

“Mas Mas! Cermin yang ini saja Mas, ini juga warna pink. Bagus. Buat pacarnya ya Mas?” Perempuan itu ternyata mengejarku. Aku berhenti dan memutar arah lagi.

“Tidak Mbak maaf, saya cari yang bentuknya hati.” Dengan ketus aku melanjutkan langkah menuju pintu keluar.Tapi jengkelnya perempuan itu masih saja memanggilku.

“Ada apa lagi Mbak? Saya kan sudah bilang, saya cari cermin yang…”

“Nggak Mas. Bukan itu.” Jawab perempuan itu memotong kalimatku yang belum rampung. Dia menunjuk ke arah tangan kananku.

“Astagfirullah, maaf Mbak saya lupa. Ini tadi kebawa.” Aku tersenyum malu. Ternyata dari tadi tanganku masih menggenggam ikat rambut yang kujatuhkan beberapa menit lalu. Perempuan itu menghela nafas. Matanya sedikit sinis saat meraih kemasan plastik transparan dari tanganku. Aku keluar mendekati motor. Ah. Baru saja wajahku seperti ditinju-tinju. Aku tutup kaca helmku. Lalu tancap gas pulang ke rumah.

Mataku menatap nanar langit-langit kamar. Menyisir setiap sudut  ruang. Aku tak percaya tempurung kepalaku hanya teriisi oleh “cermin hati berwarna pink”. Seperti hariku telah dikutuk oleh benda itu. Apa oleh pemiliknya? Latifah?

Latifah memang sangat menyebalkan bagiku. Seminggu yang lalu aku tak sengaja memecahkan cerminnya. Padahal ini tak sepenuhnya salahku. Dia yang salah menaruh cermin sembarangan di ujung meja. Saat itu aku hanya sedang belari menuju kursiku di barisan belakang. Lalu tak sengaja tubuhku menyenggol mejanya. Hingga cermin miliknya itu jatuh dan pecah. Suara pecahnya nyaris membuat kelas senyap. Namun beberapa detik kemudian isak tangis Latifah memecah keheningan.

Tubuhku bagaikan air di rawa-rawa. Tak bergerak. Matanya dan mataku saling beradu. Bola mata coklatnya meleleh. Aku lihat air matanya berlompatan. Baru kali ini aku melihatnya menangis setelah dua tahun bersama di kelas. Tak kulihat lagi lesung pipinya yang manis. Tangan kanannya menuju kepala. Ia tarik jilbab putihnya ke belakang. Sampai terlihat sempurna alis hitam pekatnya yang sempat tertutup.

“Aku minta maaf. Aku tidak sengaja, Latifah..?” keluhku padanya sambil kucoba merapikan pecahannya.

Namun gadis berjilbab putih itu langsung menghilang dalam pandangan. Aku mendengar banyak kalimat yang terlontar dari teman-teman. Tercium aroma mengancam agar aku mengganti cermin milik Latifah itu. Bahkan ada yang sempat memakiku karena aku sembrono. Aku tahu. Aku faham. Latifah bukan wanita sembarangan di kelas. Latifah terkenal ramah. Nyaris tak ada cacat yang ia punya di mata teman-teman sekelas. Selain cantik, ia juga pintar menggambar. Aku sempat menggodanya saat ia menggambar sesosok pria. Ia marah luar biasa saat tahu bahwa aku diam-diam sedang mengintipnya. Bukan kepedean, tapi wajah yang digambar oleh Latifah itu sangat persis dengan wajahku. Apalagi titik hitam yang ia taruh di atas hidungnya. Buku “Harry Potter” di tangannya. Itu semua semakin memperkuat dugaanku. Bahwa itu aku?

Aku kumpulkan pecahannya. Aku tentu sangat hafal dengan cermin itu. Cermin itu sering dipakai teman-temannya saat guru belum datang ke kelas. Bentuknya hati. Besarnya hanya segenggam tangan orang dewasa. Bingkainya berwarna pink. Cantik. Tentu aku sangat bingung jika aku harus mengganti cermin itu dengan bentuk yang sama. Mau dicari dimana? Pernah aku mengembalikan cerminnya itu dengan cermin biasa. Warnanya biru. Namun ia menolak. Ia hanya diam saja saat aku menyodorkan. Esoknya, aku berikan lagi cermin biasa berwarna pink. Bentuknya persegi. Wajahnya semakin cemberut.

“Aku tak bisa mencari cermin yang sama persis dengan milikmu itu. Aku juga tidak mungkin menyatukan kembali pecahannya. Aku hanya berharap kamu bisa memaafkan kesalahanku.” Tiga kalimat yang aku tulis dalam surat untuknya. Aku bungkus dengan amplop berwarna putih. Tertulis di atas amplopnya sebaris namaku. Lukman Hakim. Ah, memang terkesan seperti anak putih biru. Tapi ini jalan terakhirku setelah pesan singkatku yang tak pernah dibalas, telepon dariku ia putus. Dan permintaan maafku yang selalu ia abaikan.

Dinda, teman dekatnya yang aku titipkan surat, menghampiriku di parkiran selepas sekolah. Dia membawa surat balasan dari Latifah, tiga hari berselang dari surat pemberianku. Aku sengaja membukanya di kamar. Aku tarik secarik kertas putih dari amplopnya. Warna pink. Aku tersenyum geli. “Hey….Aku ini laki-laki!” Batinku memberontak.

Aku tekejut. Rasa heran menyergap isi kepalaku. Isi kertas itu ternyata hanya sebuah gambar. Ya. Gambar cermin berbentuk hati yang telah aku pecahkan minggu lalu. Aku tak mengerti apa maksud Latifah? Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tak bisa mengganti cermin miliknya? Harus aku cari kemana lagi? Apa dia sengaja ingin terus meneror pikiranku dengan gambar ini? Agar aku terus menerus dihantui rasa bersalah? Kalau saja ia tahu cermin itu telah menggerogoti benang-benang saraf di otakku. Cermin hati dan cermin hati yang selalu ada di kepalaku sampai saat ini. Mungkin sampai kapan aku tak tahu. Kini aku hanya mampu merebahkan tubuh lelahku di atas kasur. Dan mataku mulai menitik.


Minggu, 12 Oktober 2014

Tikus Mandul, Petani Makmur

Politik Damai


Di dunia ini kita punya pameo unik untuk para bedebah rakyat. Para pengkhianat bangsa. Pemilik unggul nafsu tirani. Kita semua sepakat menyebut mereka tikus. Tikus-tikus itu semakin lincah berkeliaran. Indikasinya, mereka selalu lapar dan rakus. Tak pernah punya rasa puas dan kenyang. Biasanya mereka itu hidup di dalam lubang-lubang sempit dan gelap bernama POLITIK. Baiklah, berbicara tentang politik. Nampaknya hanya keluar dari mulut seorang pengamat politik yang sering muncul di televisi. Yang kita tahu pengamat politik pun punya payung mereka masing-masing. Dimana ketika ada hujan debat, dia tak bisa bergerak  kemana-mana. Kecuali berlindung di bawah payung mereka.  Bahkan orang-orang yang katanya Agent Of Change, hampir  tidak terlihat lagi batang hidungnya. Padahal secara fundamental, bukan soal nilai kepantasan atau tidak untuk berbicara tentang politik. Bukan soal titel yang mengurung sebuah nama. Bukan soal seberapa matang usia.  Entah hanya (mau) mencoba belajar mendalami ilmunya. Atau (syukur-syukur) ikut berpartisipasi di dalamnya. Untuk apa? Mari kita sisir tulisan ini hingga usai. J

Kita semua (hampir) mengimani bahwa sedalam apapun orang jujur sampai ke kerak-keraknya, tapi jika posisi dia ada dalam lingkaran politik, maka disangsikanlah nilai kejujurannya. Kita tidak pernah tahu bukan, apa motif mereka menawarkan diri menjadi wakil rakyat? Oh bukan menawarkan diri. Lebih tepatnya, “BERAMBISI”.  Akhirnya kita saling berbisik, “Mereka itu mau jadi politikus atau calon tikus?”. Belum apa-apa kita sudah su’udzan kepada mereka.

Dan bukan apa-apa. Karena kenyataan pun sudah jelas di depan mata. Agaknya sudah tidak bisa dihitung lagi oleh jari tangan dan kaki kita, berapa banyak tikus-tikus Negara yang berhasil ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaikan rantai makanan, KPK itu ibarat ular. Padi adalah uang (hak) rakyat. Tikus-tikus itulah yang berhasil ditangkap.

Tapi coba kita kaji lebih dalam. Apa dengan adanya kehadiran KPK, sesosok ular bersayap malaikat, lalu kita bisa santai berpangku tangan? Goyang kaki kipas-kipas? Urusan belum selesai. Tikus-tikus itu akan punya keturunan-keturunan. Akan tercipta kaderisasi koruptor  yang jaringannya lebih luas. Ya. Itu kalau orang-orang yang berkecimpung di dalamnya itu terus menerus sosok tikus-tikus. Jadi jika kita juga selalu mengandalkan KPK, sepertinya tidak akan ada habisnya. Mengingat akan keluar lagi janin-janin tikus yang baru. Kecuali jika kita sudah berhasil membuat tikus itu mandul. Apalagi kalau tikusnya sepasang? Seperti tren sekarang kan? Yang betinanya juga ikut aktif menggerogoti padi. Ikut membantu suami demi berbakti. Akhirnya mereka pun hidup bersama dalam bui sampai mati. Nah, beda lagi dengan tahun kemarin-kemarin. Mainnya petak umpet. Tahu-tahu keturunannya sudah sampai ratusan. Mungkin ini alasan kenapa mereka punya julukan tikus. Ternyata tikus yang asli itu, salah satu hewan menjijikan yang bisa menghasilkan keturunan sebanyak 10.000-15.000 ekor dalam setahun. Kemudian mereka akan kawin lagi setelah 48 jam pasca melahirkan. Bahayanya, hewan pengerat ini hanya memiliki sekitar 20 hari dalam kandungan. Logikanya, akan lebih banyak lagi cabang-cabang dari garis keturunannya. Pertumbuhannya akan sangat pesat. Dan KPK sendiri akan kewalahan bukan?

Oke. Coba kita pakai kata-kata klasik Islami filosofis yang mengatakan bahwa, “Al Wiqaayah Khairu Minal ‘Ilaj”. Pencegahan lebih baik dari pengobatan. Bagaimana caranya kita cegah kelahiran kader-kader tikus itu. Apa mau terus-menerus diobati KPK? Kita harus berusaha membuat mereka mandul. Layaknya fungsi Pil Keluarga (B)er(encana) alias KB. Yakni memandulkan alat reproduksi manusia. Berarti kita butuh pil itu untuk membunuh pelan-pelan para tikus. Masih masuk akal sebuah adagium “Banyak Anak, Banyak Rezeki”. Tapi kalau tikus? Semakin banyak tikus, semakin cepatlah kita menuju “kematian”.

Lalu dengan cara apa kita meracik pil itu?  Salah satunya adalah kita ganti dengan kader-kader baru. Kita siapkan kader-kader yang memang punya kapabilitas dalam bidang politik. Bukan “asal comot” dari selebritis yang memang skillnya di dunia Entertainment. Kenapa? Susah? Mustahil? Selama iman masih mengalir dalam pipa darah, selama itulah kerja sama selalu dibutuhkan. Bersatu. Bergerak bersama. Satu pandangan. Satu kiblat. Demi Agama. Demi Negara. Demi rakyat. Mereka itulah bibit-bibit unggul yang punya idealisme. Tunggu dulu. Berbicara tentang idealisme, idealisme apa yang seharusnya dipegang teguh oleh kader-kader baru itu? Jangan berdusta dan malu-malu. Mereka harus mengatakan dengan lantang bahwa cita-cita terbesar mereka adalah menegakkan syariat Islam. Cita-cita itu harus terus diperjuangkan dan disuarakan kepada kader-kader mereka selanjutnya. Pertanyaan untuk diri kita masing-masing, “Adakah hukum yang lebih baik dari hukum Allah?”

Memang betul, nyaris begitu buruk kesan para poli(tikus) di hati rakyat. Terkesan seperti orang-orang busuk. Penipu ulung yang berdasi. Tapi apa sebenarnya memang begitu? Bahkan ada yang mengatakan politik itu kotor? Politik itu lingkaran setan? Tapi Alhamdulillah masih ada segelintir orang yang mengimani bahwa yang salah  itu bukan politik. Tapi para poli(tikus)nya. Yang kotor itu bukan politiknya. Tapi para figurnya. Jadi jika kita sebagai Muslim yang menyimpulkan bahwa Islam itu anti politik, nampaknya ada yang harus diperbaiki mindset kita. Politik adalah bagian integral dari sebuah Negara. Politik itu padahal hanya sebuah sistem. Tapi sistem inilah yang dipakai oleh Negara.  Lalu bagaimana caranya jika kita berteriak-teriak agar tegaknya syariat Islam di Indonesia, tapi kita tidak mau ikut andil di dalamnya? Tentu kita tidak punya power. Jangankan punya ambisi untuk melek (ikut berdedikasi). Membicarakan dan mendengarkan tentang politik saja sudah jijik?

Tapi syukurlah para pejabat Negara masih punya wibawa. Para politisi itu tetap dihormati rakyat (kok). Mereka berebut ingin mencium tangan-tangan halus para pejabat Negara.  Kala mereka mau turun langsung ke pelosok-pelosok desa. Seolah ia adalah sosok Umar yang berjalan (sendiri) setiap malam  untuk melihat keadaan umatnya. Tapi ingat, bedanya zaman dulu itu tidak ada kamera. Tidak ada wartawan. Lagi pula, sosok Umar bukanlah manusia yang gila pujian. Maka beliau selalu melakukan kegiatan rutin itu tanpa mau  diketahui orang. Sangat menggelitik ketika mereka sampai menangis berderai-derai. Mencuri kelengahan pengawal agar mampu mencium wajahnya. Ya. Wajah pemimpin mereka tercinta. Yang mereka yakini benar bahwa dia sosok penerus Umar.

Entah apakah hati mereka benar-benar jatuh cinta. Atau hanya sebuah emosi dan kedongkolan hati. Emosi yang begitu membuat hati pegal. Lelah yang benar-benar menjalar sampai ke tulang. Hingga mereka pun (memilih) angkat tangan tentang nasib dan harta Negara. Mungkin kata mereka, “Boro-boro sudi mikirin urusan Negara, buat besok aja masih bingung mau makan apa”. Miris bukan? Dan apa kita masih mau membiarkan tikus-tikus itu berlalu lalang? Lihatlah. Seolah ketika mata-mata rakyat meleleh di hadapan para pemimpinnya, itu adalah butir-butir simbol kepasrahan yang hakiki. Yang mengalir dari sedalam-dalamnya nurani.

Menurutku, tidak ada alasan yang logis bagi kita (mahasiswa dan para pemuda), menyalahkan rakyat kecil sekaligus awam yang tidak melek atau tidak mau berurusan dengan politik. Karena mereka hanya jiwa-jiwa suci yang punya perjuangan sendiri. Untuk makan sehari-hari? Menyekolahkan anaknya? Dan hiruk pikuk kehidupan mereka yang belum tentu kau sanggup menghadapinya. Tega kah kita menyaksikan kepedihan yang berlarut-larut ini? Akibat ulah tikus-tikus itu? Ketirnya kehidupanlah yang akhirnya memaksa mereka buta akan politik. Tidak perlu kita begitu keras memaksa mereka untuk melek politik. Karena ingatlah mata-mata mereka memang sudah melek. Mereka melek ketika membaca media. Mereka melek, ketika menonton berita. Mereka itu melek ketika melihat tikus-tikus itu dihukum. Mereka tahu tapi diam. Mereka tahu tapi tak bisa apa-apa. Mereka melek tapi melek walang. Lalu apa bedanya dengan orang buta? Mata-mata mereka memang sudah melek. Bagaimana tidak? Setiap malam mereka sulit terpejam. Merasakan dunia yang semakin kejam. Mengharapkan kesejahteraan itu (hanya) seperti si pungguk yang merindukan sang bulan.

The last. Ada kata-kata menarik yang penulis kutip dari sebuah status media sosial seorang pejabat Partai. Beliau juga mengutip rangkaian kata-kata dari seorang penyair Jerman bernama Bertolt Brecht. Dia mengatakan, bahwa, “Buta terburuk adalah buta politik. Tidak mendengar, tidak bicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat tergantung pada keputusan politik.”

Baiklah. Jika pada bagian penutup dari  tulisan ini, penulis berestimasi untuk memaklumi rakyat kecil yang buta terhadap politik. Lalu siapa yang harus melek?

                                    

Rabu, 01 Oktober 2014

Akhwat Hiking? Why Not?

Baru rasain lagi naik gunung bareng temen. Terakhir muncak itu waktu masih kelas 1 di Pondok. Kalau formalnya, berarti waktu masih kelas 1 SMA. Itu juga bikin kapok. Naik Gunung Ciremai untuk pemula yang sebelumnya gak pernah punya pengalaman muncak itu, rasanya bikin tulang kaki rontok. Untungnya pada saat itu masih masa liburan. Jadi bisa istirahat dulu sekolahnya. Hampir seminggu kaki pengkor alias pincang. But seru banget bisa berdiri di atas ketinggian 3078 mdpl. Terasa di atas awan. Anginnya beuuuuuuuuh kenceng banget. Untung berat badan waktu itu gak kurus-kurus banget, jadi gak ketiup. Ehm.. jadi pengen kembali ke masa lalu. Momen-momen slim. J

Oke lupakan tentang berat badan. Tanggal 28 September 2014, aku dan kawan-kawan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) *Asik aktivis nih gini-gini juga. Wkwkwk. Masih bau kencur aja udah belagu. Kita muncak bareng-bareng ke Kawah Ratu Gunung Salak Bogor. Awalnya sih gak mau, maklumlah aku ini orangnya kapokan. Tapi karena satu dan lain hal, ikut juga. Gak terpaksa kok. Setulus hati InsyaAllah. J

Oya, buat para muslimah yang kepengen naik gunung cuma bingung mau pake rok atau celana, ya gak usah bingung-bingung. Kita naik gunung masih pake rok kok. Kenapa? Takut nyangkut ya? Ribet? Malu? Takut diledek? Buang fikiran-fikiran seperti itu. Gak ada yang bikin ribet di dunia ini, kecuali kita sendiri yang bikin itu ribet. Jangan sampai fikiran-fikiran seperti itu menghambat kamu buat menelusuri alam dengan segala keindahannnya yang rugi banget kalau dilewatkan. Satu catatan, kamu boleh pake celana panjang di dalam rok kamu. Biar kalau sewaktu-waktu kamu nanjak atau ngelewatin dataran yang cukup tinggi, aurat kamu tetap tertutup. Pasti kamu lebih mahir lah ya… soal itu. *Daripada diriku ini. J                 

Hm.. ternyata rute menuju Kawah Ratu itu cukup tajam ya. Hampir jalannya itu batu semua. Dengan lebar jalan yang cukup sempit. Gak kayak rute ke Gunung Ciremai yang agak mendingan masih luas dan berpasir. Alhamdulillah, aku jalan juga gak sendirian. Aku di back up sama temen-temen yang udah gak diragukan lagi pengalaman muncaknya. Mereka itu adalah…Jreng jreng jreeng! Dede Ratipah, Dewi Gustiawati, sama Sely Safitri. Walaupun akhwat, mereka itu gak merasa terbebani atau merasa terkekang. Naik sampai turun lagi aku dituntun sama temen aku itu. #Kayak bocah. Hhe..

Gak tau udah berapa kali aku nanya sama temen aku itu, “Masih jauh ya?”. Dalam hati menggerutu mulu kapan nyampe. Seolah gak ada ujungnya aku jalan berjam-jam. Sering juga sih rokku nyangkut di dahan. Atau hampir keinjek sama kaki aku sendiri.Tapi itu gak menyurutkan semangat aku buat terus naik liat Kawah Ratu. Yang katanya indah beud itu lho? Sesekali kita juga istirahat. Sekedar meregangkan kaki dan minum kalau perlu. Dan itu bermanfaat banget menurutku. Karena lumayan buat ngendorin otot kaki yang udah pegel banget. J

Setelah berjam-jam lamanya. Hampir 3 jam lebih kita naik. Aku merasakan aroma yang gak enak banget. Rasa-rasanya  gak asing nih di hidung. Eh ternyata bau belerang toh. Lebih bau dari bau kentut. Hhe..Saran aku, itu waktu yang pas banget buat kamu kentut. Biar ternetralisir sama bau belerang. Asli gak bakalan ketauan kalau kamu abis kentut. Hik hik.

Awalnya aku bahagia banget aku nyampe kawah. Eh ternyata belum, itu baru kawah mati. Berhenti sejenak. Ckrek. Kita abadikan deh. Terus jalan lagi lumayan jauh, baru deh nyampe. Subhanallah…

Bener kata orang-orang kalau Kawah Ratu itu indah banget kawan. Rasanya ingin berlama-lama disana. Walaupun cuaca panas nusuk tulang, kami terlihat senang. Tidak kami hiraukan rasa lelah dan keringat yang terus mengucur. Yang ada di fikiran kami itu khususnya aku, cuma foto. Kamera mana kamera. Hhee…Buat DP BBM, PP Fesbuk atau menuhin instagram. Terserah mereka.

Kami istirahat sejenak. Kami pandangi keindahan alam yang sangat menakjubkan. Subhanallah. Betapa Engkau Maha Kuasa Ya Allah, menciptakan alam semesta ini dengan berbagai bentuk dan warna yang menawan. J

Hm…karena waktu sudah semakin sore. Kami memutuskan untuk turun. Dengan membawa segenggam hati penuh kebahagiaan, kami berjalan bersama. Melewati batu-batu tajam lagi. Mata air yang wanginya sangat segar. Dan mata yang terus fokus ke bawah.*Eh, tapi jangan terlalu fokus. Kata temenku sih, nikmatin. Mungkin maksudnya, kita hayati keindahan alam ini, tadabburi, rasakan ketenangan yang luar biasa. J

Karena hiking ini acara penutup. Jadi setelah selesai kami diperbolehkan pulang. Waah.. baru kerasa remuk nih kaki. Ini karena aku belum terbiasa muncak dan jalan jauh. Tapi Alhamdulillah, nyampe rumah dapet pijitan gratis dari kakakku. Jangan salah kawan, beliau mahir banget loh. Alhamdulillah esoknya aku bisa masuk kuliah. Walau masih pegel dikit sih.

Nyampe kampus aku nanya sama temen-temen yang tadi aku sebutkan di atas, “Sakit kakinya ya?” Eh, mereka cuma bilang, “Cuma telapaknya doang nih sakit dikit.” *karena gak pake kaos kaki*Ups maaf ya Dew.Hhe..Dede cuma bilang pegel di bagian bahu. Panteslah sakit, akhwat yang satu ini bawa tas ransel gede beeud. Denger-denger sih namanya keril, gak tau carrier atau apa ya aku kurang tau tulisannya gimana. Kalau Sely, dia juga gak keliatan tuh pengkor-pengkor lagi jalan. Pokoknya mereka biasa aja deh. Hebat kan? Hebat dong..Muslimah loh mereka? Akhwat sama kayak kita? Jadi buat kamu ukhty,  gak ragu-ragu dan takut lagi kan mau hiking? Semangat! J





Jumat, 26 September 2014

(R)UU PILKADA: Siapa Yang Dibuat Resah?


Begitu (terkesan) romantis menyaksikan para wakil rakyat di Gedung DPR sana. Memperjuangkan kedaulatan rakyat sampai selarut ini. Di saat rakyatnya tidur nyenyak berselimut, mereka masih saja pada ribut. Kami berprasangka baik bahwa mereka betul-betul sedang berjuang untuk menunaikan amanat dan dedikasinya atas bangsa Indonesia. Walau masih terlihat pancaran wajah-wajah bernafsu buas haus kekuasaan.

Lihatlah pejabat negeri kita di layar televisi sana. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terpelajar dan berpendidikan sedang protes dengan keputusan pimpinan rapat paripurna. Mereka bangkit dari kursi. Naik podium. Berteriak-teriak. Ricuh. Tidak setuju. Berontak. Setelah sebelumnya ditolak berulang kali ketika interupsi di tengah rapat.

Aku tidak bisa menyimpulkan mana yang terbaik antara PILKADA langsung (oleh rakyat) atau tidak langsung (oleh DPRD). Memang sebenarnya siapa yang dibuat resah? Rakyat? Atau orang-orang yang bernafsu kekuasaan? Aku setuju dengan opsi kedua. Dengan satu catatan. Jika saja huruf DPR (nya) itu yang singkatannya Dewan Perwakilan Rakyat (tidak berubah menjadi Dewan Penipu Rakyat). Maka tentu akan kami imani bahwa mereka memilki kredibilitas. Tapi aku juga akui benar perkataan dosen Pengantar Politikku, “Apakah masih ada orang yang jujur di dunia politik ini?”. Bukan tidak mungkin akan terjadi kasus sogok menyogok dan suap menyuap yang lebih terselubung dan lihai dari serangan fajar.

Lalu bagaimana dengan suara rakyat? Katanya Negeri kita Negeri Demokrasi? Toh, jika kami yang memilih sendiri pemimpin kami, setidaknya kami bisa menilai diri mereka masing-masing. Oh tunggu, dinilai dari apanya? Uang sogokannya misalnya? Atau seperti yang sudah-sudah, PILKADA secara  langsung hanya mengumpulkan suara-suara rakyat yang mayoritas asal coblos. Karena apa? Tidak kenal. Sekali pun kita tahu betul, apakah akan tetap terjaga kesucian suara kita itu? Jangan sampai ada kejadian lagi calon pemimpin rakyat yang melaporkan adanya kecurangan kepada Hakim Konstitusi. J *Repot.

Masih ingatkah dengan uang-uang sogokan yang minta dikembalikan lagi kepada caleg gagal itu? Adakah rasa sakit dan penghinaan yang kita rasakan? Terbongkarlah kemunafikan yang tertutup rapat di wajah teduh mereka. Modusnya (sih) untuk menyumbang pembangunan mesjid. Tapi apa? Lagi-lagi mereka main politik rasa. Segala cara menarik rasa simpati rakyat. Sayangnya pencitraan mereka kurang hebat.

Secara universal kita hanya rakyat awam yang “iya iya saja”. Walaupun tentu ada kekhawatiran-kekhawatiran jika Undang-Undang “PILKADA Secara Tidak Langsung” sudah dilegitimasikan. Bahkan kita bisa melihat sendiri bagaimana beberapa kelompok rakyat berorasi di depan Gedung DPR siang kemarin. Mereka menolak mentah-mentah dengan adanya calon Undang-Undang baru. Oh, bakar-bakar ban sudah biasa kawan. Seolah demo itu tidak asyik kalau tidak bakar-bakaran.

Mungkin aku cukupkan saja tulisan ini. Kita lihat saja hasilnya bagaimana. Tapi asli kawan, kurang seru kalau tidak mengikuti prosesnya. Tapi tak apalah jika kalian memilih istirahat di kasur yang empuk. Kita memang harus membiarkan  mereka bekerja keras agar tidak makan gaji  buta; ditambah bonus-bonus lainnya yang sifatnya tak kasat mata. Alias duit korupsi.

Dini hari, pukul 01.00 WIB. Mereka masih tarik urat leher minta interupsi. Menariknya, mereka sangat semangat. Bahkan tidak sedikit guyonan-guyonan menghujani suasana rapat. Hampir terkesan Stand Up Comedy. (Estimasiku) Kubu satu semangat karena (mungkin) merasa seri 1-1 dari kubu dua. Akibat kekalahannya pada Pilpres bulan kemarin mungkin?*LOL. Tentu kubu dua juga tak kalah semangat kawan. (Estimasiku) Mereka semangat karena merasa ekornya sedang diinjak-injak oleh lawan. Semangat yang didorong dendam membara. Dengan dalih menyelamatkan demokrasi dan menegakkan kedaulatan rakyat. Oyaaaaa…???

Give them big applause! 
Sekian! :D





Pages - Menu