Begitu (terkesan) romantis menyaksikan para wakil rakyat di Gedung DPR sana. Memperjuangkan kedaulatan rakyat sampai selarut ini. Di saat rakyatnya tidur nyenyak berselimut, mereka masih saja pada ribut. Kami berprasangka baik bahwa mereka betul-betul sedang berjuang untuk menunaikan amanat dan dedikasinya atas bangsa Indonesia. Walau masih terlihat pancaran wajah-wajah bernafsu buas haus kekuasaan.
Lihatlah pejabat negeri kita di layar televisi sana. Tuan-tuan
dan nyonya-nyonya yang terpelajar dan berpendidikan sedang protes dengan
keputusan pimpinan rapat paripurna. Mereka bangkit dari kursi. Naik podium. Berteriak-teriak.
Ricuh. Tidak setuju. Berontak. Setelah sebelumnya ditolak berulang kali ketika
interupsi di tengah rapat.
Aku tidak bisa menyimpulkan mana yang terbaik antara PILKADA langsung
(oleh rakyat) atau tidak langsung (oleh DPRD). Memang sebenarnya siapa yang
dibuat resah? Rakyat? Atau orang-orang yang bernafsu kekuasaan? Aku setuju
dengan opsi kedua. Dengan satu catatan. Jika saja huruf DPR (nya) itu yang
singkatannya Dewan Perwakilan Rakyat (tidak berubah menjadi Dewan Penipu
Rakyat). Maka tentu akan kami imani bahwa mereka memilki kredibilitas. Tapi aku
juga akui benar perkataan dosen Pengantar Politikku, “Apakah masih ada orang
yang jujur di dunia politik ini?”. Bukan tidak mungkin akan terjadi kasus sogok
menyogok dan suap menyuap yang lebih terselubung dan lihai dari serangan fajar.
Lalu bagaimana dengan suara rakyat? Katanya Negeri kita Negeri
Demokrasi? Toh, jika kami yang memilih sendiri pemimpin kami, setidaknya kami
bisa menilai diri mereka masing-masing. Oh tunggu, dinilai dari apanya? Uang sogokannya
misalnya? Atau seperti yang sudah-sudah, PILKADA secara langsung hanya mengumpulkan suara-suara rakyat
yang mayoritas asal coblos. Karena apa? Tidak kenal. Sekali pun kita tahu
betul, apakah akan tetap terjaga kesucian suara kita itu? Jangan sampai ada
kejadian lagi calon pemimpin rakyat yang melaporkan adanya kecurangan kepada
Hakim Konstitusi. J
*Repot.
Masih ingatkah dengan uang-uang sogokan yang minta dikembalikan
lagi kepada caleg gagal itu? Adakah rasa sakit dan penghinaan yang kita
rasakan? Terbongkarlah kemunafikan yang tertutup rapat di wajah teduh mereka.
Modusnya (sih) untuk menyumbang pembangunan mesjid. Tapi apa? Lagi-lagi mereka
main politik rasa. Segala cara menarik rasa simpati rakyat. Sayangnya
pencitraan mereka kurang hebat.
Secara universal kita hanya rakyat awam yang “iya iya saja”.
Walaupun tentu ada kekhawatiran-kekhawatiran jika Undang-Undang “PILKADA Secara Tidak Langsung” sudah dilegitimasikan. Bahkan kita bisa melihat sendiri bagaimana
beberapa kelompok rakyat berorasi di depan Gedung DPR siang kemarin. Mereka menolak
mentah-mentah dengan adanya calon Undang-Undang baru. Oh, bakar-bakar ban sudah
biasa kawan. Seolah demo itu tidak asyik kalau tidak bakar-bakaran.
Mungkin aku cukupkan saja tulisan ini. Kita lihat saja hasilnya
bagaimana. Tapi asli kawan, kurang seru kalau tidak mengikuti prosesnya. Tapi
tak apalah jika kalian memilih istirahat di kasur yang empuk. Kita memang harus
membiarkan mereka bekerja keras agar
tidak makan gaji buta; ditambah
bonus-bonus lainnya yang sifatnya tak kasat mata. Alias duit korupsi.
Dini hari, pukul 01.00 WIB. Mereka masih tarik urat leher minta
interupsi. Menariknya, mereka sangat semangat. Bahkan tidak sedikit
guyonan-guyonan menghujani suasana rapat. Hampir terkesan Stand Up Comedy. (Estimasiku)
Kubu satu semangat karena (mungkin) merasa seri 1-1 dari kubu dua. Akibat
kekalahannya pada Pilpres bulan kemarin mungkin?*LOL. Tentu kubu dua juga tak
kalah semangat kawan. (Estimasiku) Mereka semangat karena merasa ekornya sedang
diinjak-injak oleh lawan. Semangat yang didorong dendam membara. Dengan dalih
menyelamatkan demokrasi dan menegakkan kedaulatan rakyat. Oyaaaaa…???
Give them big applause!
Sekian! :D