Jumat, 26 September 2014

(R)UU PILKADA: Siapa Yang Dibuat Resah?


Begitu (terkesan) romantis menyaksikan para wakil rakyat di Gedung DPR sana. Memperjuangkan kedaulatan rakyat sampai selarut ini. Di saat rakyatnya tidur nyenyak berselimut, mereka masih saja pada ribut. Kami berprasangka baik bahwa mereka betul-betul sedang berjuang untuk menunaikan amanat dan dedikasinya atas bangsa Indonesia. Walau masih terlihat pancaran wajah-wajah bernafsu buas haus kekuasaan.

Lihatlah pejabat negeri kita di layar televisi sana. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terpelajar dan berpendidikan sedang protes dengan keputusan pimpinan rapat paripurna. Mereka bangkit dari kursi. Naik podium. Berteriak-teriak. Ricuh. Tidak setuju. Berontak. Setelah sebelumnya ditolak berulang kali ketika interupsi di tengah rapat.

Aku tidak bisa menyimpulkan mana yang terbaik antara PILKADA langsung (oleh rakyat) atau tidak langsung (oleh DPRD). Memang sebenarnya siapa yang dibuat resah? Rakyat? Atau orang-orang yang bernafsu kekuasaan? Aku setuju dengan opsi kedua. Dengan satu catatan. Jika saja huruf DPR (nya) itu yang singkatannya Dewan Perwakilan Rakyat (tidak berubah menjadi Dewan Penipu Rakyat). Maka tentu akan kami imani bahwa mereka memilki kredibilitas. Tapi aku juga akui benar perkataan dosen Pengantar Politikku, “Apakah masih ada orang yang jujur di dunia politik ini?”. Bukan tidak mungkin akan terjadi kasus sogok menyogok dan suap menyuap yang lebih terselubung dan lihai dari serangan fajar.

Lalu bagaimana dengan suara rakyat? Katanya Negeri kita Negeri Demokrasi? Toh, jika kami yang memilih sendiri pemimpin kami, setidaknya kami bisa menilai diri mereka masing-masing. Oh tunggu, dinilai dari apanya? Uang sogokannya misalnya? Atau seperti yang sudah-sudah, PILKADA secara  langsung hanya mengumpulkan suara-suara rakyat yang mayoritas asal coblos. Karena apa? Tidak kenal. Sekali pun kita tahu betul, apakah akan tetap terjaga kesucian suara kita itu? Jangan sampai ada kejadian lagi calon pemimpin rakyat yang melaporkan adanya kecurangan kepada Hakim Konstitusi. J *Repot.

Masih ingatkah dengan uang-uang sogokan yang minta dikembalikan lagi kepada caleg gagal itu? Adakah rasa sakit dan penghinaan yang kita rasakan? Terbongkarlah kemunafikan yang tertutup rapat di wajah teduh mereka. Modusnya (sih) untuk menyumbang pembangunan mesjid. Tapi apa? Lagi-lagi mereka main politik rasa. Segala cara menarik rasa simpati rakyat. Sayangnya pencitraan mereka kurang hebat.

Secara universal kita hanya rakyat awam yang “iya iya saja”. Walaupun tentu ada kekhawatiran-kekhawatiran jika Undang-Undang “PILKADA Secara Tidak Langsung” sudah dilegitimasikan. Bahkan kita bisa melihat sendiri bagaimana beberapa kelompok rakyat berorasi di depan Gedung DPR siang kemarin. Mereka menolak mentah-mentah dengan adanya calon Undang-Undang baru. Oh, bakar-bakar ban sudah biasa kawan. Seolah demo itu tidak asyik kalau tidak bakar-bakaran.

Mungkin aku cukupkan saja tulisan ini. Kita lihat saja hasilnya bagaimana. Tapi asli kawan, kurang seru kalau tidak mengikuti prosesnya. Tapi tak apalah jika kalian memilih istirahat di kasur yang empuk. Kita memang harus membiarkan  mereka bekerja keras agar tidak makan gaji  buta; ditambah bonus-bonus lainnya yang sifatnya tak kasat mata. Alias duit korupsi.

Dini hari, pukul 01.00 WIB. Mereka masih tarik urat leher minta interupsi. Menariknya, mereka sangat semangat. Bahkan tidak sedikit guyonan-guyonan menghujani suasana rapat. Hampir terkesan Stand Up Comedy. (Estimasiku) Kubu satu semangat karena (mungkin) merasa seri 1-1 dari kubu dua. Akibat kekalahannya pada Pilpres bulan kemarin mungkin?*LOL. Tentu kubu dua juga tak kalah semangat kawan. (Estimasiku) Mereka semangat karena merasa ekornya sedang diinjak-injak oleh lawan. Semangat yang didorong dendam membara. Dengan dalih menyelamatkan demokrasi dan menegakkan kedaulatan rakyat. Oyaaaaa…???

Give them big applause! 
Sekian! :D





Indonesia Negeri Asbut

Di balik layar televisi. Kami hanya mampu menopang dagu. Alangkah hati merasa iba melihat saudara-saudara kami di Sumatera sana tengah tertimpa bencana. Bahkan menurut berita dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) ada seribu titik api lebih di Sumatera dan Kalimantan. Ah, benarkah ini bencana? Atau memang kejahatan yang terencana? Lalu ini ulah siapa? Ada apa di balik ini semua? Ada siapa di belakang kejadian  ini?

Terus terang, aku kurang begitu faham  dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi disana. Benarkah ini akibat kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berusaha mereguk keuntungan? Astagfirullah. Aku merasa bersalah jika mengaku sebagai saudara tapi tidak tahu menahu dengan apa yang dialami saudaranya. L

Setiap kejadian (rutin) kabut asap ini, pihak berwenang selalu mengumumkan (katanya) berhasil menangkap pembakarnya bahkan sampai ratusan. Lalu setelah itu tidak terdengar lagi kelanjutannya.  Seperti asap ditelan langit. Hilang begitu saja. Apa hukuman bagi mereka? Seberat apa? Ini jelas-jelas tindakan kriminal yang merugikan Negara. Sebenarnya siapa yang ada di balik semua ini? Lalu bagaimana dengan nasib dan kesehatan rakyat yang dijadikan tumbal? Mau sampai kapan dibiarkan seperti ini? Astagfirullah…

Yang jelas, kami disini merasakan kesedihan ketika sampai di telinga kami, bahwa ribuan jiwa disana mengalami sakit akibat terkena infeksi saluran pernafasan atau ISPA. Kami juga pilu saat menerima kabar bahwa siswa-siswa harus mengenakan masker bahkan saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Ya. Memang seharusnya mereka memakai masker khususnya ketika berada di luar rumah. Tapi mendengarnya pun terasa kami ikut merasakan sesak.

Kami tak dapat membayangkan kabut asap berbahaya menyelimuti kota. Bagaimana jadinya? Kami prihatin. Kami turut berduka cita. Kami berdoa semoga saudara-saudara kami disana tetap sabar dan kuat. Beberapa pekan yang lalu, ah, mungkin sudah sebulan lebih. Aku ikut bahagia ketika mendengar kabar dari kakak iparku di Riau. Bahwa disana sudah turun hujan lebat. Aktivitas penerbangan mulai pulih dan asap mulai mereda. Tapi itu hanya sebentar. Sedang saat ini asap dan kabut yang lebih parah terjadi di Palembang. Ya. Menurut berita yang aku baca dan lihat di televisi. Untuk perkembangan selanjutnya, kita bisa lihat di televisi dan media lainnya. Mudah-mudahan ujian ini cepat usai. Dan kalian disana senantiasa diberi keselamatan dan kesehatan. Aaamiin.

Kemarau ini, kami disini pun mengalami kekeringan. Air sumur mulai surut. Bahkan di tengah Pulau Jawa sana sudah lama mengalami kekeringan. Kami sangat menantikan diturunkannya hujan, sama halnya dengan harapan kalian disana wahai saudaraku.

Buka mata dan akuilah bahwa saat ini Indonesia bukan lagi Negeri Agraris. Jangankan membayangkan asap dan kabut di Sumatera sana. Menghirup asap kendaraan di jalan pun sudah sesaknya minta ampun.Tadi pagi, pukul 07.00 WIB. Jalanan sudah padat merayap. Mata perih. Kepala pening. Hidung tersumbat bau asap yang sangat menyengat. Tak terasa hangatnya mentari apalagi udara sejuk. Yang ada kami ingin muntah menghirup karbon monoksida mengepul menusuk lubang hidung. Akhirnya, kami para pelajar sudah mabuk terlebih dahulu ketika sampai di sekolah. Pagi-pagi badan basah keringat, padahal berangkat dari rumah penuh dengan semangat.

Kini asap sudah menjadi asupan (racun) sehari-hari bagi kita. Tapi ternyata tidak hanya di jalanan kita dikepung asap. Dalam ruangan dan tempat-tempat umum pun kita lebih tersiksa. Asap rokok berkali-kali menelusup hidung hingga rongga dada. Entah sudah seperti apa bentuk dan warna paru-paru di dalam tubuh kita ini. Paru-paru dunia di Indonesia saja sudah tinggal abu. Wallahu ‘Alam kedepannya Negara Indonesia ini seperti apa. Jika terus menerus dibiarkan seperti ini, Indonesia puluhan tahun kedepan mungkin hanya akan menjadi bagian dari sejarah dunia. Dalam tanda kutip, “YANG KELAM”.

Ah ironis. Dulu di buku Geografi Sekolah Dasarku tertulis bahwa Indonesia Itu Negeri Agraris. Nampaknya anak-anak sekarang tidak tahu akan hal itu. Bagaimana tidak? Apa penulis di penerbit buku tidak malu masih mengatakan Indonesia Itu Negeri Agraris? Atau jika dipaksa harus tertulis demi menciptakan aroma nostalgia, anak-anak tidak bisa begitu saja percaya. Mereka pasti bilang, “Pak Guru ah masa?” Karena mereka pun merasakan ketirnya realita yang ada.

Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah. Mari kita terus berdoa agar Allah senantiasa memelihara Indonesia dan ratusan juta bangsanya. Mudah-mudahan dijadikan Negeri kita ini Negeri yang aman dan tenteram. Aamiin Ya Mujiiba Saa’iliin. Aamiin.


Laki-laki, Jadilah Maskulin Sejati

Al-Qur’an secara frontal menjelaskan kepada kita. Bahwa laki-laki  adalah pemimpin kaum wanita (coba buka Surat An-Nisa ayat 34). Alasanku begitu berani mengambil makna alegoris dari ayat tersebut adalah rasa prihatin yang kian menjalar. Bahwa sangat sedikitnya kaum pria pada masa kini yang tidak berprikelaki-lakian. Yaitu pria yang tidak memiliki sifat atau sikap yang layak bagi seorang pria. Memang dapat dikatakan betul, kalau sosok laki-laki itu identik dengan sifat dasar mereka. Sebagaimana menurut para psikologi yaitu cuek, mengutamakan logika, praktis, harga diri, berfikir masa yang akan datang, mengutamakan hasil dan berfikir global. Tapi diluar itu semua, ada hal-hal kecil yang mereka abaikan tapi menjadi suatu penilaian penting bagi kaum perempuan.

Seiring waktu kita tak pernah berhenti belajar, betul? Membaca dalam Surat Al-Alaq bukan hanya bermakna membaca buku atau Al-Quran. Melainkan membaca sikap orang lain. Membaca diri kita masing-masing. Membaca alam kehidupan yang luas ini. Membaca perasaan orang lain. Membaca sekitar. Bacalah! iqra’!perhatikanlah! amatilah! observasilah! segala sesuatu yang bisa kita baca. Segala seuatu yang harus diperhatikan. Segala sesuatu yang layak kita jadikan observasi. (Bukan observasi fisik seperti cerita yang akan kita bahas di bawah ini ya). Maka ucapkanlah Maha Suci Allah yang telah menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup kita. J

Aku kira, tidak hanya kaum laki-laki yang sering menilai tindak tanduk perempuan. Tapi (pasti) ada perempuan yang sering memperhatikan laki-laki di sekitar mereka. Salah satunya adalah aku sendiri. YA. Bukan berarti aku mengabaikan perintah Allah, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya…..” Karena yang aku baca adalah sikap mereka. Yang aku perhatikan adalah akhlak mereka. Perbuatan dan segala tingkah laku kaum yang katanya SUPERIORITAS itu? Well. Aku tidak pernah setuju dengan itu. Di hadapan Allah, derajat kita, laki-laki maupun perempuan adalah sama. Yups, yang membedakan adalah iman dan ketakwaan kita. J

Hm..aku tidak begitu tertarik menilai satu persatu manusia lewat fisiknya. Secara fundamental toh fisik tidak lebih dari seonggok daging yang menyelimuti tulang. Cantik itu kan katanya relative? Tampan juga relative kan? Jadi biarkan saja yang lain menilai melalui porsi mereka masing-masing. Oke, sudah agak melenceng rupanya kita dari isi judul. Hhe..

Hipotesisku mengatakan bahwa laki-laki itu lebih pandai menilai seorang perempuan.   Khususnya apa-apa yang mereka lihat dengan mata telanjang. *Waw..Sedikit mengkhawatirkan ya. Oya, Aku jadi teringat dengan  teman laki-laki di kampusku. Bahkan kami sekelas. Cerita ini adalah salah satu bukti bahwa laki-laki cenderung menilai perempuan melaui fisiknya. Saat itu kami sedang duduk di depan kelas. Tentu itu tempat yang strategis melihat mahasiswa/i berlalu lalang. Sambil ngobrol-ngobrol, sebut saja ia si A. Ia tertawa kecil kepada teman di sampingnya yang juga temanku sekelas. Sebut saja si B. Aku agak aneh kepada sikap mereka yang tiba-tiba tertawa kecil ketika mahasiswi-mahasiswi berlalu di hadapan kami. Usut punya usut. Kepo punya kepo. Akhirnya aku selidiki apa yang mereka bicarakan itu. Karena kebetulan jarak kami hanya dipisahkan sekitar 4 atau 5 jengkol*Ups typo. Maksudnya jengkal. Jadi aku cukup menarik daun telingaku saja agar lebih terdengar. Well, aku tetap bisa pasang wajah calm and cool. :p

Kata si A kepada temannya dengan sedikit membisik tapi Alhamdulillah gak sia-sia telingaku dibuka lebar jadi terdengar, “Ini 70.” Eh, temannya justru tertawa, ia bilang,”65 65..Nah..yang ini nih..80”. Karena masih bingung, sst! Aku melirik sedikit. Mengikuti arah sorotan mereka. Astagfirullah..ternyata mereka sedang menilai mahasiswi yang dari tadi lewat. Please, jangan tanya aku dari sisi mana penilaian mereka. Tapi yang membuatku menelan ludah adalah saat si B mengatakan angka 80, tepat di depan mereka seorang perempuan yang………*sensor 18+. Aah sudahlah. *Observasi macam apakah itu? Tidak perlu diteruskan. Semoga ada hikmahnya aamiin.

Ok next. Yang aku perhatikan selama ini adalah ‘beberapa’ laki-laki telah kehilangan sisi kelaki-lakian mereka. Kembali ke awal. Banyak laki-laki yang lupa bahwa posisi mereka adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Ada sedikit hal dimana mereka melupakan bahwa pada saat itulah posisi mereka seharusnya ditempatkan. Laki-laki tidak hanya bertindak sebagai imam (pemimpin). Atau kepala rumah tangga dalam keluarga. Dalam konteks yang lebih kecil aku akan coba mengambil beberapa contoh dalam kehidupan sehari-hari yang sering dilupakan oleh para pria.

Yang pertama. Mungkin hal sepele  bagi kebanyakan orang. Tapi hal penting untukku. Ketika seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang hendak menyebrang jalan. Tapi siapa pun itu. Mau itu anak kecil, ibu-ibu, nenek atau kakek-kakek.*But ini bersifat kondisional ya!! Siapa pun itu. Maka ia (sepatutnya) selayaknya membantu mereka menyebrang.Wait..ini dalam posisi tidak ada jembatan penyebrangan atau zebra cross. Sekalipun ada zebra cross, kita tahu bahwa pengemudi tidak banyak yang sadar untuk menahan sebentar kemudinya. Lalu memberikan kesempatan untuk para pejalan kaki yang lewat.

Ini juga jadi poin kedua. Alangkah tampannya menurutku, ketika suatu waktu aku pernah menyebrang jalan bersama teman. Seorang laki-laki di atas motornya, rela berhenti sebentar membiarkan kami lewat. Dengan isyarat tangan yang mempersilahkan yang ia tunjukkan kepada kami.”Ini baru namanya laki-laki.” Gumamku dalam hati. Tidak peduli itu modus atau hanya pencitraan. Toh apa yang mau dibanggakan? Dia  pake helm. Faktanya kan sedikit laki-laki yang seperti itu. Bener gak?

Poin selanjutnya. Menurut kisah nyataku juga. Waktu itu aku berada di stasiun Bogor. Aku terenyuh melihat seorang nenek menyeret sekarung beras. Beliau kebetulan sudah melewati pintu e-ticketing. Sedangkan aku masih dalam antrian. Aku perhatikan sambil merasa kasihan. Sekitar dua langkah sang nenek berjalan sambil menyeret sekarung beras. Dari belakang menyambar sesosok laki-laki muda mencoba mengalihkan bawaan itu kepadanya. Sang nenek terlihat tersenyum. Dari jauh aku bersyukur nenek itu ada yang membantu. Aku fikir memang laki-laki itu adalah saudaranya atau cucunya. Tapi ternyata bukan. Ketika aku berdiri menunggu kereta di samping si nenek. Ia bilang kepada ibu-ibu di sampingnya,”Alhamdulillah tadi ada laki-laki gak dikenal yang bantu nenek bawa beras. Baik banget.” Dan bla-bla-bla aku gak ikut campur lagi dengan omongan antara nenek dan ibu itu. Yang jelas, subhanallah banget gak laki-laki seperti itu? Yang bilang itu mainstream sih terserah ya... J

So, apalagi ya. Hm.. ya. Laki-laki itu harusnya jangan membiarkan seorang perempuan ketika di angkutan umum duduk di dekat pintu. Kalau yang ini relatif dan kondisional. Tergantung posisi tempat duduk angkutannya. Yang aku maksudkan disini itu angkutan perkotaan yang bangkunya 6 4 itu loh? Paham ya?Terus kan biasanya ada bangku kecil yang muat dua orang kan ya deket pintu mobil itu? Ada laki-laki yang tidak peka membiarkan perempuan duduk di dekat pintu. Padahal ia bisa turun dulu lalu membiarkan si perempuan duduk di dalam. *Jadi gak deket-deket pintu banget gitu. Well, tapi pada tahu kan mobil angkot yang aku maksud? Kalau gak mudeng, main deh ke Bogor. Selain dijuluki Kota Sejuta Angkot. Gak main-main cara kemudinya yang sering ugal-ugalan. Kepengen nandingin Buraq kali yaa? Nah loh, disitu posisi perempuan sedikit terancam kalau dibiarkan duduk dekat pintu. Katanya laki-laki pemimpin kan ya? Jadi dia juga harus menjadi sosok yang melindungi. Kecuali…emang dasarnya si perempuan menolak dengan alasan tertentu. Ya gak dipaksa juga kali.

Terus terus teruss.. Laki-laki harus peka dong. Kalau di transportasi umum, usahakan lebih utamakan perempuan untuk duduk. But, ini berlaku bukan untuk perempuan aja. Tapi anak-anak, ibu-ibu, gadis sekalipun, orang tua yang sudah lanjut usia, nenek maupun kakek-kakek. Tumbuhkanlah rasa empati dan simpati dalam diri kita. PEKA COBA! Kurangi rasa cuek kalian itu.

Oke, mungkin itu hanya sebagian kecil contoh dari keseharian yang aku amati. Lebih banyaknya lagi, agan atau aganwati bisa observasi sendiri aja. Hhe. Buat laki-laki yang takut dibilang modus atau keganjenan atau pencitraan atau apalah kata mereka. Saranku sih jangan dihiraukan. Jadilah laki-laki yang berprikelaki-lakian (maskulin). Percaya deh, tampan di mata kami lebih berkualitas nilainya dari penilaian kalian terhadap perempuan secara fisik. Tampan di mata kami memang terlalu didramatisir. Tapi memang seperti itu faktanya. Laki-laki jangan cuma mikir ganteng. Rambut terawat. Wangi. Rapi. Stylish. Itu bisa jadi gak ada artinya apa-apa. Nomor satu itu, jadilah pria yang berprikelaki-lakian. Pria yang memiliki sifat-sifat yang memang layak ada pada diri laki-laki. *Camkan itu ya. Hhhe.. J

*Tulisan ini hanya berdasarkan testimoni penulis. Sekali lagi ditegaskan, bahwa cerita di atas bersifat relative dan kondisional. Dan bukan berdasarkan hasil observasi kepada banyak orang. Jadi woles aja ya, belum ada legitimasinya kok. Sekedar berbagi opini. Hihi. Salam! J





Kamis, 11 September 2014

Empat Malam Meraba Jakarta

Aku sebenarnya bukan perempuan yang terbilang pemberani. Selain kadang aku suka tiba-tiba bodoh jika dihadapan khalayak. Aku pun seorang penakut akut kalau kemana-mana sendirian. Apalagi di Jakarta??

Tanggal 26-29 Agustus 2014 yang lalu. Aku menghabiskan waktu libur panjang kuliahku di Manggarai Jakarta Selatan. Tepatnya di daerah Pasar Rumput. Ya…walaupun hanya empat hari aku disana. Hhhee. Sangat terasa manis, asam, asin dan pahit Kota Jakarta. Kakakku yang kebetulan tinggal disana harus pindah bersama kami lagi di Bogor, karena kakak iparku (suaminya) ditugaskan kerja di Pekanbaru Riau.

Setelah sarapan, kami selalu bergegas membereskan dan membungkus barang-barang yang  akan dibawa pindah nanti. Ya memang sebenarnya itulah tujuanku diutus ke Jakarta, tidak lain untuk membantu  kakakku packing. Karena kebetulan kakak laki-lakiku juga masih sibuk dengan pekerjaannya. Kerabat laki-laki pun terbilang jauh (tempatnya). Sedang suaminya telah lebih dahulu terbang ke Utara Pulau Sumatera sana sekitar satu pekan yang lalu.

Untungnya, aku tak berangkat sendirian ke tempat kakakku itu. Aku ditemani umi dan keponakanku yang baru berusia 10 bulan. Walaupun sebenarnya sudah lebih dari tiga kali aku pulang pergi Bogor-Jakarta seorang diri. Tapi tetap saja masih suka deg-degan. Orang yang paling mengerikan di hidupku itu cuma dua. Pertama orang gila, kedua adalah laki-laki yang tidak aku kenal. Apalagi yang gayanya mirip preman. *Hoaah.. aku bisa mati gemetaran di tempat. *Uh.
Sayangnya mereka harus pergi lagi. Tepat tanggal 27 umi dan keponakanku itu pulang ke Bogor. Karena kakakku masih kerja sampai tanggal yang sama dan untuk terakhir kalinya. Pagi itu, aku mengantarkan umi sendirian sampai depan gang jalan. Karena kakakku masih kerja hari itu *pulang sore. Dalam hati aku menggerutu, kenapa pula umi memilih jalan ini. Jalan yang belum begitu aku hafal. Tapi aku mencoba mengingat setiap belokan dan tanda-tanda lain agar ketika kembali lagi aku masih bisa ingat. Tentu ini tak semudah gang yang biasa aku lewati sebelumnya. Dan tepat saja perasaan burukku itu berubah menjadi kenyataan. Tepat kami melewati satu gang pertama. Kami dihadapkan dengan sekitar 6 atau 7  laki-laki*menurut perhitunganku. Mereka sedang duduk dan ada juga yang berdiri. Oh Tuhan…. Rasanya ada yang memukul dadaku tepat di jantungku. Seolah sekejap berhenti berdegap. Aku lemas.

Kamu tahu mereka sedang apa? Mungkin ini yang mereka sebut nge-fly. Ah entahlah cairan apa yang dimasukkan ke dalam aliran darah mereka. Seolah mereka begitu menikmatinya! Suntikan-suntikan itu begitu jelas tertangkap oleh mata kami. Mungkin ini yang mereka bilang surga dunia? Tak tahulah aku.

Akhirnya, umi memecah kebekuan. Umi dengan cekatan meminta izin lewat sembari senyum. Entahlah senyum apa yang umi berikan untuk mereka. Sedang aku masih menggigil ketakutan di belakang punggungnya. Ah, bolehlah aku mengatakan ini suatu kesialan? Karena beberapa menit lagi aku yang akan menghadapi mereka sendirian.*Tarik nafas pelan-pelan.

Oh.. mengerikan sekali Jakarta buatku ini. Menuju jalan pulang ke rumah pun laki-laki terus menatapku tidak sopan! *segini pakai kerudung. Ya, apa mereka tidak pernah belajar PKN waktu SD dulu? Aku membuang wajahku jauh-jauh ke aspal. Dan kakiku terus bergegas menuju jalan tadi. Aku benar-benar takut tingkat kecamatan. Sampai aku tidak kepikiran kalau aku bisa memilih jalan lain untuk pulang.Ya. Jalan yang biasa aku lewati. Akibat panikku yang berlebihan, jadi kurang cerdas.*OH..Tolong aku Ya Allah.

Satu, Dua, Tiga langkah lagi aku akan menghadapi orang-orang nge-fly tadi. Pikiranku meliar, bagaimana kalau sekelompok orang itu berbuat jahat padaku. Menarik paksa kedua lenganku, lalu mereka tertawa sambil menusuk-nusukkan benda haram itu ke aliran darahku. Lalu seketika aku mati. Atau setidaknya masih sekarat dan dilarikan ke rumah sakit oleh warga sekitar. Dengan mulut penuh busa, kejang-kejang, dan mata melotot. *Issh..Bodohnya aku tak sempat berfikir untuk apa mereka berbagi kenikmatan mereka padaku, yang mereka dapatkan dengan uang yang tidak sedikit menurutku.

Dan Oh My God.. ternyata oh ternyata jarak mereka justru lebih mendekat ke arah rumah kakakku itu. Bismillah, aku tundukkan kepala sedikit, aku anggukkan pelan. Lalu dengan suara setengah tersekat, aku ucapkan, “Permisi…”. Aku sempat saling menatap dengan dua pemuda di antara mereka. Mata mereka sungguh sayu. Suara mereka pun seperti orang mabuk miras *seperti yang aku lihat di sinetron. Mereka berdua tersenyum padaku dan memberikan salam. Ya, salam. Dan aku sama sekali tak menghiraukan.

Singkat episode, esoknya aku diajak jalan-jalan oleh kakakku. Ini yang aku sebut manis. Apalagi kita pulang ke rumah malam hari, terlihat indah sekali Kuningan itu.  Pahitnya itu ya, kejadian yang aku ceritkan sebelumnya. Asinnya?You know lah… yang rasanya asin selain upil, air mata, dan ingus, apa coba? Nah! Betul, emang yaa..kalau di Jakarta ini panasnya nonjok banget. Hhe…jadi cepet asin deh kulitnya deeeh. Hik Hik. *Ongkek.

Aku diajak ke Ambassador di daerah Kuningan Jaksel. Mall tingkat bawah-menengah *menurutku. Karena ada yang berdiri lebih mewah lagi dari mall itu tepat disampingnya. Kayaknya untuk orang-orang menengah ke atas kali yaa. Ah..aku tak peduli itu. Mungkin memang begitu adanya di Ibu Kota. Tingkat kekayaan dan status pun itu sangat penting dan dijadikan bahan penilaian orang*begitulah.

Setelah berlelah-lelah ria (ngider) atau keliling. Kami nyari tempat makan. Dan cesss.. kami duduk dan makan dengan nikmat. Gak lama kemudian, datang deh cewek cantik beeud sama cowok *pacarnya kali ya? Mereka duduk di samping tempat duduk kami. Masya Allah seksi ambooy, rambutnya pirang, pake*baca yukensi warna hitam, kakinya mulus menn, pake high heels, ada tatonya juga tuh ternyata di deket mata kakinya. Gak tau deh gambar apa. Beuuuh, itu orang pake celana gak siih. Tiba-tiba pertanyaan itu terbesit dalam pikiran. Karena ngeliat si cewek itu pahanya gak ketutup sama sekali. Dalam hati aku bilang, mungkin gak dosa kali ya, liat aurat tuh cewe. Kita kan sama-sama perempuan.

Apppaa! Kita? LU AJE sama keluarga GUE. *Eh, maksudnya? Kamu bakalan keselek pas denger suara dia yang ngebaaaass banget pas ngobrol sama cowok itu. Kamu bisa ambil kesimpulan sendiri dari cerita tadi. Asssem gak tuh?

Kakakku sempat menghiburku ketika aku menceritakan kejadian pahit yang aku alami kemarin. Beliau bilang kita gak usah takut, kalau lewat ya lewat aja. Gak bakalan ganggu kok. Aku dengan antusias *layaknya jurnalis beneran, bilang, “Kenapa gak ditangkep polisi aja? Atau laporin aja!”. Eh kakakku malah biasa aja, katanya udah pernah sih polisi datang tapi gak ketangkep-tangkep. Pikirku, ah payah bener polisi masa aku harus manggil James Bond ke Indonesia buat memberantas mereka? *Sekalian aku ajak foto bareng deh Daniel Craig nyaa..Hhee..*Lupakan. Maksudku biar dibawa ke tempat rehabilitasi gitu. Malah kata kakakku hampir setiap lewat situ *gang tempat tongkrongan mereka, suka ada kotoran manusia. Mungkin saking nikmatnya tu obat kali ya?Sampai buang aer gede gitu. Iiih…Naudzubillah…. jangan pernah nyoba yaa…!

Hm....segini baru 4 malem. Gimana yang emang udah berbulan-bulan atau bahkan bertahun lamanya tinggal di Jakarta. Pasti hal-hal yang aku ceritakan tadi itu sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan mungkin lebih ekstrem lagi. Iya gak?Hm…Jakarta memang Kota Maklum ya..


*Semoga ada ibrohnya yaa, atas ceritaku ini. :D Salam.. ^ ^

Menelanjangi Lilin


Apakah dosa lilin sehingga aku tega menelanjanginya di depanmu? Di depan khalayak? *Syuut. Tidak perlu dijawab. Biarkan matamu yang terus menyisir habis seluruh tulisan ini. J *Itu juga kalau sanggup. Kalau gak kuat lambaikan tanganmu ke arah kamera ya. Disini ada kamera. Di sebelah sana juga ada. Di ujung sana ada kamera. Selamat anda masuk ke acara kami, “Keennaa Deeh”. Hhe. *Gigit bantal.

Membicarakan seseorang dihadapan orang banyak, menurutku kau hanya sedang melucuti pakaiannya hingga ia layaknya orang yang telanjang. Suka kah jika ada seseorang yang melakukan hal itu terhadapmu? Tentu saja tidak. Karena kita manusia. Bukan kucing. Bukan binatang.

Itu sebab kenapa aku memilih kata “menelanjangi” pada tulisan ini. *Biar lebih greget. Karena aku akan mengajakmu untuk lebih tahu tentang lilin. Ya. Aku akan membicarakan banyak hal tentang lilin.*Eh? Sedikit sih. Tepatnya, menelanjanginya di depanmu.*Please jangan bilang gak penting dulu.*OKE. Serius. Serius. Serius.

Siapa penemu lilin? Hayo jawab..Hhe..Udah kayak cerdas cermat waktu di SD ya. Oke kalau itu terlalu sulit, kita ganti ke pertanyaan selanjutnya. Berapa harga lilin di warung terdekatmu? Pilihan hanya ada dua ya. Kamu bisa pilih tirai atau kotak. *Hm? Susah juga tah? Oke next. Ada berapa lilin dalam satu pack yang biasa kamu beli? Tentu kalau kamu lagi iseng sempetlah ya..itung-itung.*Oh, gak pernah ya? Atau pernah gak sih waktu kecil kalau liat cairan lilin yang meleleh, yang udah kering di lantai, terus kamu korek-korek pake jari kamu ampe bersih? *Apa masa kecilku doang ya, yang seperti itu?*Glek. 

Oh oh oh aku tau aku tau..Apa kebiasaan kamu sama temen kamu kalau liat lilin nyala, jari telunjuk kamu menampar-nampar api?. Terus dengan merasa hebatnya *sok dewasa, kamu bilang, “gak panas” *ya iyalah orang gerakan tangan kamu cepet banget. Bener seperti itukah kamu dulu? Appah? Pertanyaan semudah ituh gak bisa jawab juga?*Jangan bilang masa kecil kamu terlalu disibukkan mencari huruf “N” di bungkus permen karet YOSAN? Hm..Oke oke tetap tenang di tempat. Masih ada pertanyaan terakhir. Terbuat dari apakah lilin itu? *Haduuh. Masih gak tau juga ya? Aku juga gak tau. Yuk kita sama-sama cari tau.. J *Assem! Nyesel gue udah baca sejauh ini. *Hiks.

Wait wait wait agan-agan dan aganwatiku yang baik hati. Tenang dan jangan rusuh. Bukan itu yang akan kita bahas. Itu semua jadikan pekerjaan rumah aja ya *bagi yang rajin. Atau biarkan pertanyaan-pertanyaan tadi tetap mengapung dalam pikiranmu. *Hhe.

Kita tahu lilin itu pasti bersahabat dengan api. Ia tak bisa jauh-jauh dari api. Lilin akan kehilngan fungsinya tanpa api. Tidak berguna. Lihatlah ia begitu lemah. Mudah rapuh. Mudah patah. Lalu, coba kamu perhatikan ketika ada api yang melengkapi kehidupannya. Ia dapat menerangi ruang gelap. Walau ia harus mengorbankan dirinya habis meleleh. Ada yang bilang, jadilah seperti sebuah lilin yang tulus memberikan manfaat untuk orang lain walau dirinya sendiri terbakar. Hm..analogi macam apa itu? Tapi mari hargailah sebuah pendapat. J Kalau aku lebih baik jadi lampu aja deh. Hehe..

Aku ingin bertanya kepadamu. *Bukan pertanyaan konyol seperti sebelumnya. 

“Ketika kamu meniup lilin yang menyala dan seketika api itu padam. Lalu kemanakah perginya api itu?”*Please jangan bilang, “Ke hatimuh.”

Aku sempat bertanya pada teman di Fesbuk. Ada yang menjawab ini termasuk Filsafat. Ya. Bisa jadi, karena ini membutuhkan perenungan dan pemikiran yang cukup dalam. Ada yang bilang pergi ke suatu tempat. Ada juga yang menjawab dengan jawaban-jawaban yang unik dan lucu. *Mungkin dia lelah.

Aku setuju dengan sebuah analogi Derry Oktriana Syofiadi dalam bukunya “Selamat Tinggal Tuhanku Aku Perempuan Merdeka”. Disini aku tidak akan membahas isi buku itu. Judulnya memang ganas dan parah. Tapi kapan-kapan kamu coba baca ya.*Don’t Judge The Book By It’s  Cover. Beliau bilang, lilin itu adalah seperti kita. Dan api itu adalah ruh kita. Ketika api pada lilin kita tiup, maka lilin akan mati. Gelap. Tidak ada lagi cahaya. Sama halnya, ketika sewaktu-waktu ruh kita ini ditiup oleh Sang Pemiliknya, Allah. Maka tiadalah berarti raga atau jasad ini tanpa ruh. Seperti lilin tanpa api. Tidak berguna.*Masya Allah. Mungkin itu sebabnya nyaris selalu ada lilin di atas kue ulang tahun kita. (Mungkin) agar kita selalu mengingat akan kematian.*Kita coba ambil sisi positifnya ya.. J

Dan menanggapi pertanyaan, “..Lalu kemanakah perginya api itu?”. Hilang kah? Ditelan angin kah? Sungguh hanya Allah Yang Maha Kuasa lah yang Mengetahuinya. Tapi jika kita mencoba mengaitkan dengan opini di awal. Jika api itu ibarat ruh kita. Maka ruh itu akan kembali pada Genggaman-Nya. Kemudian kelak kita akan berkumpul dan dihisab di akhirat. Ya. Kita akan kembali kepada tujuan kita hidup di dunia. Yakni kampung akhirat yang kekal abadi.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan di dunia ini adalah permainan dan suatu yang melelahkan” (QS. Al Hadid: 20).                                                       

“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan kekal.” (QS.Al ‘Alaa: 17).

Lalu tahukah kamu, bahwa lilin dan api pun butuh udara? Ya. Seperti layaknya kita yang butuh bernafas. Ada sebuah penelitian yang mengatakan, ketika kamu menutup lilin yang menyala di dalam gelas yang rapat atau tertutup, maka api itu lama-lama akan padam. Persis kita ya. Bagaimana jadinya jika tiba-tiba nikmat udara yang Allah berikan ini diambil sewaktu-waktu. Tentu kita akan mati bukan?

Ya. Seperti itulah lilin.

Mohon maaf atas segala kesalahan ya. Terima kasih atas segala perhatian. Semoga bermanfaat.
Wassalam.

*Ditulis sesingkat mungkin biar kamu gak kesel dan gak kecapean baca. Maaf ya, kalau tulisan ini sangat menyebalkan. J
                           
Wallahu ‘Alam Bi Shawab.

Sabtu, 06 September 2014

GELAP

Setiap kali aku ingin memuntahkan rasa sakit ini.
Melalui lidah tanpa suara yang mendesah.
Ternyata selalu saja ujung mataku yang lebih dahulu basah.
Apakah disana Kau juga merasakan dadaku yang menjalar sakit dan perih yang meringkih.
Maaf Tuhan, Aku katakan ini sakit.
Terasa kulit hatiku yang kering ini Kau cubit-cubit.
Lalu semakin lemah aku mengeja nama-Mu riuh melangit.
Semakin terasa pula urat-urat di sekujur tubuhku saling terjepit.
Sakit.
Aku katakan ini sakit.

Nyeri.
Lagi-lagi Kau membuatku nyeri.
Nyeri hanya mampu mendengar kalimat-Mu lewat bibirku yang kadang kaku.
Hingga telingaku kadang tak sanggup menyeret alunan itu menyentuh dinding Qalbu.
Kau Tahu? Jariku gemetar meraba urat-urat hitam di atas kertas suci itu. Apakah bisa?
Apakah bisa huruf-huruf itu mengobati rindu yang sudah terlalu?Oh Tuhan. 
Bagaimana bisa aku mengatakan ini rindu.
Bagaimana bisa aku katakan ini rin du..? Sedang aku tak tahu seperti apa itu rindu.

Maafkan aku Tuhan. Aku katakan ini sakit.
Mengapa harus begini gelapnya hanya ingin menatap wajah-Mu? Ya. Gelap.
Tak ada yang lebih gelap selain mencari  wujud-Mu yang tak jua tersingkap. 
 Bahkan kornea mata pemberian-Mu ini tak pernah mampu untuk menangkap.

Tuhan. Maafkan aku mengatakan ini sakit.

Karena tak ada  yang lebih sakit selain menyentuh-Mu yang amat sangat sulit.
Kau benar-benar cahaya di atas segala cahaya dan cahaya dan cahaya. Di atas segalanya.
Dan cahaya itu terang. Dan Kau terang di atas segala terang dan terang dan terang. Di atas segalanya.

Oh Tuhan.
Mengapa harus segelap ini hanya ingin menatap wajah-Mu.
Aku gelap. Dunia ini gelap. Gelap di atas segala gelap dan gelap. 
Karena Kau cahaya. Dan dunia adalah gelap.
Lalu aku dimana. Lalu aku dimana.
Dimana saat Kau bilang Kau amat dekat.
Sedang mata dan hati dan mata hatiku selalu pekat.
Ya. Kadang aku merasa dekat.
Tapi apa benar Kau pernah begitu dekat?
Bukankah Kau begitu dekat sedekat-dekatnya dekat dan amat begitu dekat.
Hanya ketika aku dalam gelap segelap-gelapnya liang lahat? 
Tuhan.
Sungguh maafkan aku mengatakan ini sakit.


Di Ujung Senja

Jika saja, aku tahu kapan matahari kembali ke peraduannya. Saat langit mulai memerah. Tapi aku hanya tahu tanda-tandanya lewat rambutmu yang mulai bercahaya putih cerah.Dan senja semakin dekat. Juga wajahmu yang semakin lekat dalam hatiku yang masih pengap. Gegap gempita membutuhkan sinar dari wajahmu yang berbinar.

Bagaimana bisa aku tak mengingatmu. Sedang hanya namamu yang begitu kuat merobek hatiku begitu dalam. Pahatannya begitu jelas dan selalu terang. Kau satu-satunya yang paling aku sayang.

Sampai saat ini, sudah setengah abad lebih kau menemaniku. Bahkan itu tak pernah cukup untukku. Aku bahkan pernah meminta kepada Tuhan. Agar Dia tak menyuruhmu pulang sebelum aku yang lebih dahulu pulang. Aku tak mengerti kenapa Tuhan memberiku sesosok malaikat yang begitu istimewa dalam hidupku, lalu Dia akan mengambilnya lagi sewaktu-waktu.

Bagaimana bisa aku tak mengingatmu. Bahkan aku belum bisa mengusap setiap peluh yang basah di kulitmu. Melukiskan sebuah sabit manis di bibirmu.Tapi apa? Aku beranjak dewasa terlalu cepat hingga wajahmu keburu bergurat.


Di ujung senja tanpa roda yang bisa berputar ke semula. Aku titipkan sajak doa untuk umi tercinta. 

Jika Kau Mau

Kau salah, menilaiku begitu rendah. Aku bukanlah bocah-bocah yang berlari mengejar layang-layang putus sampai menyebrangi ladang dan sawah. Kakiku memang penuh lumpur dan debu. Tapi bukan karena aku mengejarmu hingga basah kotor seluruh kakiku. Melainkan menghindarimu yang sesulit menangkap angin dan kutu.

Tidaklah kau mendengar setiap alunan penaku yang tersuling untukmu itu. Ah, sudahlah aku tahu kau tidak tahu. Sekalipun kau tahu, pasti akan pura-pura tidak tahu. Dan sayangnya kau tidak tahu itu bahwa kau tahu dan aku tahu kau tahu.

Atas dasar teman. Aku gelarkan karpet merah untuk selalu terbuka menyambutmu jika kau mau. Tapi hei, jangan pernah berfikir bahwa aku sama dengan bocah-bocah itu.
Selalu buka telingamu untukku. Karena aku akan berteriak kencang jika di depanmu ada lubang. Atau kubangan, selokan, batu atau ranjau yang menghalangi kakimu. Aku peduli jika kau mau mendengar. Tapi aku akan tetap berteriak walau telingamu menghindar. Sampai akhirnya semesta lah yang berbicara dan memberi kabar.

Sewaktu-waktu.Ya.
*Jika kau mau.

Jumat, 05 September 2014

Tradisi VS Syar'i


“Demi Allah Abu Thalhah, orang sepertimu tidak akan ditolak (jika melamar wanita). Akan tetapi kamu seorang kafir sedangkan aku seorang muslimah. Tidak halal bagiku menikahimu. Namun jika kamu masuk Islam, maka demikian dapat menjadi maharku. Dan aku tidak meminta selain itu.” Kata Ummu Sulaim kepada Abu Thalhah yang hendak meminangnya. J

Bismillah, sebelumnya saya akan coba menjelaskan arti dari mahar itu sendiri. Mahar atau yang kita kenal dalam masyarakat adalah mas kawin. Ialah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarganya) pada saat pernikahan. Jumlah mahar itu sendiri adalah sesuai kesepakatan antara kedua pihak dan wali. Adapun hak bagi perempuan untuk menolak dan menerima mahar yang ditawarkan oleh sang pria. Secara syar’i, mahar adalah syarat sahnya sebuah pernikahan. Mahar bukanlah atas harga diri seorang wanita, karena wanita sama sekali tidak pernah menjual dirinya dengan mahar. Melainkan ia adalah syariat agama, penghormatan seorang pria kepada calon istrinya, dan akan menjadi tanggung jawab kepada Allah kelak nanti.

Tapi..terkadang tradisi kita lah yang selalu melawan syar’i.
Tradisi kita memberi teladan. Bahwa apa yang disebut pernikahan adalah pesta sehari semalam. Bahkan ada yang sampai semalam suntuk dimeriahkan oleh penyanyi dangdut.

Tradisi kita memberi teladan. Bahwa (jika) tidak ada tenda-tenda megah yang terpasang. Hanya ada akad nikah yang sederhana oleh sepasang adam hawa yang menyimpulkan cinta. Maka saling berbisiklah para tetangga kiri-kanan, “Kecelakaan ya?” *(Alias, sudah hamil duluan?)

Tradisi kita memberi teladan. Bahwa seberuntung-beruntungnya wanita ialah yang sangat besar mas kawinnya. Benarkah? Bisa jadi. Keliru? Mungkin.

Tradisi kita lagi-lagi memberi teladan. Laki-laki yang mapan adalah yang ber-uang. Berduit. *Kata orang sih ber-wibawa. Wi..bawa mobil mewah, wi..bawa uang banyak, wi…bawa moge*motor gede. Seperti itukah? Boleh jadi, boleh tidak.

Tradisi kita memberi teladan lagi. Bahwa sang putri yang dinikahkan haruslah dengan pria yang sudah punya pekerjaan yang tetap. *Syukur-syukur seorang Pegawai Negeri Sipil. Itu sungguh prestasi yang cukup membanggakan bagimu wahai pria dihadapan camer. *calon mertua.

Oh…Sepelik itukah menyempurnakan agama?

Padahal Rasulullah SAW pernah mengatakan, bahwa sebaik-baik wanita ialah yang paling murah, mudah, dan ringan mas kawinnya serta baik akhlaknya.Tidak sedikit wanita yang menolak lamaran seorang pria hanya karena mas kawin (yang menurutnya sedikit) padahal sebenarnya lebih dari cukup untuk ukuran orang berduit. Ah masa ada? Ya, apa yang tidak ada di zaman sekarang ini?

Tapi tenanglah, masih ada orang normal di dunia ini. Buktinya,si Fulanah teman saya, ia bisa dihalalkan oleh calon suaminya, walau dengan mahar yang terbilang sangat cukup dan tidak mewah sama sekali. Oh..apa kata orang? Kecil-kecilan itu berarti hamil duluan? Peduli sekali apa kata orang…Yang penting tidak melanggar aturan dan kita senang. Bukankah begitu? J

Lalu apa kata perempuan? Ada yang bilang,
“Seratus juta itu kurang untuk mengadakan pesta pernikahan.” *Akhirnya tidak jadi menikah. Sang pria frustasi. Bunuh diri. TAMAT.

Ada juga yang bilang, “Aku tidak mengharapkan pesta yang istimewa. Kue pernikahan yang tingginya hampir ke atap. Resepsi mewah di gedung-gedung “wah”. Gaun yang menjuntai di atas karpet merah. Atau mas kawin mobil dan rumah mewah. Aku hanya memimpikan, pernikahan yang sederhana. Dimana cinta yang tersimpul di hari itu, akan kekal abadi hingga akhir waktu.” *Ada yang salah? J

Hingga pada akhirnya akan tercipta pertandingan persahabatan antara tradisi vs syar’i. Semua tergantung kesadaran kita masing-masing. Menikahlah atas dasar agama. Bukan hanya atas dasar rupa, tahta, cinta, apalagi harta yang tiada kekal dibawa ke akhirat sana.

Hm..ternyata ada satu perempuan lagi yang bilang,
“Menikah itu sekali seumur hidup, aku memimpikan pernikahan yang istimewa nan megah. Manis untuk aku kenang kelak. Mengundang teman-teman lama, saudara-saudara nan jauh disana. Mengajak mereka untuk tenggelam bersama dalam lautan kebahagiaanku. Hingga basah pipiku oleh haru biru yang Allah berikan di hari itu.” *Ada yang salah dengan perempuan seperti itu wahai pria? J

Oh..jangan pernah mengatakan kami ini mata duitan. Karena bagi perempuan segala sesuatunya harus berkesan. *Bukan berarti mahal J

Dan menurutku,  seorang pria selalu mati-matian untuk memperjuangkan orang yang dia sayang.*Pria yang baik maksudku. Maka jika kau pria memang mampu menikah dengan hartamu yang cukup. Tidak ada salahnya membahagiakan calon istrimu kelak dengan mahar dan pesta yang wanita harapkan. *Asal tidak diniatkan untuk menyombongkan diri dan berlebih-lebihan. J

Wallahu ‘Alam Bishawab.



*Mohon jika ada yang keliru, pembaca yang baik hati boleh meluruskan. J


Pages - Menu