Minggu, 26 Oktober 2014

Cermin Hati Di Otakku


Motorku menderit di depan toko berwarna pink. Aku tanggalkan helm hitamku pada spion . Gigiku beradu. Sedikit kesal. Aku tahu ini sangat memalukan. Tapi aku tak peduli. Ini semua harus aku lakukan demi menjaga  predikat maskulinku yang dikoyak-koyak oleh perempuan aneh itu. Perlahan aku turun dari motor. Refleks aku rapikan rambut dengan jari. Ini memang sudah kebiasaanku selepas berkendara motor.

Tak perlu mengucapkan salam. Tak ada waktu untuk sekedar melihat bermacam-macam boneka, dompet wanita, jepitan, dan semua yang tak mampu korneaku tangkap di ruangan serba pink itu. Dan ups, lengan kananku tak sengaja mengusik sebuah benda lalu terjatuh. Lagi-lagi penyakit sembronoku kambuh.

“Ya ampun.” Aku bantingkan badanku setengah jongkok. “Apa ini?” Batinku bertanya. Dari bentuknya aku mengira itu adalah sebuah benda yang pernah dipakai Annisa, adik perempuanku jika ke sekolah. Hah. Konyol. Ini baru pertama kali aku menyentuh ikat rambut wanita. Aku menggeleng.

“Mau cari apa Mas, ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang perempuan penjaga toko yang berhasil menghancurkan lamunanku. Aku bergegas berdiri.

“Saya mau mencari cermin berwarna pink, Mbak. Eh, maksud saya cermin itu bungkusnya warna pink. Pokoknya ada warna pink nya Mbak. Terus bentuknya hati ya Mbak. Ada?”

“Em? Bentuknya hati ya Mas? Lagi kosong tuh Mas.” Tukasnya cepat.


“Oh kalau begitu terima kasih Mbak, saya permisi.” Aku tersenyum datar. Membalikkan badan dan melangkah keluar. Sangat kecewa.

“Mas Mas! Cermin yang ini saja Mas, ini juga warna pink. Bagus. Buat pacarnya ya Mas?” Perempuan itu ternyata mengejarku. Aku berhenti dan memutar arah lagi.

“Tidak Mbak maaf, saya cari yang bentuknya hati.” Dengan ketus aku melanjutkan langkah menuju pintu keluar.Tapi jengkelnya perempuan itu masih saja memanggilku.

“Ada apa lagi Mbak? Saya kan sudah bilang, saya cari cermin yang…”

“Nggak Mas. Bukan itu.” Jawab perempuan itu memotong kalimatku yang belum rampung. Dia menunjuk ke arah tangan kananku.

“Astagfirullah, maaf Mbak saya lupa. Ini tadi kebawa.” Aku tersenyum malu. Ternyata dari tadi tanganku masih menggenggam ikat rambut yang kujatuhkan beberapa menit lalu. Perempuan itu menghela nafas. Matanya sedikit sinis saat meraih kemasan plastik transparan dari tanganku. Aku keluar mendekati motor. Ah. Baru saja wajahku seperti ditinju-tinju. Aku tutup kaca helmku. Lalu tancap gas pulang ke rumah.

Mataku menatap nanar langit-langit kamar. Menyisir setiap sudut  ruang. Aku tak percaya tempurung kepalaku hanya teriisi oleh “cermin hati berwarna pink”. Seperti hariku telah dikutuk oleh benda itu. Apa oleh pemiliknya? Latifah?

Latifah memang sangat menyebalkan bagiku. Seminggu yang lalu aku tak sengaja memecahkan cerminnya. Padahal ini tak sepenuhnya salahku. Dia yang salah menaruh cermin sembarangan di ujung meja. Saat itu aku hanya sedang belari menuju kursiku di barisan belakang. Lalu tak sengaja tubuhku menyenggol mejanya. Hingga cermin miliknya itu jatuh dan pecah. Suara pecahnya nyaris membuat kelas senyap. Namun beberapa detik kemudian isak tangis Latifah memecah keheningan.

Tubuhku bagaikan air di rawa-rawa. Tak bergerak. Matanya dan mataku saling beradu. Bola mata coklatnya meleleh. Aku lihat air matanya berlompatan. Baru kali ini aku melihatnya menangis setelah dua tahun bersama di kelas. Tak kulihat lagi lesung pipinya yang manis. Tangan kanannya menuju kepala. Ia tarik jilbab putihnya ke belakang. Sampai terlihat sempurna alis hitam pekatnya yang sempat tertutup.

“Aku minta maaf. Aku tidak sengaja, Latifah..?” keluhku padanya sambil kucoba merapikan pecahannya.

Namun gadis berjilbab putih itu langsung menghilang dalam pandangan. Aku mendengar banyak kalimat yang terlontar dari teman-teman. Tercium aroma mengancam agar aku mengganti cermin milik Latifah itu. Bahkan ada yang sempat memakiku karena aku sembrono. Aku tahu. Aku faham. Latifah bukan wanita sembarangan di kelas. Latifah terkenal ramah. Nyaris tak ada cacat yang ia punya di mata teman-teman sekelas. Selain cantik, ia juga pintar menggambar. Aku sempat menggodanya saat ia menggambar sesosok pria. Ia marah luar biasa saat tahu bahwa aku diam-diam sedang mengintipnya. Bukan kepedean, tapi wajah yang digambar oleh Latifah itu sangat persis dengan wajahku. Apalagi titik hitam yang ia taruh di atas hidungnya. Buku “Harry Potter” di tangannya. Itu semua semakin memperkuat dugaanku. Bahwa itu aku?

Aku kumpulkan pecahannya. Aku tentu sangat hafal dengan cermin itu. Cermin itu sering dipakai teman-temannya saat guru belum datang ke kelas. Bentuknya hati. Besarnya hanya segenggam tangan orang dewasa. Bingkainya berwarna pink. Cantik. Tentu aku sangat bingung jika aku harus mengganti cermin itu dengan bentuk yang sama. Mau dicari dimana? Pernah aku mengembalikan cerminnya itu dengan cermin biasa. Warnanya biru. Namun ia menolak. Ia hanya diam saja saat aku menyodorkan. Esoknya, aku berikan lagi cermin biasa berwarna pink. Bentuknya persegi. Wajahnya semakin cemberut.

“Aku tak bisa mencari cermin yang sama persis dengan milikmu itu. Aku juga tidak mungkin menyatukan kembali pecahannya. Aku hanya berharap kamu bisa memaafkan kesalahanku.” Tiga kalimat yang aku tulis dalam surat untuknya. Aku bungkus dengan amplop berwarna putih. Tertulis di atas amplopnya sebaris namaku. Lukman Hakim. Ah, memang terkesan seperti anak putih biru. Tapi ini jalan terakhirku setelah pesan singkatku yang tak pernah dibalas, telepon dariku ia putus. Dan permintaan maafku yang selalu ia abaikan.

Dinda, teman dekatnya yang aku titipkan surat, menghampiriku di parkiran selepas sekolah. Dia membawa surat balasan dari Latifah, tiga hari berselang dari surat pemberianku. Aku sengaja membukanya di kamar. Aku tarik secarik kertas putih dari amplopnya. Warna pink. Aku tersenyum geli. “Hey….Aku ini laki-laki!” Batinku memberontak.

Aku tekejut. Rasa heran menyergap isi kepalaku. Isi kertas itu ternyata hanya sebuah gambar. Ya. Gambar cermin berbentuk hati yang telah aku pecahkan minggu lalu. Aku tak mengerti apa maksud Latifah? Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tak bisa mengganti cermin miliknya? Harus aku cari kemana lagi? Apa dia sengaja ingin terus meneror pikiranku dengan gambar ini? Agar aku terus menerus dihantui rasa bersalah? Kalau saja ia tahu cermin itu telah menggerogoti benang-benang saraf di otakku. Cermin hati dan cermin hati yang selalu ada di kepalaku sampai saat ini. Mungkin sampai kapan aku tak tahu. Kini aku hanya mampu merebahkan tubuh lelahku di atas kasur. Dan mataku mulai menitik.


Minggu, 12 Oktober 2014

Tikus Mandul, Petani Makmur

Politik Damai


Di dunia ini kita punya pameo unik untuk para bedebah rakyat. Para pengkhianat bangsa. Pemilik unggul nafsu tirani. Kita semua sepakat menyebut mereka tikus. Tikus-tikus itu semakin lincah berkeliaran. Indikasinya, mereka selalu lapar dan rakus. Tak pernah punya rasa puas dan kenyang. Biasanya mereka itu hidup di dalam lubang-lubang sempit dan gelap bernama POLITIK. Baiklah, berbicara tentang politik. Nampaknya hanya keluar dari mulut seorang pengamat politik yang sering muncul di televisi. Yang kita tahu pengamat politik pun punya payung mereka masing-masing. Dimana ketika ada hujan debat, dia tak bisa bergerak  kemana-mana. Kecuali berlindung di bawah payung mereka.  Bahkan orang-orang yang katanya Agent Of Change, hampir  tidak terlihat lagi batang hidungnya. Padahal secara fundamental, bukan soal nilai kepantasan atau tidak untuk berbicara tentang politik. Bukan soal titel yang mengurung sebuah nama. Bukan soal seberapa matang usia.  Entah hanya (mau) mencoba belajar mendalami ilmunya. Atau (syukur-syukur) ikut berpartisipasi di dalamnya. Untuk apa? Mari kita sisir tulisan ini hingga usai. J

Kita semua (hampir) mengimani bahwa sedalam apapun orang jujur sampai ke kerak-keraknya, tapi jika posisi dia ada dalam lingkaran politik, maka disangsikanlah nilai kejujurannya. Kita tidak pernah tahu bukan, apa motif mereka menawarkan diri menjadi wakil rakyat? Oh bukan menawarkan diri. Lebih tepatnya, “BERAMBISI”.  Akhirnya kita saling berbisik, “Mereka itu mau jadi politikus atau calon tikus?”. Belum apa-apa kita sudah su’udzan kepada mereka.

Dan bukan apa-apa. Karena kenyataan pun sudah jelas di depan mata. Agaknya sudah tidak bisa dihitung lagi oleh jari tangan dan kaki kita, berapa banyak tikus-tikus Negara yang berhasil ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaikan rantai makanan, KPK itu ibarat ular. Padi adalah uang (hak) rakyat. Tikus-tikus itulah yang berhasil ditangkap.

Tapi coba kita kaji lebih dalam. Apa dengan adanya kehadiran KPK, sesosok ular bersayap malaikat, lalu kita bisa santai berpangku tangan? Goyang kaki kipas-kipas? Urusan belum selesai. Tikus-tikus itu akan punya keturunan-keturunan. Akan tercipta kaderisasi koruptor  yang jaringannya lebih luas. Ya. Itu kalau orang-orang yang berkecimpung di dalamnya itu terus menerus sosok tikus-tikus. Jadi jika kita juga selalu mengandalkan KPK, sepertinya tidak akan ada habisnya. Mengingat akan keluar lagi janin-janin tikus yang baru. Kecuali jika kita sudah berhasil membuat tikus itu mandul. Apalagi kalau tikusnya sepasang? Seperti tren sekarang kan? Yang betinanya juga ikut aktif menggerogoti padi. Ikut membantu suami demi berbakti. Akhirnya mereka pun hidup bersama dalam bui sampai mati. Nah, beda lagi dengan tahun kemarin-kemarin. Mainnya petak umpet. Tahu-tahu keturunannya sudah sampai ratusan. Mungkin ini alasan kenapa mereka punya julukan tikus. Ternyata tikus yang asli itu, salah satu hewan menjijikan yang bisa menghasilkan keturunan sebanyak 10.000-15.000 ekor dalam setahun. Kemudian mereka akan kawin lagi setelah 48 jam pasca melahirkan. Bahayanya, hewan pengerat ini hanya memiliki sekitar 20 hari dalam kandungan. Logikanya, akan lebih banyak lagi cabang-cabang dari garis keturunannya. Pertumbuhannya akan sangat pesat. Dan KPK sendiri akan kewalahan bukan?

Oke. Coba kita pakai kata-kata klasik Islami filosofis yang mengatakan bahwa, “Al Wiqaayah Khairu Minal ‘Ilaj”. Pencegahan lebih baik dari pengobatan. Bagaimana caranya kita cegah kelahiran kader-kader tikus itu. Apa mau terus-menerus diobati KPK? Kita harus berusaha membuat mereka mandul. Layaknya fungsi Pil Keluarga (B)er(encana) alias KB. Yakni memandulkan alat reproduksi manusia. Berarti kita butuh pil itu untuk membunuh pelan-pelan para tikus. Masih masuk akal sebuah adagium “Banyak Anak, Banyak Rezeki”. Tapi kalau tikus? Semakin banyak tikus, semakin cepatlah kita menuju “kematian”.

Lalu dengan cara apa kita meracik pil itu?  Salah satunya adalah kita ganti dengan kader-kader baru. Kita siapkan kader-kader yang memang punya kapabilitas dalam bidang politik. Bukan “asal comot” dari selebritis yang memang skillnya di dunia Entertainment. Kenapa? Susah? Mustahil? Selama iman masih mengalir dalam pipa darah, selama itulah kerja sama selalu dibutuhkan. Bersatu. Bergerak bersama. Satu pandangan. Satu kiblat. Demi Agama. Demi Negara. Demi rakyat. Mereka itulah bibit-bibit unggul yang punya idealisme. Tunggu dulu. Berbicara tentang idealisme, idealisme apa yang seharusnya dipegang teguh oleh kader-kader baru itu? Jangan berdusta dan malu-malu. Mereka harus mengatakan dengan lantang bahwa cita-cita terbesar mereka adalah menegakkan syariat Islam. Cita-cita itu harus terus diperjuangkan dan disuarakan kepada kader-kader mereka selanjutnya. Pertanyaan untuk diri kita masing-masing, “Adakah hukum yang lebih baik dari hukum Allah?”

Memang betul, nyaris begitu buruk kesan para poli(tikus) di hati rakyat. Terkesan seperti orang-orang busuk. Penipu ulung yang berdasi. Tapi apa sebenarnya memang begitu? Bahkan ada yang mengatakan politik itu kotor? Politik itu lingkaran setan? Tapi Alhamdulillah masih ada segelintir orang yang mengimani bahwa yang salah  itu bukan politik. Tapi para poli(tikus)nya. Yang kotor itu bukan politiknya. Tapi para figurnya. Jadi jika kita sebagai Muslim yang menyimpulkan bahwa Islam itu anti politik, nampaknya ada yang harus diperbaiki mindset kita. Politik adalah bagian integral dari sebuah Negara. Politik itu padahal hanya sebuah sistem. Tapi sistem inilah yang dipakai oleh Negara.  Lalu bagaimana caranya jika kita berteriak-teriak agar tegaknya syariat Islam di Indonesia, tapi kita tidak mau ikut andil di dalamnya? Tentu kita tidak punya power. Jangankan punya ambisi untuk melek (ikut berdedikasi). Membicarakan dan mendengarkan tentang politik saja sudah jijik?

Tapi syukurlah para pejabat Negara masih punya wibawa. Para politisi itu tetap dihormati rakyat (kok). Mereka berebut ingin mencium tangan-tangan halus para pejabat Negara.  Kala mereka mau turun langsung ke pelosok-pelosok desa. Seolah ia adalah sosok Umar yang berjalan (sendiri) setiap malam  untuk melihat keadaan umatnya. Tapi ingat, bedanya zaman dulu itu tidak ada kamera. Tidak ada wartawan. Lagi pula, sosok Umar bukanlah manusia yang gila pujian. Maka beliau selalu melakukan kegiatan rutin itu tanpa mau  diketahui orang. Sangat menggelitik ketika mereka sampai menangis berderai-derai. Mencuri kelengahan pengawal agar mampu mencium wajahnya. Ya. Wajah pemimpin mereka tercinta. Yang mereka yakini benar bahwa dia sosok penerus Umar.

Entah apakah hati mereka benar-benar jatuh cinta. Atau hanya sebuah emosi dan kedongkolan hati. Emosi yang begitu membuat hati pegal. Lelah yang benar-benar menjalar sampai ke tulang. Hingga mereka pun (memilih) angkat tangan tentang nasib dan harta Negara. Mungkin kata mereka, “Boro-boro sudi mikirin urusan Negara, buat besok aja masih bingung mau makan apa”. Miris bukan? Dan apa kita masih mau membiarkan tikus-tikus itu berlalu lalang? Lihatlah. Seolah ketika mata-mata rakyat meleleh di hadapan para pemimpinnya, itu adalah butir-butir simbol kepasrahan yang hakiki. Yang mengalir dari sedalam-dalamnya nurani.

Menurutku, tidak ada alasan yang logis bagi kita (mahasiswa dan para pemuda), menyalahkan rakyat kecil sekaligus awam yang tidak melek atau tidak mau berurusan dengan politik. Karena mereka hanya jiwa-jiwa suci yang punya perjuangan sendiri. Untuk makan sehari-hari? Menyekolahkan anaknya? Dan hiruk pikuk kehidupan mereka yang belum tentu kau sanggup menghadapinya. Tega kah kita menyaksikan kepedihan yang berlarut-larut ini? Akibat ulah tikus-tikus itu? Ketirnya kehidupanlah yang akhirnya memaksa mereka buta akan politik. Tidak perlu kita begitu keras memaksa mereka untuk melek politik. Karena ingatlah mata-mata mereka memang sudah melek. Mereka melek ketika membaca media. Mereka melek, ketika menonton berita. Mereka itu melek ketika melihat tikus-tikus itu dihukum. Mereka tahu tapi diam. Mereka tahu tapi tak bisa apa-apa. Mereka melek tapi melek walang. Lalu apa bedanya dengan orang buta? Mata-mata mereka memang sudah melek. Bagaimana tidak? Setiap malam mereka sulit terpejam. Merasakan dunia yang semakin kejam. Mengharapkan kesejahteraan itu (hanya) seperti si pungguk yang merindukan sang bulan.

The last. Ada kata-kata menarik yang penulis kutip dari sebuah status media sosial seorang pejabat Partai. Beliau juga mengutip rangkaian kata-kata dari seorang penyair Jerman bernama Bertolt Brecht. Dia mengatakan, bahwa, “Buta terburuk adalah buta politik. Tidak mendengar, tidak bicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat tergantung pada keputusan politik.”

Baiklah. Jika pada bagian penutup dari  tulisan ini, penulis berestimasi untuk memaklumi rakyat kecil yang buta terhadap politik. Lalu siapa yang harus melek?

                                    

Rabu, 01 Oktober 2014

Akhwat Hiking? Why Not?

Baru rasain lagi naik gunung bareng temen. Terakhir muncak itu waktu masih kelas 1 di Pondok. Kalau formalnya, berarti waktu masih kelas 1 SMA. Itu juga bikin kapok. Naik Gunung Ciremai untuk pemula yang sebelumnya gak pernah punya pengalaman muncak itu, rasanya bikin tulang kaki rontok. Untungnya pada saat itu masih masa liburan. Jadi bisa istirahat dulu sekolahnya. Hampir seminggu kaki pengkor alias pincang. But seru banget bisa berdiri di atas ketinggian 3078 mdpl. Terasa di atas awan. Anginnya beuuuuuuuuh kenceng banget. Untung berat badan waktu itu gak kurus-kurus banget, jadi gak ketiup. Ehm.. jadi pengen kembali ke masa lalu. Momen-momen slim. J

Oke lupakan tentang berat badan. Tanggal 28 September 2014, aku dan kawan-kawan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) *Asik aktivis nih gini-gini juga. Wkwkwk. Masih bau kencur aja udah belagu. Kita muncak bareng-bareng ke Kawah Ratu Gunung Salak Bogor. Awalnya sih gak mau, maklumlah aku ini orangnya kapokan. Tapi karena satu dan lain hal, ikut juga. Gak terpaksa kok. Setulus hati InsyaAllah. J

Oya, buat para muslimah yang kepengen naik gunung cuma bingung mau pake rok atau celana, ya gak usah bingung-bingung. Kita naik gunung masih pake rok kok. Kenapa? Takut nyangkut ya? Ribet? Malu? Takut diledek? Buang fikiran-fikiran seperti itu. Gak ada yang bikin ribet di dunia ini, kecuali kita sendiri yang bikin itu ribet. Jangan sampai fikiran-fikiran seperti itu menghambat kamu buat menelusuri alam dengan segala keindahannnya yang rugi banget kalau dilewatkan. Satu catatan, kamu boleh pake celana panjang di dalam rok kamu. Biar kalau sewaktu-waktu kamu nanjak atau ngelewatin dataran yang cukup tinggi, aurat kamu tetap tertutup. Pasti kamu lebih mahir lah ya… soal itu. *Daripada diriku ini. J                 

Hm.. ternyata rute menuju Kawah Ratu itu cukup tajam ya. Hampir jalannya itu batu semua. Dengan lebar jalan yang cukup sempit. Gak kayak rute ke Gunung Ciremai yang agak mendingan masih luas dan berpasir. Alhamdulillah, aku jalan juga gak sendirian. Aku di back up sama temen-temen yang udah gak diragukan lagi pengalaman muncaknya. Mereka itu adalah…Jreng jreng jreeng! Dede Ratipah, Dewi Gustiawati, sama Sely Safitri. Walaupun akhwat, mereka itu gak merasa terbebani atau merasa terkekang. Naik sampai turun lagi aku dituntun sama temen aku itu. #Kayak bocah. Hhe..

Gak tau udah berapa kali aku nanya sama temen aku itu, “Masih jauh ya?”. Dalam hati menggerutu mulu kapan nyampe. Seolah gak ada ujungnya aku jalan berjam-jam. Sering juga sih rokku nyangkut di dahan. Atau hampir keinjek sama kaki aku sendiri.Tapi itu gak menyurutkan semangat aku buat terus naik liat Kawah Ratu. Yang katanya indah beud itu lho? Sesekali kita juga istirahat. Sekedar meregangkan kaki dan minum kalau perlu. Dan itu bermanfaat banget menurutku. Karena lumayan buat ngendorin otot kaki yang udah pegel banget. J

Setelah berjam-jam lamanya. Hampir 3 jam lebih kita naik. Aku merasakan aroma yang gak enak banget. Rasa-rasanya  gak asing nih di hidung. Eh ternyata bau belerang toh. Lebih bau dari bau kentut. Hhe..Saran aku, itu waktu yang pas banget buat kamu kentut. Biar ternetralisir sama bau belerang. Asli gak bakalan ketauan kalau kamu abis kentut. Hik hik.

Awalnya aku bahagia banget aku nyampe kawah. Eh ternyata belum, itu baru kawah mati. Berhenti sejenak. Ckrek. Kita abadikan deh. Terus jalan lagi lumayan jauh, baru deh nyampe. Subhanallah…

Bener kata orang-orang kalau Kawah Ratu itu indah banget kawan. Rasanya ingin berlama-lama disana. Walaupun cuaca panas nusuk tulang, kami terlihat senang. Tidak kami hiraukan rasa lelah dan keringat yang terus mengucur. Yang ada di fikiran kami itu khususnya aku, cuma foto. Kamera mana kamera. Hhee…Buat DP BBM, PP Fesbuk atau menuhin instagram. Terserah mereka.

Kami istirahat sejenak. Kami pandangi keindahan alam yang sangat menakjubkan. Subhanallah. Betapa Engkau Maha Kuasa Ya Allah, menciptakan alam semesta ini dengan berbagai bentuk dan warna yang menawan. J

Hm…karena waktu sudah semakin sore. Kami memutuskan untuk turun. Dengan membawa segenggam hati penuh kebahagiaan, kami berjalan bersama. Melewati batu-batu tajam lagi. Mata air yang wanginya sangat segar. Dan mata yang terus fokus ke bawah.*Eh, tapi jangan terlalu fokus. Kata temenku sih, nikmatin. Mungkin maksudnya, kita hayati keindahan alam ini, tadabburi, rasakan ketenangan yang luar biasa. J

Karena hiking ini acara penutup. Jadi setelah selesai kami diperbolehkan pulang. Waah.. baru kerasa remuk nih kaki. Ini karena aku belum terbiasa muncak dan jalan jauh. Tapi Alhamdulillah, nyampe rumah dapet pijitan gratis dari kakakku. Jangan salah kawan, beliau mahir banget loh. Alhamdulillah esoknya aku bisa masuk kuliah. Walau masih pegel dikit sih.

Nyampe kampus aku nanya sama temen-temen yang tadi aku sebutkan di atas, “Sakit kakinya ya?” Eh, mereka cuma bilang, “Cuma telapaknya doang nih sakit dikit.” *karena gak pake kaos kaki*Ups maaf ya Dew.Hhe..Dede cuma bilang pegel di bagian bahu. Panteslah sakit, akhwat yang satu ini bawa tas ransel gede beeud. Denger-denger sih namanya keril, gak tau carrier atau apa ya aku kurang tau tulisannya gimana. Kalau Sely, dia juga gak keliatan tuh pengkor-pengkor lagi jalan. Pokoknya mereka biasa aja deh. Hebat kan? Hebat dong..Muslimah loh mereka? Akhwat sama kayak kita? Jadi buat kamu ukhty,  gak ragu-ragu dan takut lagi kan mau hiking? Semangat! J





Pages - Menu