Jumat, 21 November 2014

Ini soal BBM (Yang Maju Mundur Cantik)



Benar. Ini bukan lagi soal pilpres. Bukan  soal KIH (Koalisi Indonesia Hebat) atau KMP (Koalisi Merah Putih). Kalau kata permaisyuri kita Nona Syahrini, Ini soal BBM (Yang Maju Mundur Cantik). Selasa, 18 November 2014 pukul 00.00 WIB. secara resmi Bapak Jokowi kita menetapkan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp.2000,00. Sebenarnya, isu tentang rencana kenaikan harga BBM ini sudah sampai di sebagian telinga masyarakat jauh-jauh hari sebelumnya. Tapi syukurnya, nyaris tidak terulang lagi kejadian seperti pada masa bakti Bapak SBY. Ketika tersiar harga BBM akan naik, para pelaku usaha telah menaikkan harga produksi mereka. Lalu setelah ditetapkan harga BBM betul-betul naik, bertambah dua kali lipat lah kenaikan harga bahan pokok dan lan-lain.

Ada juga yang memuji strategi Pak Jokowi yang mulai memberlakukan kenaikan itu di tengah malam. Dimana hanya segelintir saja yang lebih dahulu mengetahui. Dan ini cukup jitu untuk membasmi para pemilik usaha atau jasa yang hendak mencari keuntungan dua kali lipat (katanya). Persis seperti yang dilakukan Bapak Soeharto tempo doeloe. Walaupun kita sadar harga cabai yang sering melambung, justru naik lebih cepat dan lebih awal. Menurutku, itu bukan akal-akalan para petani. Karena hampir semua orang tahu dan merasakan kemarau panjang pada bulan-bulan lalu. Tentu lahan dan tanaman banyak yang rusak dan para petani pasti rugi berat. Modal banyak, keuntungan lenyap. Akhirnya cabai sempat langka diproduksi. 

Lucunya, masih ada segelintir manusia dengan santainya mengatakan, “Baru dua ribu, kok repot”. Memang betul, hanya dua ribu. Kita semua tahu, tahap kedua dan selanjutnya dari dampak kenaikan ini akan sangat panjang. Ini juga membuktikan bahwa sebagian dari kita masih belum memiliki kepekaan sosial. Lupa bahwa rakyat di Negeri ini tidak semuanya kelas menengah apalagi menengah ke atas. Bagi yang memakai pertamax pun boleh saja ber-euphoria. Kocek aman. Tapi mereka juga akan merasakan cipratan akibat kenaikan ini pada saat makan, belanja, dan lain sebagainya.

Setelah ditetapkannya kebijakan yang memberatkan ini, esoknya semua bingung. Bingung ketika tarif angkutan umum naik. Pagi yang disibukkan dengan keluhan dan emosi. Aku menyaksikan sendiri, anak SMA yang diteriaki supir angkot karena ongkosnya kurang gopek. Rasanya, tak bisa berkata apa-apa. Sebagai rakyat biasa, kita hanya bisa ikut-ikut saja. Kemudian beranjak siang, sudah tersiar kabar bahwa telah terjadi aksi besar dimana-mana. Di depan Kantor Kementrian Energi dan Sumber Daya Manusia sampai di depan Istana Presiden Jakarta. Dari golongan mahasiswa sampai bermacam organisasi masyarakat. Mereka tentu menolak mentah-mentah keputusan pemerintah. Esoknya lagi, sudah banyak angkutan umum yang mogok beroperasi.  Ikut demo juga, meminta penyesuaian tarif. Berbagai aspirasi mereka lontarkan. Namun ada juga yang sinis menanggapi, “Waktu Pak SBY naikkin BBM sampai 4 kali, pada kemana mahasiswa? Paling yang sekarang aksi itu mahasiswa bayaran!”. Ada lagi, “Setiap menjelang lebaran atau natal harga bahan pokok sering naik, tapi gak ada yang aksi. Dan waktu itu harga BBM sedang normal. Sekarang naik 2000 “doang” pada protes!”. Yaah.. memang betul pada setiap perbuatan kita yang dirasa benar,  mustahil semua orang akan ridho dan mendukung. Mahasisiwa membela rakyat, tapi rakyat kadang tidak membela mahasiswa.

Aksi dan mogok massal (di sebagian daerah) ini masih berlajut hingga saat ini. Walaupun Pak Presiden hanya menanggapi santai. Katanya, ini sudah biasa, reaksi dari sebuah keputusan. Padahal, sudah berbagai aksi anarkis terjadi di Nusantara. Apa pemerintah menunggu ada yang terkapar baru segala protes mau didengar?. Apa harus terjadi lagi rakyat yang berdarah-darah seperti 16 tahun yang lalu? Ada yang menyeletuk, “Mau apa demo? Emang kalau udah demo, bisa turun lagi harga BBM nya?” . Yaah…kita berdoa saja meminta yang terbaik. Tapi memang benar adanya kalimat tadi. Buat apa neko-neko ikut demo. Capek hati. Toh pada kenyataannya, suara kita dibutuhkan pada saat pemilu saja.






*Mengambil nafas kecewa.

Kamis, 06 November 2014

Cinta Adalah Aku

Aku tidak akan menulis tentang cinta, jika cinta itu bukan kamu.
Tapi aku akan selalu berpuisi cinta, karena cinta itu adalah aku.
Puisiku mungkin tak akan sekelas dewi sastra.
Tapi jika kau ingin tahu bahwa setiap huruf, titik dan koma, itu.
Itu ada hembusan nafas dari ruh cintaku yang mungkin mampu kau sentuh walau dari jarak jauh.
Aku ingin bertanya, dan jawablah tanpa perlu bibirmu terbata-bata.
Kenapa kau selalu sempat muram, padahal aku selalu menjadi pemerhati terbaikmu yang amatiran?
Tidakkah kamu mendengar aku yang tersengguk, saat kamu menangis tertunduk?
Bukankah letup tangisku lebih mencekik dari seribu jangkrik yang menderik?

Pages - Menu