Bersama Dr.Adian Husaini di Aula
Universitas Ibn Khaldun Bogor
Sabtu, 23 Mei 2015
Tujuan Pendidikan
At-Ta’dib..! At-Ta’dib..!
Selalu itu yang didengungkan pada setiap seminar tentang pendidikan. Maka
sampai detik ini pun masihlah sama tujuan pendidikan kita sesungguhnya. Membentuk
manusia yang beradab. Beradab pada Allah, beradab pada Rasulullah, orang tua,
dan seterusnya. Kemudian, pendidikan menurut Naquib Al Attas adalah membentuk
manusia yang baik. Yakni, membentuk orang-orang yang mampu mengoptimalkan
amanah dari Allah.
Ada dua tantangan besar yang
mendarah dan mendaging pada diri manusia, yaitu kecintaannya pada dunia dan cengkeraman
konsep sekularisme yang tak kalah lekatnya. Maka dua itulah yang menjadi ranjau
yang terus melukai telapak kaki pendidikan kita. Pertama, karena
kecintaannya pada dunia, maka sekolah hari ini menjadi institusi bisnis yang subur.
Hingga pada akhirnya, ia kehilangan ruhnya. Pendidikan yang menjadi aspek
dakwah terpenting satu-satunya, dewasa ini hanya menjadi mimpi di siang bolong
bagi mayoritas masyarakat. Padahal semua warga Negara Indonesia BERHAK melanjutkan
pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Kedua, konsep sekularisme yang masih
melekat di kulit pendidikan Indonesia. Borok yang merusak pemikiran hingga
akidah kita. Tidak hanya di Sekolah Dasar, bahkan hingga ke tingkat perguruan
tinggi. Salah satu dari sekian banyaknya ialah, manusia yang masih digambarkan
sosok metamorfosis sempurna dari kera. Begitu bangganya kah?
Dr.Adian Husaini juga memaparkan
tentang kekeliruan cara pandang masyarakat sekarang. Khususnya para orang tua
yang bingung dan uring-uringan sendiri memikirkan kemana akan ia sekolahkan
anaknya. Universitas dan sekolah-sekolah Islam yang dirintis pada awal-awal
tahun 90, selalu menjadi bagian subordinat dari universitas atau sekolah negeri sampai detik
ini. Padahal yang wajib itu ialah mencari ilmu, bukan mencari sekolah. Beliau
juga mengatakan, seolah-olah, kesannya, orang-orang pintar itu yang kuliah di
Universitas Negeri. Yang sekolah di sekolah negeri. Padahal realitanya tidak
selalu begitu.
Kembali ke awal yang menjadi urat
nadi dari visi Thalabul ‘Ilmi ialah pendidikan adab dan akhlak. Karena hanya
ada dua kemungkinan. Jika seseorang tidak menjadi manusia beradab, maka ia
pasti manusia yang biadab. Beliau juga menekankan, bahwa pendidikan bukanlah
ajang untuk meraih gelar semata, melainkan bagaimana kelak ia bisa mendidik
keluarganya. Karena kemudian keluargalah yang menjadi benteng dari degradasi
dan liberalisasi moral bangsa.
Undang-undang Kita Tidak
Bersalah
Tentang tujuan pendidikan pada
Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 adalah membentuk manusia beriman dan bertakwa. “Sebenarnya
kita menunggu Keputusan Presiden tentang UU tersebut sejak masa jabatan SBY.
Beliau pasti menyesal karena belum sempat. Maka kali ini, mudah-mudahan Jokowi
tak ikut menyesal,”kata Adian Husaini kepada hadirin. Namun yang menjadi pertanyaan
itu bagaimana caranya membentuk manusia beriman dan bertakwa? Ada selingan
sedikit yang menggelitik dari salah satu peserta asal Surakarta. Sebelum
bertanya kepada pembicara, ia bercerita tentang kisah penerbitan buku miliknya
yang berjudul Menggugat Kurikulum 2013. Karena dianggap terlalu keras, tak satu
pun pihak penerbitan yang mau menerbitkan bukunya. Walhasil, ia terbitkan
sendiri buku tersebut. Ia bahkan sedikit ‘merayu’ Dr. Adian Husaini yang kenal
dekat dengan Menteri Pendidikan Anies Baswedan tersebut, agar menyampaikan
keresahannya yang bertahun-tahun menjadi korban kurikulum yang ia nilai sekuler
itu kepada Pak Menteri. Kalau yang saya tangkap dari permintaan si penanya itu
ialah, “Ayo!Islamisasikan pendidikan dan kurikulum kita secara kaffah!”.
Konsep Islamisasi
Sejak tahun 1983, Universitas Ibn
Khaldun (UIKA) telah menjadi ikon Islamisasi Sains dan Kampus. Bagaimana
caranya agar kita tidak menelan mentah-mentah ilmu yang datang dari Barat. Oleh
karena itu, perlu diislamisasikan. Dr. Adian Husaini mengatakan bahwa sistem pendidikan
kita merupakan warisan dari penjajah. Sebab itulah banyak yang tidak beres di
awal. Tapi, menurut Ketua Prodi Magister dan Doktor UIKA sekaligus peneliti
INSIST tersebut, kita tidak diam di tempat. Ada banyak peningkatan yang wajib
kita syukuri. Diantaranya, dulu pernah ada fatwa bahwa haram hukumnya orang
Indonesia menyekolahkan anak-anaknya di sekolah non Islam. Pendidikan formal dan
pondok pesantren juga sudah mau duduk bersama. Contohnya, Ponpes Gontor yang
tidak mengikuti sistem pendidikan Nasional tapi ijazahnya tetap diakui
pemerintah, setara dengan Sekolah Menengah Atas. Masalah kurikulum memang
masalah serius, tapi cobalah kita lihat ini sebagai suatu proses. Hingga butuh
perbaikan yang step by step.
Menjawab pertanyaan peserta asal
Surakarta, Dr. Adian mengingatkan bahwa islamisasi terpenting itu
ialah pada manusia. Bagaimana caranya mengislamisasi guru, rektor, dekan,
dosen, mahasiswa, dan seterusnya. Bukan kurikulumnya, bukan pada buku-bukunya.
Tapi manusianya! Bagaimana Islam mengajarkan bahwa banyak hal-hal integral dari
sebuah pendidikan yang terlupa. Yaitu keteladanan, pembiasaan, dan sanksi yang
diterapkan dan sesuai. Bukan terletak pada banyaknya materi pelajaran dan
pengajaran.
Terakhir, sebagai langkah konkret
beliau memerangi liberalisasi pendidikan di Indonesia ialah memberdayakan 80 lebih
alumni doktor di UIKA. InsyaAllah, mereka akan berupaya merumuskan tahap-tahap
perbaikan pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hingga kelak
ketika duduk bersama dengan pihak-pihak penting terkait pendidikan, tidak
dengan tangan kosong. Namun menawarkan solusi yang jelas. Misalnya, mengkhususkan
satu tahun pertama mahasiswa masuk perguruan tinggi itu untuk pendidikan
akhlak. Bagaimana ia sampai pada predikat beradab pada Allah, beradab pada
Rasulullah, orang tua, dosen, dan seterusnya. Baru setelah ia dinyatakan lulus,
boleh memasuki fakultas. Ini sangat penting, karena sampai saat ini, belum ada
kampus yang mempunyai misi “Mencetak Sarjana Yang Taat Pada Orang Tua”. Nanti,
beliau juga berencana menambahkan syarat kuliah S2 UIKA yaitu, “Tidak Cacat Akidah
dan Akhlak”. Kalau terlihat calon mahasiswanya kesyiah-syiahan (misalnya)
berarti harus diurusi dulu di belakang layar.
Penutup. Mudah-mudahan segala
rencana baik beliau terealisasi secepatnya. Pun kita sebagai pelajar dan calon
pendidik yang sudah gerah dengan carut-marut pendidikan di Indonesia,
mudah-mudahan diberi kekuatan agar mau terus bergerak memperbaiki yang keliru,
yang salah. Mulai dari hal terkecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari
sekarang, dan mulailah difikirkan!
Wallahu ‘Alam Bishawab.