Sabtu, 23 Mei 2015

Ikhtisar Seminar Nasional Liberalisasi Pendidikan di Indonesia




Bersama Dr.Adian Husaini di Aula Universitas Ibn Khaldun Bogor
Sabtu, 23 Mei 2015          

Tujuan Pendidikan

At-Ta’dib..! At-Ta’dib..! Selalu itu yang didengungkan pada setiap seminar tentang pendidikan. Maka sampai detik ini pun masihlah sama tujuan pendidikan kita sesungguhnya. Membentuk manusia yang beradab. Beradab pada Allah, beradab pada Rasulullah, orang tua, dan seterusnya. Kemudian, pendidikan menurut Naquib Al Attas adalah membentuk manusia yang baik. Yakni, membentuk orang-orang yang mampu mengoptimalkan amanah dari Allah.

Ada dua tantangan besar yang mendarah dan mendaging pada diri manusia, yaitu kecintaannya pada dunia dan cengkeraman konsep sekularisme yang tak kalah lekatnya. Maka dua itulah yang menjadi ranjau yang terus melukai telapak kaki pendidikan kita. Pertama, karena kecintaannya pada dunia, maka sekolah hari ini menjadi institusi bisnis yang subur. Hingga pada akhirnya, ia kehilangan ruhnya. Pendidikan yang menjadi aspek dakwah terpenting satu-satunya, dewasa ini hanya menjadi mimpi di siang bolong bagi mayoritas masyarakat. Padahal semua warga Negara Indonesia BERHAK melanjutkan pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Kedua, konsep sekularisme yang masih melekat di kulit pendidikan Indonesia. Borok yang merusak pemikiran hingga akidah kita. Tidak hanya di Sekolah Dasar, bahkan hingga ke tingkat perguruan tinggi. Salah satu dari sekian banyaknya ialah, manusia yang masih digambarkan sosok metamorfosis sempurna dari kera. Begitu bangganya kah?  

Dr.Adian Husaini juga memaparkan tentang kekeliruan cara pandang masyarakat sekarang. Khususnya para orang tua yang bingung dan uring-uringan sendiri memikirkan kemana akan ia sekolahkan anaknya. Universitas dan sekolah-sekolah Islam yang dirintis pada awal-awal tahun 90, selalu menjadi bagian subordinat dari  universitas atau sekolah negeri sampai detik ini. Padahal yang wajib itu ialah mencari ilmu, bukan mencari sekolah. Beliau juga mengatakan, seolah-olah, kesannya, orang-orang pintar itu yang kuliah di Universitas Negeri. Yang sekolah di sekolah negeri. Padahal realitanya tidak selalu begitu.

Kembali ke awal yang menjadi urat nadi dari visi Thalabul ‘Ilmi ialah pendidikan adab dan akhlak. Karena hanya ada dua kemungkinan. Jika seseorang tidak menjadi manusia beradab, maka ia pasti manusia yang biadab. Beliau juga menekankan, bahwa pendidikan bukanlah ajang untuk meraih gelar semata, melainkan bagaimana kelak ia bisa mendidik keluarganya. Karena kemudian keluargalah yang menjadi benteng dari degradasi dan liberalisasi moral bangsa.

Undang-undang Kita Tidak Bersalah

Tentang tujuan pendidikan pada Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 adalah membentuk manusia beriman dan bertakwa. “Sebenarnya kita menunggu Keputusan Presiden tentang UU tersebut sejak masa jabatan SBY. Beliau pasti menyesal karena belum sempat. Maka kali ini, mudah-mudahan Jokowi tak ikut menyesal,”kata Adian Husaini kepada hadirin. Namun yang menjadi pertanyaan itu bagaimana caranya membentuk manusia beriman dan bertakwa? Ada selingan sedikit yang menggelitik dari salah satu peserta asal Surakarta. Sebelum bertanya kepada pembicara, ia bercerita tentang kisah penerbitan buku miliknya yang berjudul Menggugat Kurikulum 2013. Karena dianggap terlalu keras, tak satu pun pihak penerbitan yang mau menerbitkan bukunya. Walhasil, ia terbitkan sendiri buku tersebut. Ia bahkan sedikit ‘merayu’ Dr. Adian Husaini yang kenal dekat dengan Menteri Pendidikan Anies Baswedan tersebut, agar menyampaikan keresahannya yang bertahun-tahun menjadi korban kurikulum yang ia nilai sekuler itu kepada Pak Menteri. Kalau yang saya tangkap dari permintaan si penanya itu ialah, “Ayo!Islamisasikan pendidikan dan kurikulum kita secara kaffah!”.

Konsep Islamisasi

Sejak tahun 1983, Universitas Ibn Khaldun (UIKA) telah menjadi ikon Islamisasi Sains dan Kampus. Bagaimana caranya agar kita tidak menelan mentah-mentah ilmu yang datang dari Barat. Oleh karena itu, perlu diislamisasikan. Dr. Adian Husaini mengatakan bahwa sistem pendidikan kita merupakan warisan dari penjajah. Sebab itulah banyak yang tidak beres di awal. Tapi, menurut Ketua Prodi Magister dan Doktor UIKA sekaligus peneliti INSIST tersebut, kita tidak diam di tempat. Ada banyak peningkatan yang wajib kita syukuri. Diantaranya, dulu pernah ada fatwa bahwa haram hukumnya orang Indonesia menyekolahkan anak-anaknya di sekolah non Islam. Pendidikan formal dan pondok pesantren juga sudah mau duduk bersama. Contohnya, Ponpes Gontor yang tidak mengikuti sistem pendidikan Nasional tapi ijazahnya tetap diakui pemerintah, setara dengan Sekolah Menengah Atas. Masalah kurikulum memang masalah serius, tapi cobalah kita lihat ini sebagai suatu proses. Hingga butuh perbaikan yang step by step.

Menjawab pertanyaan peserta asal Surakarta, Dr. Adian mengingatkan bahwa islamisasi terpenting itu ialah pada manusia. Bagaimana caranya mengislamisasi guru, rektor, dekan, dosen, mahasiswa, dan seterusnya. Bukan kurikulumnya, bukan pada buku-bukunya. Tapi manusianya! Bagaimana Islam mengajarkan bahwa banyak hal-hal integral dari sebuah pendidikan yang terlupa. Yaitu keteladanan, pembiasaan, dan sanksi yang diterapkan dan sesuai. Bukan terletak pada banyaknya materi pelajaran dan pengajaran.

Terakhir, sebagai langkah konkret beliau memerangi liberalisasi pendidikan di Indonesia ialah memberdayakan 80 lebih alumni doktor di UIKA. InsyaAllah, mereka akan berupaya merumuskan tahap-tahap perbaikan pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hingga kelak ketika duduk bersama dengan pihak-pihak penting terkait pendidikan, tidak dengan tangan kosong. Namun menawarkan solusi yang jelas. Misalnya, mengkhususkan satu tahun pertama mahasiswa masuk perguruan tinggi itu untuk pendidikan akhlak. Bagaimana ia sampai pada predikat beradab pada Allah, beradab pada Rasulullah, orang tua, dosen, dan seterusnya. Baru setelah ia dinyatakan lulus, boleh memasuki fakultas. Ini sangat penting, karena sampai saat ini, belum ada kampus yang mempunyai misi “Mencetak Sarjana Yang Taat Pada Orang Tua”. Nanti, beliau juga berencana menambahkan syarat kuliah S2 UIKA yaitu, “Tidak Cacat Akidah dan Akhlak”. Kalau terlihat calon mahasiswanya kesyiah-syiahan (misalnya) berarti harus diurusi dulu di belakang layar.

Penutup. Mudah-mudahan segala rencana baik beliau terealisasi secepatnya. Pun kita sebagai pelajar dan calon pendidik yang sudah gerah dengan carut-marut pendidikan di Indonesia, mudah-mudahan diberi kekuatan agar mau terus bergerak memperbaiki yang keliru, yang salah. Mulai dari hal terkecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, dan mulailah difikirkan! 

Wallahu ‘Alam Bishawab.

Senin, 30 Maret 2015

#KembalikanMediaIslam




Baru-baru ini beredar surat permintaan pemblokiran terhadap kurang lebih 19 situs Islam yang dianggap sebagai situs penggerak radikalisme/ simpatisan radikalisme, kepada  penyelenggara Internet Service Protocol (ISP). Tepat sore tadi (30/3), saya dikejutkan oleh pesan singkat yang mencengangkan. Oh! Mungkin tidak hanya saya, diantara pembaca pasti dapat pesan itu kan? Saya jadi teringat dengan tulisan, “Konon, ketika kabar baik baru menyebar beberapa kilometer, kabar buruk sudah melesat mengelilingi dunia.”

Hmm..Kira-kira pesannya seperti ini: “Ajakan twitmob dari Uni Fahira: Yth. Sahabat-sahabatku, bila tidak setuju dengan pembredelan Media Islam hari ini. Mari kita Twitmob bersama dari pukul 14.00 dengan twit dibawah ini atau dengan twit (atau hashtag) #Kembalikan MediaIslam…… dst.” Terakhir pesan itu menyebutkan 19 situs yang diajukan atas Ttd langsung dari Dirjen Aplikasi Informatika Kementrian Komunikasi Informatika untuk diblokir/dinonaktifkan/dibredel. Diantaranya saya sebutkan yang familiar di telinga ya…Yaitu: voa-islam.com, dakwatuna.com,  hidayatullah.com, kiblat.net, eramuslim.com, arrahmah.com. Dan Alhamdulillah, keenam situs tersebut masih bisa saya buka sampai detik menulis tulisan ini.

Pertama kali saya baca pesan yang saya dapat, saya tertegun sejenak. Berfikir,  siapa Uni Fahira itu? Loh? Saya gak kenal beliau! Apa si ini? Dua pesan yang sama dari teman saya yang mendarat di ponsel dan dalam waktu bersamaan! Saya langsung beralih ke facebook. Waw! Beranda sudah mulai ramai dengan hashtag #KembalikanMediaIslam. Begitu pesan ini seperti tumpahan air dalam gelas penuh yang terus diisi. Tak bisa dibendung. Dan saya ialah salah satu  dari sekian jutaan penerima pesan yang terkena percikannya. Masalahnya! Bukan masalah siapa yang share, siapa yang mengatakan. Pertama-tama ketika kita mendapat pesan semacam itu, cobalah cek dan ricek. Cari sampai dapat  sumber yang akurat. Jangan mudah terprovokasi. Diantara kita, bahkan baru tahu nama-nama situs Islami tersebut diatas setelah dapat pesan singkat itu. “Oh…ternyataaaa ada juga yaa situs Islami? Lumayan banyak juga ya!” atau desis kalimat lainnya. Atau bahkan langsung telan bulat-bulat. Buka sosmed, share, beres. Atau ada yang langsung naik pitam. Loh kok? La memang begitulah realita masyarakat kita. Mirip permainan estafet bukan?

Tapi banyak hikmahnya juga lho? Pertama, orang yang tidak tahu sama sekali dengan adanya situs/website islami, menjadi tahu. Gak cuma dapet pengetahuan satu, tapi 19 sekaligus! Kedua, saya terharu bertubi-tubi dengan kekompakkan kaum muslimin. Seujung kuku saja agama mereka diusik, mereka langsung berisik. Agaknya, tak peduli sekalipun berita bohong, tetap siapa pun ia langsung naik darah jika Islam dianggap rendah. Ketiga, berita semacam ini sangat mencubit kulit orang-orang muslim yang mati rasa tak tahu menahu, dan tak mau tahu tentang kondisi umat. Yang saat ini, butuh orang-orang yang tak hanya diam.

Oke selesai sudah membahas analisis kecil sebuah berita. Adapun tanggapan saya yang terlalu skeptis, itu memang sudah penyakit dan belum ada obatnya. Teringat pesan sahabat saya, “Bergeraklah dengan pemahaman.” Artinya, kita bergerak karena faham dengan  apa yang mau kita gerakkan, untuk apa, untuk siapa, apa gunanya, apa mudharatnya, dst. Langkah pertama cek dan ricek berita di atas (atau semacamnya), coba buka 19 situs di atas, apa benaaar sudah dibredel? Kalau tidak bisa dibuka, coba cek barangkali tulisan alamatnya ada yang keliru. Nah, langkah kedua, kita buka situs resmi Kementrian Komunikasi Informatika di kominfo.go.id. Kabar yang amat menyakitkan, ternyata berita  tersebut bukan hoax. Teman-teman bisa baca sendiri disana.

Dan daging dari tulisan ini, Ayo! Kita dukung terus media Islam! Oiya, saya jadi berfikir keras, seradikal apa 19 situs tersebut hingga mereka khawatir gerakan ISIS menyebar masif dari media-media itu? Menurut saya, justru beberapa media tersebut berkontribusi cukup besar membangun peradaban umat yang semakin tergilas modernisasi dan westernisasi. Pandangan mereka juga cenderung moderat. Kalau tidak ada mereka, siapa lagi?Oke.. Beberapa oknum mungkin terlalu takut Indonesia terbawa gerakan radikal ISIS. Bahkan rawan. Tapi hey! Dengan memblokir situs-situs islami yang kalian pandang radikal itu tidak akan menyelesaikan masalah! Dan cara nyata yang bisa kita lakukan saat ini adalah mengirimkan email penolakan untuk KOMINFO ke alamat: aduankonten@mail.kominfo.go.id. Sekiranya diperlukan informasi, bisa ke alamat: baht002@kominfo.go.id

Langkah selanjutnya, kita pantau terus! Kalau gak ngefek, oke! Ada berapa jumlah kita?  

Selasa, 10 Februari 2015

“Memberi Makna Pada Karya” Oleh: Akmal Sjafril


 
Akmal Sjafril
Verba Volant, Scripta Manent
Yang Terucap Menguap, Yang Tertulis Abadi

Bismillahirrahmanirrahim…Pada awal pertemuan Forum Lingkar Pena, kami diberi kesempatan untuk merenggut ilmu dari seorang Akmal Sjafril. Sungguh pengalaman emas bisa bertatap muka dengan beliau. Tertanggal 11 Mei 2014, di Ruang IKK IPB semua itu berlangsung. Ternyata sudah 8 bulan yang lalu pemirsah! Walaupun sudah cukup lama, InsyaAllah kalau yang namanya ilmu itu tidak mengenal alot. J *asiiik.

Penulis aliran non fiksi yang memulai karirnya dari blog ini, sungguh mengagumkan. Beliau mampu membuat 700 artikel di blog hanya dalam jangka 5 tahun. Karena sesungguhnya tidak ada yang namanya keajaiban. Segala sesuatunya butuh usaha yang berdarah-darah. Tidak ada yang instant. Satu hal yang membuat kami tertawa terpingkal saat beliau dengan gaya santainya mengatakan, “Jangan pernah mengharapkan keajaiban. Baru membuat 1 novel saja tapi ekspektasinya ingin langsung terkenal seperti Asma Nadia.” J

Memberi makna pada karya. Itulah tema yang beliau sampaikan pada hadirin. Beliau mengurai silsilah sederhana namun sarat makna. Bahwa asal muasal sebuah karya adalah Iman. Dan kita semua tahu bahwa definisi Iman adalah diyakini oleh hati, diucapkan oleh lisan, dan dibuktikan lewat perbuatan. Nah, banyak sekali poin-poin dari cabang perbuatan diantaranya adalah karya tulis. Menurut beliau karya tulis yang baik adalah yang sejalan dengan keyakinan, iman. Adapun mekanisme lahirnya sebuah karya adalah banyaknya observasi dan analisis. Yang kemudian itu semua akan menentukan kuantitas output (hasil).

Untuk wilayah tulisan nonfiksi, beliau menekankan agar sebanyak-banyaknya kita mengumpulkan referensi. Artinya, kita harus banyak membaca. Dengan itu otomatis analisis kita akan berkembang dan semakin kaya. Tapi sebenarnya ini berlaku untuk semua wilayah tulisan. Jika genremu adalah menulis fiksi seperti novel, cerpen, puisi, dan lain-lain, membaca akan selalu dibutuhkan. Bahkan itu yang akan menjadi tolak ukur kualitas tulisan kamu nantinya. Penulis yang akrab disapa Kang Akmal tersebut, menyatakan bahwa jika kau ingin menjadi penulis yang baik, maka jadilah pembaca yang rakus. Bahkan bagi yang belum mengenal apa sih  passion kamu itu? Hanya dengan banyak membaca lah, InsyaAllah bisa kamu temukan. Pun dengan rakus membaca, semakin lama feeling kita akan terasah.

Next. Iringilah membaca dengan menulis. Ibarat membaca adalah makan, maka menulis itu adalah buang air besar. Keduanya wajib dilakukan guys! Bahkan menulis menurut sebagian orang adalah suatu terapi yang membahagiakan. Menulis bisa mengurangi seseorang dari rasa stress. Tapi….apa siii, yang mesti kita tulis itu? Beliau mengatakan bahwa menulislah sesuai passion yang kamu miliki. Pun jika kamu bertanya seperti tadi, maka jawabannya adalah semua tergantung dari bacaan kamu. Karena ibarat sebuah wadah, maka ia tidak akan bisa menuangkan yang bukan isinya. Kang Akmal juga mengingatkan untuk menancapkan motivasi terbesar kita sebagai penulis muslim ialah untuk mewariskan ilmu.

Janganlah menulis sesuatu yang kamu tidak peduli akan hal itu. Atau jangan pula menulis sesuatu yang orang lain sudah tahu. Carilah angel atau sudut pandang yang menarik. Temukanlah gayamu dalam menulis nonfiksi, apakah passionmu itu menggunakan gaya emosional atau ilmiah? Keduanya sah-sah saja asalkan kamu tetap konsisten dengan gaya itu. J

Bagi kamu yang masih bingung untuk memulai menulis, mulailah dengan memanfaatkan media sosial yang saat ini kian menjamur. Motivasikan dirimu menulis untuk menyampaikan sesuatu. Dan perlu kita garis bawahi bahwa jangan pernah kita menulis karena motivasi uang. Anggaplah  itu hanya bonus dan bukan sebuah prioritas. Hm….banyak sekali ternyata pesan-pesan beliau itu yaaa. Oiya. Terakhir beliau menyampaikan bahwa keliru jika seorang penulis itu selalu identik dengan plagiat atau jiplak. Kita mesti membedakan antara plagiat dan terinspirasi. Plagiat mutlak harus dihindari. Sedangkan terinspirasi itu tidak bisa dicegah. Karena pada hakikatnya kita tidak bisa menciptakan. J

Ada satu kata mutiara lagi sebagai penutup tulisan ini.“Berhentilah menjadi orang awam, karena kita adalah pembelajar dan pengamat sejati.” -Kang Akmal Sjafril-

Sekian dan terima cinta… J
Wassalam.

                                                                  


Serunya Mengenal Sastra Bersama Helvy Tiana Rosa

Helvy Tiana Rosa


“Sastra dan Pembentukan Karakter” Part 2

Assalamualaikum teman-temanku sayang J. Hehe..agak lebay ya. Kabar gembira untuk kita semua saat ini kita kedatangan Mbak Helvy Tiana Rosa. Beliau adalah seorang sastrawan perempuan Indonesia sekaligus pendiri Forum Lingkar Pena. Beliau bergelut di dunia sastra sudah cukup lama. Adiknya, Mbak Asma Nadia adalah seorang penulis juga. Karya-karyanya pasti teman-teman tahu laah. Bahkan beberapa sudah difilmkan. J

Oiya. Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Karena pembicara ada dua, sengaja aku buat terpisah. Agar aku dan kamu bisa fokus. *Asik. Aku dan kamu. Hm….Sebenarnya, jari-jariku slow emotion banget lompat-lompat di atas toots notebook ini. Yaaah. Gak ada yang nanya knapa ya? Oke aku bocorkan deh mau tahu atau gak. Pada saat seminar berlangsung bersama Mbak Helvy, hadirin tiba-tiba disuruh berdiri. Dag dig dig jantungku berdegup. Kami dipaksa oleh Mbak Helvy untuk sama-sama mengucapkan janji. Aku menggigit bibir biar mingkem. Tapi tanpa disengaja mulutku ikut mangap-mangap dengan yang lain. Mengikuti kata-kata Mbak Helvy. Persis seperti seorang guru mengeja lalu diikuti murid-muridnya yang masih lugu dengan hidung yang mengalir dua air terjun.  Oh tidak. Sungguh Tuhan, mulut kami benar-benar dipaksa berikrar di hadapan-Mu untuk membuat minimal 1 karya buku sebelum mati. Ini sungguh berat. Tubuhku lemas. Setelah kuucap janji itu, dalam hati aku komat-kamit, “InsyaAllah Ya Allah. InsyaAllah Ya Allah, aku gak janji”. *Sambil harap-harap cemas malaikat menghapus janjiku tadi. Tapi ya sudahlah. Mudah-mudahan bisa menjadi doa yang baik. Satu dua tiga Aamiin.

Oke cus. Diawali dengan bahasan seputar Bahasa Indonesia. Menurut beliau Bahasa Indonesia itu kian dimarginalkan di sekolah-sekolah. Aku setuju. Apalagi dengan kehadiran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia semakin dianak tirikan. Sehingga pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling tidak menarik. Yang ini aku tidak setuju. Karena aku sangat suka Bahasa Indonesia, sampai-sampai pelajaran Matematika merasa cemburu padanya. Padahal menurutku tidak perlu secemburu itu, toh aku tetap belajar keduanya sampai sekolah menengah ke atas. Loh? Bagaimana mungkin bisa menarik bagi semua orang, kalau dari TK sampai SMA yang selalu diajarkan ketika awal menulis cerita adalah kata-kata “Pada suatu hari”, “Dahulu kala” dan kata-kata jadul lainnya. Ini sama sekali tidak kreatif! Aku mengangguk. Yang ini baru aku setuju.

Sosok sastrawan yang sangat melekat pada diri beliau, membuat kami sangat terkesima. Beliau berkali-kali mengajak hadirin untuk menyukai sastra. Dan salah satu kuncinya adalah kemampuan kita dalam berbahasa. Salah satu pintunya adalah dengan menyukai Bahasa Indonesia. Lalu bagaimana jadinya jika Bahasa Indonesia sudah tidak menarik lagi bagi anak-anak pertiwi? Tentu matematika akan loncat-loncat kegirangan karena tak punya saingan. Eeh? Bukan itu! Tapi pasti akan semakin merosotnya nilai-nilai sastra di Negeri kita. Sastra bisa punah. Padahal Umar Bin Khatab pernah berkata, “Ajarkanlah sastra pada anak-anak kalian, agar mereka tidak menjadi pengecut.”

Lalu agar kita memiliki kemampuan dalam berbahasa, maka kita harus gemar membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Beliau juga mewasiatkan pada kami, jadilah apa saja tapi yang sastrawan. Tapi beliau juga sangat menyayangkan orang-orang yang merendahkan harga diri sastra. Segelintir orang bahkan mengatakan orang-orang sastra itu *maaf, penampilannya yang kurang rapi, rambut gondrong lah de el el. Padahal beliau mengatakan dengan lantang bahwa orang yang suka seni dan sastra, mereka lebih peka perasaannya, lebih lembut. Ciyee.. Halo anak sastra mana suaranyaa… J.

Hm… Sepertinya dicukupkan sampai disini. Karena memang durasi Mbak Helvy berbicara itu dirasa sangat singkat. Mudah-mudahan beliau semakin istiqamah dalam menulis. Dimudahkan segala urusannya. Aamiin. J

Terima Kasih.. J
Eh.. Kata Mbak Helvy ada bahasa orang sastra dari kata terima kasih. Yaitu…….

“Terima Cinta…. J”. Yuk ah mulai sekarang ganti. J



Ngaji Sastra Bareng M. Syafi’ie El-Bantani

 M. Syafi’ie El-Bantani

“Sastra dan Pembentukan Karakter” Part 1
Bismillahirrahmanirrahim..

Selamat datang di label baru “Pengajian Sastra”. Di ruangan ini, aku berniat menumpahkan ilmu dan pengetahuan yang aku dapat dari hasil ikut workshop kepenulisan, seminar, atau diskusi. InsyaAllah teman-teman akan sedikitnya tahu tentang hal-hal yang menyangkut kepenulisan. Daripada aku endapkan semua catatan di buku, aku berfikir mungkin akan lebih baik  dishare disini. Mudah-mudahan bermanfaat buat kita semua Aamiin. Oya, kalau ada yang mau sharing,  mengkritik de el el, monggo.. J.

Oke, kali ini aku akan coba share hasil tulisan dari acara pengajian sastra yang dibawakan oleh M. Syafi’ie El-Bantani pada 26 Oktober 2014 di  Ruang TPAI Masjid Al Ghifari Bogor. Dengan tema “Sastra dan Pembentukan Karakter”. Langsung aja yuuu. *Cuuuusss.. :D
           
Penulis 43 buku dan Master Trainer tersebut lebih suka tulisan non fiksi lhoo. (*Uhuk. Jadi merasa berjodoh :p hehe). Kalau aku ingat-ingat cara beliau berbicara di depan podium, beuuuh mantap markutap! Ucapannya jelas dan padat. Beliau hanya berbicara sekitar 15-20 menit, pokoknya kita akan dibuat terkesima. Kalau anak SD yang denger, bisa dibuat mangap tuh! sambil ileran gitu. Yup! Saking kita dibuat mengerjap-ngerjap. Tidak ada waktu untuk melirik pesan masuk di handphone, *Kayak ada yang sms aja. Hhe..Yang ada di fikiran kita, eh (baca: ku) adalah mencuri sedetik saja pandangannya yang subhanallah tampan sekali kata-katanya. J Hhehe…

Beliau berwasiat kepada hadirin, dalam menulis alangkah baiknya bahasa yang kita gunakan adalah bahasa yang tidak memvonis, menghukum, atau menggugat. Janganlah menulis seperti menghakimi. Ibarat pendosa yang ketika kau suguhkan tulisanmu, maka kau mampu membuatnya untuk tidak menyerah akan Rahmat Allah. Karena isi tulisanmu, bukanlah deretan pasal gugatan seorang korban kepada terdakwa tindak kriminal. Melainkan tulisan yang mampu memberikan harapan pada setiap orang.

Karena perlu seorang penulis tahu, bahwa ada dua motivasi seseorang untuk berubah. Yang pertama karena neraka yang ia takuti, dan kedua karena surga yang penuh dengan harapan. Maka beliau berpendapat bahwa cara kedua lah yang lebih efektif untuk menyentuh relung hati sang pembaca. Yaitu dengan memakai pendekatan basyiran atau pendekatan kegembiraan dan “harapan”. Walaupun keduanya juga penting.  Bagaimana caranya kita menumbuhkan harapan pembaca ketika ia merasa berdosa. Jangan terus-terusan kita tendang pembaca dengan ancaman atas dosa atau kesalahannya. Mereka bisa kabur dan terpukul. Namun raihlah tangannya dan berikanlah semangat. J

Nah, untuk mencapai semua itu gunakanlah prinsip dakwah. Kembali pada niat awal kita menulis yaitu menyampaikan nilai-nilai dakwah. Al Qur’an sungguh banyak mengajarkan kepada kita cara yang tepat untuk berdakwah. Banyak sekali. Diantaranya adalah: Pertama,  pakailah kata-kata yang menyejukkan, yaitu kata-kata yang baik, atau dalam Al Quran (Q.S.An Nisa: 5) qaulan ma’rufa. Kedua, gunakanlah kata-kata yang dipahami. Kata-kata yang pantas dan menyenangkan. Hal ini Allah sampaikan dalam Q.S. Israa: 28 yaitu qaulan maisura. Ketiga, kualitas kata-kata yang tidak hanya benar dan baik atau qaulan sadida (Q.S.An Nisa: 9), tapi kembali ke awal. Bagaimana kata-kata itu mudah dipahami dan mampu menjadi penyejuk bagi pembaca.

Lalu bagaimana caranya agar tulisan kita mampu menggerakkan orang lain untuk berubah menjadi lebih baik dan lain-lain? Maka yang harus kita lakukan adalah melakukan apa yang kita tulis. Mulailah itu dari diri kita sendiri. Sehingga ketika kita menulis tulisan yang berbobot atau qaulan tsaqiila (Q.S. Muzammil: 5) maka InsyaAllah Allah akan menuntun jari-jari kita untuk membuat tulisan yang dapat menggerakkan hati orang lain (memotivasi) pembaca. Sehingga jadilah kata-kata yang keluar dari tulisan kita adalah kata-kata yang membekas pada jiwa atau qaulan baligha (Q.S. An Nisa: 63).

Oke teman-temanku tersayang. Semua InsyaAllah sudah aku sampaikan pesan-pesan beliau disini. Keren kan beliau? Oya, doakan beliau moga beliau sukses dan selalu dalam naungan Ridho-Nya. Aamiin. Target beliau itu bisa menerbitkan 4 buku dalam satu tahun. Hm… moga dimudahkan dan selalu istiqamah ya..Aamiin. Sebagai penutup, beliau menyampaikan pesan singkat kepada hadirin, “Menulislah minimal 1 jam per hari.”  J

Sekian dan terima kasiiiih… J
Wassalam.


Pages - Menu