Rabu, 15 November 2017

Tuhan; Maaf Aku Salah Memahami-Mu


Niat lulus cepet biar cepet dapet kerja ternyata gak semulus yang direncanakan. Dulu, aku maksa Tuhan banget biar bisa lulus bulan Mei 2017. Tapi justru bermula dari paksaan itu lah ujian terberatnya. Adalah ketika kita sulit mencari alasan untuk bersyukur. Pada akhirnya, satu per satu keluhan mulai datang hingga menumpuk-numpuk di pikiran. Aku mendustakan nikmat Tuhan atas anugerah-Nya diberi kesempatan memakai toga lebih dulu dibanding teman-teman. Meskipun sebenarnya banyak sekali pengalaman, pelajaran, nikmat, ujian kesabaran dan tantangan yang aku dapat selama pencarian kerja ini. Meruginya, itu semua tidak juga mampu mendobrak hati untuk sekedar mengucap “Alhamdulillah”.

Maka mulai detik ini, setiap kali aku menginginkan sesuatu bahkan menginginkan seseorang, aku jera untuk memaksa Tuhan. Sekarang aku lebih suka memakai kalimat “Berikan yang terbaik, seseorang yang terbaik, di waktu yang terbaik”. Aku tidak akan mengatur-atur Tuhan lagi, karena bisa jadi Tuhan mengabulkan tapi dengan kemurkaan. Karena aku terlalu memaksa dan mengatur dalam berdoa, bisa jadi Tuhan justru memberi dengan cara melempar. Jika seperti itu, mana bisa aku meraih makna keberkahan; yang ada hanya keluhan dan kekufuran. 

Tiga tahun lalu, aku sempat memaksa Tuhan agar bisa bekerja di Badan Ekonomi Kreatif. Tapi aku melupakan itu sampai  pada suatu hari ketika aku mau mendaftar CPNS, tidak sengaja “kepencet” memilih Instansi Bekraf. Sungguh, ini benar-benar ketidaksengajaan karena aku berniat mendaftar di Instansi lain. Sejak kejadian janggal itu, aku mulai kepedean dengan Tuhan. Aku berfikir Tuhan ingin memberi kejutan untuk mengabulkan doaku tiga tahun lalu.

Aku terus belajar dengan keras, belajar lewat  simulasi CAT yang disediakan BKN. Disana setiap satu kali ujian ada 100 soal berbeda tentang Wawasan Kebangsaan, Intelegensia Umum dan Kepribadian. Terhitung aku melahap, memahami, mencatat sekaligus menghafal sebanyak 10x tes simulasi berarti setara dengan 1000 soal latihan. Tidak hanya itu, aku juga belajar dari Buku Panduan Tentang Soal CPNS.

Pernah suatu hari ketika kepala terasa amat penat, aku menangis dan melempar buku catatanku. Aku menangis karena merasa rapuh dan berat mengingat aku harus bersaing dengan 12.000 orang. Untuk membayangkannya saja berasa ingin muntah. Tapi seketika aku sadar dan meminta maaf kepada buku catatan yang aku lempar. Bagaimana pun juga di dalamnya ada ilmu pengetahuan. Lalu aku memotivasi diri bahwa dengan Tuhan membuatku berada di jalur menuju perjalanan ini, artinya semakin dekat aku dengan terkabulnya doa.

Ringkas cerita, aku ikut tes CPNS di Aula Hotel Bumi Kitri Bandung bersama ibu dan paman. Kami tiba 3 jam lebih awal. Waktu tes tiba, sungguh merasa sia-sia karena soal-soal dan materi yang aku pelajari tidak satu pun keluar. Tapi aku tetap mencoba mengerjakan 100 soal tersebut dengan cepat dan teliti dalam waktu 90 menit. Sampai tiba sisa waktu satu menit, aku sudah yakin dengan semua jawaban. Lalu aku klik “selesai” dan Alhamdulillah, di luar dugaan nilaiku di atas Passing Grade yaitu 339 (TWK: 75, TIU: 105, dan TKP: 159).

Aku bahagia luar biasa. Aku berfikir Tuhan betul-betul tidak mengecewakan doaku. Lalu kami pulang ke Bogor dengan suka cita. Sampai tiba hari pengumuman selanjutnya, hatiku sangat terpukul dan kecewa karena yang berhak ikut ke tahap selanjutnya (Psikotes dan Kesehatan) adalah 8 orang dengan nilai tertinggi. Aku dan 157 orang lainnya tersaring seperti butiran debu yang tidak berarti.

Pelajarannya bukan pada gagalnya. Tapi maukah kita mengambil hikmah? Karena pada posisi terjepit itulah Tuhan ingin kita membuktikan bahwa kita harus Ridho dengan segala ketentuan-Nya. Selalu ada, akan selalu ada, pasti ada, alasan untuk kita bersyukur. Yaitu dari ribuan orang yang ikut tes, seharusnya aku bersyukur bisa masuk 165 besar yang nilainya memenuhi walaupun tidak ikut tahap berikutnya. Tapi lagi-lagi, aku gagal mencari celah untuk bersyukur.

Aku sibuk patah hati kepada Tuhan. Aku merasa kecewa berat, bahkan hidup seperti sangat menyesakkan dada. Semua seperti menghimpit, kecil dan tidak berguna. Benang merahnya ialah bukan tidak boleh berharap penuh kepada Tuhan. Tapi sikap merendah dan pasrah di depan Tuhan itu yang paling penting. Selama ini, Tuhan tidak pernah sama sekali atau sekali pun mengecewakanku. Tapi satu kali Tuhan tidak mengabulkan keinginan, aku bisa begitu marah luar biasa. Sungguh, aku sangat malu dengan sikap angkuh yang demikian.


Maka Tuhan, dengan segala kerendahan diri ini, aku memohon ampun dan maafmu. Maaf atas segala keangkuhan yang tidak berhak. Maaf untuk kemarahan yang tidak semestinya. Untuk setiap detak dan detik yang Engkau beri, sungguh kuatkanlah hati ini agar tetap beriman. Tetap mencintai-Mu seburuk apapun keadaanku, seberat apapun ujian yang menimpa. Tuhan, jangan biarkan aku salah memahami-Mu. Sungguh berikan segala kebaikan dan pengertian kepadaku bahwa setiap nafas hidup dan matiku hanya untuk-Mu. 

Bogor, 14 November 2017

Plus Minus Mutasi Anak ke Pesantren


Tidak selalu yang masuk pesantren itu adalah anak-anak nakal yang susah diatur orang tua. Mereka juga kebanyakan ialah anak-anak yang begitu ditakutkan terwarnai pergaulan dan lingkungan yang dirasa kurang baik. Oleh karenanya, para orang tua berbondong-bondong mengirim anaknya masuk pesantren. Tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa pesantren adalah wadah terbaik pencetak calon-calon ulama, mubaligh atau mubalighah. Sisanya mungkin banyak alasan di balik itu semua.

Sebagai salah satu anak yang pernah mengunyah manis pahitnya didikan pesantren, penulis merasa ingin berbagi rasa khususnya kepada para orang tua yang terbesit untuk memutasi anaknya ke pesantren. Pertama, pastikan apakah anak anda siap menghadapi pergolakan batin ketika mereka harus berpisah dari orang tua mereka untuk bertahun-tahun?

Tepat tanggal 24 Juli 2008 lalu, saya dan adik saya yang terpaut usia 3 tahun yang saat itu ia baru lulus Sekolah Dasar; harus merasakan goncangan jiwa yang sangat dahsyat. Hari dimana kita harus tinggal di luar kota dan jauh dari orang tua. Saat itu, qadarullah ibu saya tidak bisa mengantar kita ke tempat tinggal baru. Sebut saja pesantren sebagai tempat tinggal baru, karena kita akan betul-betul bernafas disana dengan tujuan menuntut ilmu. Ketika itu Ibu kami hanya bisa mengantar sampai ke terminal, sedangkan kita berdua diantar oleh paman sampai tujuan.

Tidak sampai satu menit saat bis mulai berjalan, saya memandang ibu dari jendela lalu berpaling. Apa yang saya lakukan? Tidak banyak. Saya hanya menggenggam wajah dengan kedua tangan. Sampai bis berjalan stabil dan mesinnya berbunyi keras, lalu saya menangis keras; suaranya nyaris menyaingi bunyi mesin. Hati terasa sangat mendidih. Sepanjang perjalanan hanya menangis. Kebetulan saya duduk tepat di belakang supir. Sesekali saya mengintip adik saya yang duduk di belakang saya, dari kaca spion tengah. Ia terlihat baik-baik saja dengan aura laki-laki yang tegar, walau saya yakin gejolak batin pasti ada.

Penulis tidak bisa menceritakan secara detail setiap jengkal yang harus kami lalui selama bertahun-tahun lamanya di pesantren, kecuali hanya garis besarnya. Kami yakin orang tua mengirim anaknya ke pesantren dengan alasan kemandirian. Agar anak tumbuh mandiri dan disiplin. Karena kita semua tahu, di pesantren setiap menit yang ada pasti terjadwal rapi. Mulai bangun tidur, shalat berjamaah, masuk kelas, makan, mandi dan seterusnya semua berpacu pada “bunyi bel”. Memang terbayang sangat monoton dan itulah tantangan yang harus kami hadapi. Belum lagi setiap aturan ketat sepaket dengan hukuman bagi yang melanggar. Pelajaran yang kami terima juga tulisannya keriting semua, Bahasa Arab. Kami merangkak dalam belajar karena Bahasa Arab masih terlalu asing di otak. Tidak sampai disitu, kami juga harus berusaha keras dalam menghafal. Karena selain dipahami, semua pelajaran wajib dihafal.

Kehidupan pesantren, tidak selalu pedih. Banyak kebahagiaan yang sangat mengesankan bagi kami. Salah satunya adalah ukhuwah. Kami yang satu sama lain jauh dari orang tua dan keluarga mulai beradaptasi sampai akhirnya saling mengisi. Hubungan kami satu sama lain lebih erat dari tali mati, lebih kental dan manis dari madu. Jika ada yang menangis, yang lainnya memberi pelukan. Kami pantang makan duluan, ketika perut yang lain lapar. Kami berbagi air mata juga tawa dalam satu lingkup yang notabene bukan darah keluarga. Kami tidur satu kamar dan tidak sedikit pun bosan walau yang kami lihat 4L “Lu Lagi Lu Lagi”.

Mulanya, kami menilai diperlakukan seperti robot yang harus patuh pada “bel”, tapi lama kelamaan, kami selalu selangkah lebih awal dari bunyinya. Lama-lama kami terbiasa. Lama-lama kami akrab dengan waktu. Lama-lama kami menikmati indahnya menghafal Hadits, Sharaf, Nahwu, Muthalaah dan bayak lagi. Mulanya, kami selalu ingat orang tua, menangis lagi menangis terus. Lama-lama kami terbiasa. Lama-lama kami melupakan mereka, kecuali dalam bait sajak doa. Ketika waktu liburan tiba, yang kami takutkan ialah perpisahan. Karena tidak sedikit, liburan ini dimanfaatkan oleh teman-teman yang tidak betah sebagai aji mumpung “gak balik lagi”.  Berbalik 180 derajat, setelah sampai rumah kami justru sedikit canggung dan merasa asing dengan keluarga juga sekitar. Kami justru merindukan pondok pesantren tercinta. Kami menjadi tidak betah di rumah.

Kedua, Ini hanya pandangan penulis. Seorang anak sungguh membutuhkan dekapan orang tuanya, terutama ibu. Seorang anak yang dididik dan diasuh di rumah bersama kehangatan keluarga tentu tidak akan kehausan kasih sayang. Walau bagaimana pun, cinta keluarga adalah surga dunia. Ia adalah motivasi terhebat yang pernah ada di planet manapun. Namun pertanyaannya, mampukah orang tua menjaga mereka dari lingkungan dan pergaulan bebas saat ini? Tentu, tidak sedikit orang tua yang tidak percaya diri mampu mengemban amanah dunia akhirat untuk membesarkan anaknya dengan baik terutama dalam ilmu agama. Lalu mereka mengoper amanah itu ke dalam wadah pendidikan pesantren. Boleh saja, tapi pesantren yang mana dulu? Alangkah baiknya orang tua menilai bibit, bobot, bebetnya dulu. Karena pada dasarnya, seorang anak setelah selesai dididik di pesantren; (kasarnya) pesantren itu tinggal “cuci tangan”. Amanah kembali dioper kepada keluarga. Ketika sang anak dan orang tua memang betul-betul siap lahir dan batin, silahkan melanjutkan pilihan anda. Namun jika ternyata anak bersikeras tidak mau, maka jangan dipaksa. Berarti, amanah tetap orang tua yang tanggung. Bukankah seiring pilihan selalu ada resiko?


Biasanya, setelah lulus jadi santri pun, masyarakat akan memandang “wah” kepada santri. Ini juga yang kelak menjadi beban dan tanggung jawab moral kami di lingkungan. Suatu hari, ketika saya berada di kampus, hobi saya mengamati orang semakin terasah. Banyak mahasiswa/i yang aura santrinya masih terpancar sampai sekarang. Tapi, tidak sedikit lulusan santri *termasuk saya justru tidak jauh lebih baik kelihatannya dari mereka yang sekolah Umum. Mulai dari pakaian, akhlak dan perilakunya. Atau mungkin kami semua hanya terbawa suasana dengan tuntutan teladan dan keistimewaan. Ada rasa malu tersendiri dalam benak, yang kadang menyingkirkan kenyataan bahwa santri juga “manusia”.  

Bogor, 10 November 2017

Selasa, 22 Agustus 2017

Rasanya Ikut Psikotes di Trans 7





Buat kamu yang Fresh Graduate pasti deh ngerasain banget susahnya nyari gawe alias kerjaan. Soalnya banyak banget perusahaan yang kualifikasinya minimal punya pengalaman satu tahun. Di antara sekian banyak orang di Indonesia, ada jutaan yang tiap tahun lulus. Banjir manusia yang naro CV dimana-mana. Bahkan kalau saya pernah liat itu CV berkardus-kardus. 

Tapi bro, saya termasuk orang yang mencintai yang namanya proses. Ngerasain gagal buat saya itu asyik! Tapi bukan berarti saya mencintai kegagalan ya. :D Bulan Agustus ini saya udah ditolak sama dua perusahaan. Pertama KPK dan kedua perusahaan BUMN PT. INTI PERSERO. Yang namanya CV udah kaya pohon kapas yang berguguran terbang tak tentu arah. Terakhir ini, saya coba melamar ke Trans 7 posisi Reporter/ Penulis di Khazanah. Dan finally, kecium angin surga saya dipanggil buat psikotes. Digarisbawahi kalau ini pengalaman pertama saya ikut psikotes! :')

Cus berangkat dari Pekanbaru ke Bogor. Saya aslinya sih orang Bogor, cuma emang lagi ada keperluan keluarga jadi terbang ke Riau. *Gak penting ya :') Saya pake sistem comot peluang. Emang kayaknya harus gitu ya buat kamu yang baru lulus kuliah apalagi belum ada pengalaman kerja kayak saya :')

Demi gak disentuh sama yang namanya macet Djakarta, saya belain sehari setelah tiba di Bogor, sorenya langsung ke Djakarta buat nginep di rumah sodara yang deket sama Menara Bank Mega, tempat psikotesnya tepatnya daerah Mampang. Masih tetangga deket sama gedung Trans Media. Googling demi googling saya cari contoh soal psikotes dan pengalaman orang-orang yang pernah tes juga di Trans 7. Dan Alhamdulillah jadi gak buta-buta amat walaupun syok ringan pas tau tesnya itu MENGGAMBAR!

Subuh-subuh udah mandi, dandan secantik-cantiknya tapi tetep aja gak ada bedanya. Tetep manis :') Gak tau emang udah peta takdir saya yang dimana-mana addaa aja rezekinya. Ternyata, sodara saya itu emang gawe di kantin Bank Mega. Jadi kita berangkat bareng deh naik motor bertiga sama suaminya sodara saya itu. Tenang, saya duduk di belakang kok, yang kalo ngerem mendadak berpotensi ngegubrak duluan :') Cuma 5 menit kayanya udah nyampe TKP.

Tesnya sih jam 10, tapi jam 6 saya udah jaga basecamp alias basement dimana kantin-kantin masih tidur, kursinya juga masih rapetan sama meja-meja seolah gak mau dipisah. :") Saya duduk di pojokan celingak celinguk ni sepi amat. Sambil buka tutup sosmed, satu dua orang makan, beberapa yang pake seragam Trans 7 atau Trans TV, tapi kebanyakan dari pegawai Bank Mega. Dan perlu banget ya saya ceritain siapa aja yang makan -_-

9.15 cus ke toilet. Yaa nambal-nambal dikit muka pake bedak, karena udah 3 jam ditanem di basement yang bikin keringet suka ikut eksis. Pas ngaca, arah jam 9 ada cewek nih yang saya curigai dia juga peserta tes. “Mbak tes juga di Trans 7?”, sambil H2C dia bilang iya. Bener kan, abis keliatan sih tasnya ada mapnya gitu. :’D *hayoo ketauan! Udah rapi-rapi bentar, kita naik ke lantai 3, dan turun lagi karena satpamnya gak bolehin masuk sebelum jam 9.45. Sedih sih enggak, cuma kok saya ngerasa jadi orang gak jelas ya masuk keluar lift. :')

Singkatnya, kita udah di aula. Dan gak nyangka udah 70an orang yang duduk nunduk nulis sesuatu. Saya curiga pada nulis apa. Padahal perasaan belum jam 10 dah! Gak lama ngantri TTD Absensi, kita dikasih formulir semacam data diri gitu. Gak pake lama, saya langsung isi itu formulir. Udah beres, dikumpulin tuh sama mbak-mbak HRD nya. Disitu ada 4 atau lima perempuan pake PDH Trans 7 dan satu laki-laki juga *yang saya liat. Gak tau mau bilang apa, asli cakep-cakep dah! Sempet mikir juga nih yang keterima di Trans 7 apa diliat dari cantik dan ganteng juga? Ah apalah saya yang punya wajah pribumi :')

Depan aula udah ada layar putih ngegantung, dengan lagu-lagu mellow Chakra Khan “Ku berlari kau terdiam, ku menangis kau tersenyum, ku berduka kau bahagia” PLUS Video Klipnya. Setelah itu lanjut ke bagian klimaksnya, UJIAN PSIKOTES yang penuh dengan gambar dan angka-angka. Pertama suruh jawab di satu lembar 4 sifat kita yang paling mencerminkan diri kita bangeut. Dengan nulis M atau Most dan L atau Least buat sifat kita yang bukan kita bangeut.

Dipandu sama Mbak-mbak yang tegas. Dan gak tau kenapa 125 peserta yang ikut tes ini kaya robot, yang angguk iya-iya aja. Udah beres itu soal, kita dikasih kertas lagi yang sebenar-benarnya tes kepribadian. Macem-macem isinya, kita suruh menyilang 1 dari 4 gambar yang janggal contohnya satu gambar kursi yang kurang kaki. Trus ada juga gambar yang harus kita lengkapi, contohnya ada orang yang kaya lagi mau ambil air di dispenser tapi gak ada gelasnya. Nah kita gambar tuh gelasnya. 

Demi banget buat soal ini mata kamu harus agak melotot, soalnya ini gambar buremnya sempurna banget alias gambar fotocopyan. Gak tau ini ada unsur kesengajaan atau enggak. Saya curiga ini buat ngetes mata kita sejeli apa. Atau emang hidup saya aja yang kayaknya penuh kecurigaan :'D

Trussss, mencocokkan 3 gambar yang sesuai di 4 kotak. Contohnya, kotak pojok kanan atas gambar lingkaran putih, di bawahnya segitiga hitam yang di sampingnya segitiga putih. Maka gambar apa yang sesuai di kotak kiri atas? Jawabannya adalah lingkaran hitam. Rumusnya gimana? bisa dipelajari di blog tetangga sebelah, bejibun banget soal-soal serupa buat psikotes. *Maaf ya gak bermaksud ngusir :")

Yang paling vital dari semua tes itu adalah kecepatan kita. Jadi semuanya diwaktu. Gak ada waktu lirik satu centi pun ke kiri atau ke kanan. Apalagi nyuri-nyuri waktu buat kenalan :D Singkirkan pikiran busuk itu dari kepala kamu kalau kamu gak mau sedetik kebuang cuma-cuma. Terakhir nih soal menggambar, dimana jari-jari yang uratnya tadi berasa kenceng jadi longgar pas suruh gambar pohon dan orang. Satu lembar pertama itu ada 7 kotak yang cuma dikasih titik, garis, garis lengkung dan sebagainya. Dimana kita harus buat satu titik itu jadi bagian gambar yang mau kita buat. Apa aja! Semerdekamu!

Lembar kedua disuruh gambar pohon + keterangan pohon apa yang udah kamu buat. Nanti disana dikasih pengecualian pohon-pohon apa aja yang gak boleh kamu gambar. Udah beres ngegambar amatirannya, masih harus gambar manusia sempurna, bukan sketsa atau kartun ya! Di lembar terakhir kamu harus menuliskan 7 kelebihan kamu beserta buktinya dan 7 kelemahan kamu beserta cara mengatasinya.

Nyaris 3 jam kalian akan berada di aula, jadi jangan lupa isi perut secukupnya biar gak laper atau malah kekenyangan. Buat kabar selanjutnya, kita disuruh nunggu. Ini lho yang buat kita mau gak mau harap-harap cemas lolos enggak lolos enggak. Kecuali mungkin saya dan beberapa orang yang cuma bisa harap-harap pasrah, karena gambar tak bisa, bisa pun abstrak parah! :D

Kalau nyampe seminggu atau dua minggu gak kecium angin surga, berarti wassalamualaikum. CV dan gambar yang sampe keringet basah kamu buat, jadi arsip atau entah yang nantinya nasibnya seperti apa. Tapi jangan merasa sia-sia. Karena di setiap peristiwa itu berharga! Kalau orang tua suka bilang, “Gak apa-apa buat pengalaman”. Emang ya, cuma orang tua yang paling pinter bikin anaknya tenang dan belajar menerima. :’)

Sekian dulu ya.. semoga kita semua dikasih yang terbaik. Inget! Rezeki bukan di tangan perusahaan! Banyak-banyak berdoa, bersedekah dan minta doa orang tua. Sampai jumpaaa :D


Bogor,
Selasa 22 Agustus 2017
  
   

Rabu, 31 Mei 2017

Tolak Kriminalisasi Ulama


"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu" - Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Di era pergolakan informasi ini, seakan tidak bisa dibendung upaya fitnah oleh pihak yang merasa terganggu kepentingannya. Masyarakat terus menerus diseret kepada permainan opini yang dikemas sedemikian apik dan cantik.
Aksi Tolak Penistaan Agama Sukses
Tepat tanggal 27 September 2016 lalu di Kepulauan Seribu, di tengah pidatonya,  Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama Alias Ahok melontarkan pernyataan yang melecehkan kitab suci Al Quran. Hari itu menjadi awal momentum bergeraknya Umat Islam di seluruh penjuru Negeri. Bermula dari seorang Netizen bernama Buni Yani yang mengunggah ulang video pidato Ahok yang mengandung unsur penistaan agama itu di halaman Facebook miliknya pada 6 Oktober 2016 lalu. Kemudian ditonton dan tersebar massif dan sangat menyulut emosi Umat Islam.
Tidak rela kitab suci dan ulamanya dihina, massa Umat Islam bangkit dengan berbagai aksi agar pernyataan Ahok diproses secara konstitusi. Pada 14 Oktober 2016, ribuan massa berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta menuntut penyelidikan atas kasus penistaan agama oleh Ahok. Aksi Tolak Penistaan Agama tidak berhenti sampai disitu, umat Islam dengan massa yang lebih besar kembali melakukan aksi jilid dua pada 4 November 2016 atau yang lebih dikenal aksi damai 411. Penyelidikan mulai intensif dilakukan dengan memanggil saksi dari para pelapor dan pihak terlapor. Pada 15 November 2016, dilakukan gelar perkara secara terbuka terbatas untuk menentukan status hukum bagi Ahok.
Pada 16 November 2016, kepolisian menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama. Tiga hari kemudian sekelompok massa mengadakan Parade Bhineka Tunggal Ika di Jakarta. Parade ini disebut-sebut sebagai aksi tandingan dari aksi bela Islam. Mereka mengaku tujuan parade ini ialah mengingatkan kembali hakikat berbangsa dan mengajak masyarakat agar membebaskan diri dari isu SARA yang sedang berkembang. Tanggal 2 Desember 2016 umat Islam kembali mengadakan aksi super damai 212 dengan massa membludak hingga 7 juta orang. “Kalau tidak ada aksi bela Islam I, Ahok tidak diproses. Kalau tidak ada aksi bela Islam II, Ahok tidak jadi tersangka. Kalau tidak ada aksi bela Islam III, pengadilan Ahok tidak akan digelar,” ujar Habib Rizieq Syihab.
Pengukuhan Habib Rizieq Sebagai Imam Besar Umat Islam dan Upaya Delegitimasi
Setelah suksesnya 3 aksi bela Islam, Persaudaran Muslimin Indonesia (Parmusi), dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Jakarta pada 17-20 Desember 2016  lalu, mengusulkan kepada seluruh komponen Umat Islam agar menetapkan Habib Rizieq sebagai Imam Besar Nasional. Pasalnya, Habib Rizieq adalah sosok terdepan dalam aksi-aksi ini.
Kemudian dilansir oleh situs resmi (Nahdlatul Ulama) NU Garis Lurus, KH. Jakfar Shadiq menegaskan mendukung dinobatkannya Habib Rizieq sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia. Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda (PP GP) Ansor Garis Lurus tersebut menyebutkan 3 alasan atas dukungannya itu. Pertama, Habib Rizieq berhasil menyatukan dan membangkitkan Umat Islam. Kedua, Ia adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Ketiga, Ia adalah ulama sekaligus habaib,” ujarnya.
Selama ini kita mengenal sosok Habib Rizieq sebagai ulama yang tegas dan keras dalam memperjuangkan kehormatan Islam. Bersama Front Pembela Islam (FPI), ia juga banyak berkontribusi dalam berbagai kegiatan sosial. Salah satunya dalam penanggulangan bencana Tsunami di Aceh 2004 silam. Pada beberapa Tabligh Akbar Habib Rizieq di berbagai daerah seperti Bandung, Aceh, Medan, Palembang, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), jamaah membludak hingga puluhan ribu.
Beberapa waktu kemudian, beredar di media sosial surat pernyataan dukungan pengangkatan Habib Rizieq sebagai Imam Besar Umat Islam. Isi surat itu mencantumkan nama, jabatan dan alamat. Serta pernyataan kesepakatan atas pengangkatan Habib Rizieq sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia dan berjanji setia atas perintah dan larangannya sesuai dengan syariat. Tertanggal 4 Januari 2017 yang dibuat di Pandeglang Banten. Setelah itu muncul  berbagai penolakan atas pengukuhan Habib Rizieq sebagai Imam Besar Nasional. Bahkan lagi-lagi sekelompok minoritas meminta FPI dibubarkan.

Serangan Balik: Upaya Penolakan Ustaz Tengku Zulkarnain                       
            Suksesnya sejumlah aksi bela Islam, ternyata membuat beberapa pihak merasa gerah. Berangsur-angsur setelah aksi yang sangat damai, para tokoh ulama mulai dilempari beragam fitnah, penolakan dan jerat hukum. Tanggal 19 Januari 2017, Gerakan Pemuda (GP) Ansor Bangka Belitung (Babel) menyampaikan penolakan kedatangan Imam Besar FPI, Habib Rizieq di wilayahnya, karena dinilai merusak keutuhan Bangsa dan kerukunan umat beragama.
Namun berbagai ormas dan ulama mendesak GP Ansor Babel agar meminta maaf dan mencabut pernyataan yang dinilai telah menghina ulama dan menyinggung perasaan muslim. Bahkan kantornya diserbu massa atas penolakan terhadap Habib Rizieq. Akhirnya pada tanggal 21 Januari 2017, Ketua GP Ansor Babel, Masmuni meminta permohonan maaf  kepada seluruh umat Muslim atas pernyataannya yang meresahkan. “Kalau ada yang terganggu dengan adanya pernyataan beberapa hari lalu sekali lagi kami minta maaf sebesar-besarnya kepada seluruh umat Islam,” ujarnya.
Tidak hanya itu, upaya penolakan pun ditujukan kepada Ustaz Tengku Zulkarnain Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene bukan pengurus FPI. Ia ditolak di Sintang Kalimantan Barat dan Banjarmasin. Ia dihadang oleh puluhan pemuda Dayak yang mengacung-acungkan senjata tradisional di Bandara Sintang ketika ia baru mendarat dari pesawat terbang. Padahal, kedatangan Tengku Zulkarnain ialah atas undangan resmi Bupati Sintang.
Disebutkan, Ustaz Tengku ditolak kedatangannya bukan karena lembaga MUI-nya, tetapi mereka menuduh Ustaz Tengku pernah menghina Suku Dayak melalui media sosial dengan mengatakan warga suku Dayak kafir, tidak pantas masuk surga dan bahkan lebih buruk dari binatang. Semua tuduhan itu dibantah oleh Ustaz Tengku, “Kapan saya ngomong begitu. Kalau ada dimana, kapan, screenshot. Kalau ada di YouTube kasih polisi,” tantangnya. 
Kriminalisasi Ulama: Habib Rizieq Dilaporkan Atas Beberapa Kasus
            Realita yang sangat miris saat ulama yang Rasulullah sebut sebagai pewaris Nabi, namun terus dikorek kesalahannya, dizalimi dan dikriminalisasi. “Semut terinjak pun Habib Rizieq bisa disalahkan dan dilaporkan”. Berdasarkan informasi yang dilansir oleh liputan6.com, Habib Rizieq dilaporkan dengan berbagai rentetan jerat hukum. Diantaranya ialah, pada Bulan Oktober 2016, ia dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) oleh puteri biologis Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri atas kasus pelecehan Pancasila. Habib Rizieq mengatakan bahwa “Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila piagam Jakarta ketuhanan ada di kepala”. Padahal video itu telah beredar di Youtube sejak 2 tahun silam.
Lalu pada Desember 2016, Forum Mahasiswa-Pemuda Lintas Agama (Rumah Pelita) melaporkan Habib Rizieq ke Polda Metro Jaya terkait video viral ceramahnya di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, ia mengatakan, “Kalau Tuhan itu beranak, terus bidannya siapa?”. Atas perkataan itu ia dilaporkan dengan tuduhan penistaan agama dan penyebaran kebencian berbau SARA. Tidak berhenti disitu, Habib Rizieq bertubi-tubi dilaporkan oleh berbagai pihak.
Pada Januari 2017, dari mulai kasus Penghinaan Kapolda Metro Jaya dan Profesi Hansip, “Pangkat Jenderal otak Hansip”. Kemudian Solidaritas Merah Putih (Solmet) melaporkan Habib Rizieq ke Polda Metro Jaya soal logo palu arit pada mata uang baru. Sampai tuduhan penyebaran konten berbau pornografi. Bahkan, Munarman sebagai juru bicara FPI dilaporkan ke Polda Bali atas tuduhan memfitnah Pecalang di Bali dan saat ini statusnya diangkat menjadi tersangka.
Penyerangan GMBI Terhadap Laskar FPI
            Tidak cukup berusaha menzalimi secara emosional dan psikis dengan berbagai tuduhan, ulama pun mulai dizalimi secara fisik. Tanggal 12 Januari 2017, gerombolan preman dibawah binaan Kapolda Jabar, Irjen Pol Anton Charliyan yaitu Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), mereka menyerang Laskar FPI saat pulang usai mengawal pemeriksaan Habib Rizieq atas laporan dugaan pelecehan Pancasila di Mapolda Jabar. Awalnya, ribuan massa dari masyarakat Muslim Jabar dan perwakilan berbagai ormas, tengah mengawal pemeriksaan Habib Rizieq.
Mereka nampak memenuhi jalan masuk pintu Mapolda Jabar. Selama pemeriksaan berlangsung, mereka silih berganti menaiki panggung orasi.“Kalau yang dilaporkan orang Islam apalagi ulama, semangat betul polisi menanganinya. Tetapi ketika yang dilaporkan politisi apalagi seorang pejabat lambat betul polisi memanggilnya,” ujar salah satu orator. Sementara itu, tidak jauh dari massa ormas Islam, ratusan massa yang tergabung dalam elemen GMBI juga melakukan orasi. GMBI dalam orasinya dinilai mendukung kepolisian atas pemeriksaan Habib Rizieq. Akibatnya dua kubu itu beberapa kali sempat terprovokasi, namun aparat kepolisian yang menjaga dan siaga berhasil meredam.
Sore harinya, usai Habib Rizieq pulang dan keluar, umat ikut mengiringi. Sayangnya, sebagian rombongan yang tertinggal diserang oleh GMBI dari belakang. Sebuah mobil mini bus yang ditumpangi oleh rombongan FPI dengan nomor polisi F 1441 GO, kondisi kaca belakang pecah karena dirusak. Tak hanya itu, seorang laskar yang menjadi pengemudi mobil tersebut luka di kepala, dengan darah mengucur. Habib Umar dikeroyok oleh 7 orang dan dihajar pakai balok sampai patah tulang.
Beragam Fitnah Terhadap Ustaz Bachtiar Nasir
            Kebenaran tidak pernah relatif. Mau mereka coba aduk sedemikian rupa agar terlihat salah, kebenaran tetaplah kebenaran. Bahkan kalau ia berusaha ditenggelamkan, kebenaran akan muncul ke permukaan yang mutlak akan selalu ramai diperjuangkan. Gejolak informasi hari ini memberikan buktinya. Pergolakan fitnah lebih keji, tapi publik semakin cerdas dan skeptis. Sastrawan Taufik Ismail mengatakan bahwa Fitnah dan Kriminalisasi Ulama mirip cara PKI Tahun 60-an.
Fitnah terus bergilir, kali ini Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), Ustaz Bachtiar Nasir mendapat gilirannya. Ia dituduh terkait penyaluran dana kepada kelompok pemberontak di Aleppo, Suriah. Bermula dari tersebarnya foto Ustaz Bachtiar Nasir yang mengenakan kaos bertuliskan Indonesian Humanitarian Relief  Foundation (IHR). Sekaligus beredar fitnah yang dialamatkan kepada IHR yang merupakan lembaga kemanusian untuk membantu warga Suriah. Namun, seolah terkesan bantuan kemanusiaan dari masyarakat Indonesia justru mengalir kepada para pemberontak di Suriah.
Menurut Manthori Direktur IHR yang dikutip dari Islamic News Agency (INA), mengatakan bahwa arus fitnah ini bukan barang baru. Upaya propaganda serupa sudah lama dilakukan melalui akun-akun facebook. “Polanya sama, salah satunya adalah membunuh karakter NGO-NGO kemanusiaan yang selama ini bersama-sama ormas Islam, ulama dan aktivis kemanusiaan,” ujarnya.
Cakram fitnah masih ditujukan kepada Ustaz Bahtiar Nasir. Pada 1 Februari 2017 lalu, Ustaz Bachtiar bersama Habib Rizieq dan Munarman memenuhi panggilan di Polda Metro Jaya sebagai saksi kasus makar sebelum Aksi Bela Islam 411 lalu. Terkait pertemuannya bersama para tersangka makar di Universitas Bung Karno (UBK), Habib Rizieq menyatakan bahwa benar Rachmawati Soekarnoputri pernah ke rumahnya dan sebaliknya. Namun sama sekali tidak membicarakan rencana aksi makar. Sedangkan Ustaz Bachtiar Nasir mengakui hadir hanya untuk memenuhi undangan panitia sebagai pembicara dalam acara haul Bung Karno.
Beberapa hari kemudian, tanggal 10 Februari 2017 Ustaz Bachtiar Nasir memenuhi panggilan Bareskrim Polri sebagai saksi dugaan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yayasan Keadilan untuk Semua, yang kebetulan dipakai untuk menampung sumbangan masyarakat dalam Aksi Bela Islam II dan III. Namun Kapitra Ampera, Kuasa Hukum Ustaz Bachtiar Nasir menyangkal dugaan itu dengan mengatakan bahwa Ustaz Bachtiar Nasir tidak ada hubungan dengan Yayasan tersebut. “Dia bukan pendiri, bukan pembina, bukan pengawas dan dia tidak masuk dalam struktur kepengurusan yayasan”, terangnya kepada awak media.
MUI Disebut Anti Kebhinekaan oleh Kapolri
            Bukan hanya ke FPI dan Habib Rizieq sebagai sasaran utama penyerangan, serangan juga ditujukan ke MUI. Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian mengatakan kepada awak media bahwa Fatwa MUI disebut sebagai Anti Kebhinekaan. Tito menilai fatwa MUI akhir-akhir ini berpotensi menimbulkan gangguan pada stabilitas keamanan Nasional. Hal itu ia sampaikan dalam diskusi yang bertajuk Fatwa MUI dan Hukum Positif di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 17 Januari 2017 lalu.
Tito yang saat itu menjadi keynote speaker berpendapat bahwa Fatwa larangan penggunaan atribut Natal bagi karyawan beragama Islam yang kemudian memicu berbagai aksi dan tindakan kekerasan beberapa pihak yang melakukan sosialisasi di ruang publik, menunjukan fatwa MUI bukan lagi dianggap pandangan halal atau haram. Tapi belakangan menjadi ancaman bagi keberagaman dan kebhinekaan.
Kasus lainnya, Tito menyebut soal Fatwa MUI yang mengatakan Ahok menistakan Al Quran dan ulama. Menurut Tito, Fatwa tersebut berpotensi menimbulkan gerakan mobilisasi gerakan GNPF MUI. Serta memicu pembentukkan opini masyarakat yang kemudian muncullah gerakan aksi 411 dan 212. Tito menilai aksi tersebut banyak terpengaruh dari sikap MUI dalam beberapa fatwanya.
Selain itu, Tito juga menegaskan bahwa fatwa MUI bukanlah hukum positif di Indonesia yang mutlak harus ditegakkan. “Meski GNPF MUI berhasil memobilisasi massa dalam aksi damai 212 dengan aman dan tanpa kericuhan. Tapi aksi tersebut menunjukkan adanya gerakan yang mengarah pada intoleransi yang bertentangan dengan semangat kebhinekaan. Meski aksi 212 aman, tapi membuka wacana baru tergerusnya mainstream Islam, menaikkan transnasional yang kurang pas dengan situasi kebhinekaan”, ujarnya.
Namun, KH. Ma’ruf Amin Ketua Umum MUI Pusat menyayangkan sikap yang ditunjukkan Kapolri atas fatwa yang dikeluarkan MUI terkait larangan memakai atribut Natal bagi karyawan Muslim. KH. Ma’ruf Amin mengatakan seharusnya pihak kepolisian membantu melaksanakan apa yang difatwakan MUI dalam rangka memberikan perlindungan dan mencegah terjadinya pemaksaan-pemaksaan.
Ia juga menilai sikap Kapolri berpotensi memicu terjadinya konflik yang justru merusak kebhinekaan dan member kesan bahwa MUI tidak punya sikap toleransi dalam beragama. “Memang fatwa MUI itu bukan hukum positif, tetapi bisa dijadikan dasar untuk diregulasikan dan dipositifisasi yang kemudian menjadi aturan yang formal. Bahkan kalau bisa dijadikan aturan dalam undang-undang agar tidak terjadi konflik beragama dalam masyarakat”, tuturnya.

*Note: Sebagian besar kutipan diambil dari video Youtube dan suara-islam.com. 
*Late Post

Kiprah API Jabar Memperjuangkan Keadilan

Kerua API Jabar Asep Syaripudin

Meresapi Arti Perjuangan

Hari itu adalah tepat hari dimana sidang ke-13 kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok digelar. Kelopak mata ini rasanya tidak bisa diangkat terlalu tinggi, mengingat panas sangat terik menembus hingga ke tulang. Barangkali ini yang dinamakan ujian perjuangan, karena mungkin setiap bulir keringat perjuangan membela agama Allah akan menjadi saksi di hari perhitungan. Sejak pagi, ratusan massa kontra Ahok masih berorasi. Pantulan suaranya menyeruak hingga ke langit-langit Gedung Kementrian Pertanian (Kementan), Pasar Minggu Jakarta Selatan, (7/3/2017). Tujuan mereka ialah menyerukan agar Ahok segera ditahan atas perbuatannya yang telah melecehkan Al Quran dan Ulama. Rupanya sakit hati umat Islam belum sepenuhnya pulih sampai keadilan benar-benar ditegakkan. Bahwa bukankah memang sudah selayaknya Ahok dipenjarakan?

Berbagai macam elemen Organisasi Masyarakat (Ormas) merapat ke depan Gedung Kementan mengawal sidang Ahok yang rasanya terlalu berlarut-larut. Setiap pekan, mereka datang membawa panji-panji perjuangan dan semangat yang tidak pernah redam. Di antaranya ialah Aliansi Pergerakan Islam Jawa Barat (API Jabar) yang tidak pernah absen mengawal persidangan. Satu hari sebelum hari H, API Jabar telah mengumpulkan massa di Pusdai Jabar Bandung sekitar pukul 23.00 WIB. Kemudian mereka berangkat ke Ibu Kota dan turut serta melaksanakan Shalat Subuh berjamaah dan syuro di Masjid Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sekitar pukul 09.00 WIB sidang digelar, sementara itu para ormas Islam tetap setia mengawal dari luar gedung. Satu per satu perwakilan ormas terus berorasi. Tidak peduli terik matahari membakar kulit, tidak peduli cucuran keringat melumuri setiap jarak pori-pori, tidak peduli kumpulan aparat mengawasi, dengan gagah berani mereka berteriak “Pen jara kan A hok!”.

Saat-saat itulah momen paling dramatis aparat kepolisian terus menjaga massa dengan kawat berduri hampir setinggi 1,5 meter. Sisi terbaiknya ialah agaknya massa tidak menguras energi terlalu banyak para polisi dengan tidak menerobos kawat berduri. Sisi menyakitkannya mungkin, perjuangan mengobati luka di hati umat justru dipagari dengan pagar yang sangat berpotensi melukai badan. Adakah terlihat dari wajah mereka berhasrat melukai luka? Inilah kekuatan luka umat yang dicederai oleh Ahok. Bahwa setiap huruf Al Quran yang dilecehkan menjadi jantung yang memompa darah semangat perjuangan mereka. Juga keadilan yang saat ini didambakan adalah detak dan detik yang terus bergerak dinamis.

Bagaimana API Jabar Bisa Lahir?

Masih ingat kasus perzinaan dan pornografi seorang musisi asal Bandung dengan dua aktris publik figur yang mencuat di media 6 tahun lalu? Juga menjadi yurisprudensi dan keputusan fenomenal dalam sejarah hukum di Indonesia, ada pasangan yang berzina suka sama suka tapi bisa dihukum. Tidak bermaksud memungut sisa-sisa ingatan aib itu tapi yang mungkin hampir luput dari ingatan, bahkan mungkin kita tidak tahu siapa superhero di baliknya. Bahwa API Jabar lah salah satu pihak yang ada di balik kesuksesan sidang kasus perzinaan itu. Mereka yang mengundang berbagai elemen, memberikan surat pemberitahuan kepada kepolisian, mengawal dua kali sidang setiap pekan menjelang vonis dan Alhamdulillah dengan forum itu, kemudian musisi ternama itu divonis 3,5 tahun.

Menjelang akhir sidang, berbagai elemen Ormas, mahasiswa sampai Organisasi Kepemudaan (OKP) melahirkan kesepahaman bersama untuk membentuk forum bersama yang kemudian diberi nama Aliansi Pergerakan Islam Jabar supaya lebih terkoordinir. Kemudian terpilih Ustaz Asep Syaripudin sebagai koordinatornya. Kelahiran API Jabar dari rahim Ibu Pertiwi membawa magnet azzam perjuangan umat Islam di Indonesia saat ini. Walaupun usianya masih sangat muda, jauh dibandingkan Front Pembela Islam (FPI) yang lahir sejak tahun 98, justru API lahir pada Bulan Muharram tahun 2011 silam.

Pergerakan API Jabar tidak berhenti sampai disini. Kiprahnya mengawal persidangan berlanjut pada kasus mempraperadilan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, pada tahun 2013. “Jadi di daerah Kranggan, Kecamatan Jatisampurna Bekasi, ada Gereja Kalamiring, gereja liar, kemudian mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemkot Bekasi. Lalu masyarakat protes terhadap IMB itu dan mendaftarkan kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)  Bandung. Kemudian kita dampingi, setiap pekan sidangnya kita back up dari Bekasi. Sampai pada akhirnya PTUN Bandung membatalkan IMB yang diterbitkan Pemkot Bekasi”, ujar Ustaz Asep Syaripudin yang kami temui usai shalat dzuhur berjamaah di Masjid Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (7/3/2017).

Kenapa API Jabar Selalu Setia Mengawal Sidang Ahok?

Dari sisi mentalitas, API Jabar sudah memiliki pengalaman mengawal dua kali sidang kasus dan menang. Yang kedua, bahwa API ini menginginkan tegaknya Al Maidah Ayat 51 terutama di Kota Jakarta. API Jabar tidak main-main bahwa ending daripada perjuangan ini diharapkan minimal Ahok itu harus divonis penjara minimal 5 tahun, atas pelanggaran pasal 156a. “Jangankan 13 sidang, mau puluhan pun Insyaallah, kita akan hadir terus.”, tegas Ustaz Asep. Disebutkan bahwa jika dianggap perlu pada 19 April 2017 mendatang, API Jabar akan  membantu terkait pemenangan gubernur muslim putaran kedua di Jakarta.

Lahir sebagai forum gabungan dari berbagai ormas dan dibidani oleh sekitar 40 pergerakan Islam di Jabar, API mempunyai ide besar. Tidak hanya sebagai gerakan yang menyikapi kejadian-kejadian di masyarakat, API ingin membangun peradaban Islam di Jabar. Mengingat sebanyak 97% warga di Jabar adalah Muslim. Hal ini yang kemudian menjadikan Jabar sebagai basis sejumlah Gerakan Islam. Seperti yang kita tahu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang basisnya di Depok Jabar. Kemudian Hizbut Tahrir yang basisnya di Bogor dan FPI dilahirkan di Petamburan tapi massa terbesarnya ada di Jabar. Nah, artinya bahwa respon masyarakat Jabar terhadap  gerakan Islam itu sangat bagus.

Hal ini yang membuat API berpikir untuk melahirkan gagasan secara kultural. Salah satunya ialah dengan merekrut laskar dan menjadikan masjid sebagai basis. Diawali dengan gerakan Shalat Subuh berjamaah, dan API mengklaim sudah melaksanakan gagasan Shalat Subuh berjamaah itu sebelum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI). “Kalau GNPF itu kan tanggal 12 Desember, kita sudah memprakarsai itu sejak 17 Agustus”, ujar Ustaz Asep. API bukan organisasi tingkat Jabar yang hanya ruang lingkupnya di Jawa Barat, tapi API adalah organisasi yang identitasnya di Jabar yang Insyaallah ikut bersama-sama mewujudkan Islam di seantero dunia. “Kan agendanya tsumma takuunu khilafatan ‘ala minhaaji nubuwwah. Jadi itu ide besarnya”, tutupnya sembari tersenyum.

Sidang Ahok masih berlanjut, tidak terprediksi kapan perjuangan mengobati luka umat ini berujung. Tapi satu yang mutlak, kata Hamka bahwa “Adil adalah menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar”. Di tengah orasi ormas Islam yang diselingi takbir, tampak kubu pro Ahok berseragam kotak-kotak tidak kalah setia mengawal sidang Ahok. Beberapa kali mereka orasi diselingi musik pop dan etnik. Diperkirakan jarak keduanya 200 sampai 300 meter. Akhirnya kami mengerti kenapa polisi memagari mereka dengan kawat berduri. Walaupun tidak sepenuhnya berani menghampiri kubu kotak-kotak,  kami melalui kawasan mereka dan satu kekuatan luka bertambah saat mendengar mereka berteriak “Bubarkan FPI!”. 

*Late Post

Jumat, 03 Maret 2017

Melatih Nurani



Jangan mudah sakit hati pada hal-hal kecil. Awalnya memang sulit melatih hati buat lebih lapang menerima hal-hal yang tidak sesuai norma alam yang kita harapkan. Hukum alam selalu bekerja dengan baik. Sebab akibat terus bergiliran dan kita mutlak untuk mengambil pelajaran. Contoh hal sederhana, saat kita menerima pesan/ chat dari orang lain, normanya ialah kita harus segera membalas pesan/ chat itu. Apalagi bagi anda yang memakai fitur otomatis tanda telah terbaca. Terlihat bagi pengirim pesan sudah dibaca, tapi tidak dibalas juga. Bahkan sampai berhari-hari, ibarat tanah sudah retak-retak. Seperti menunggu di saat kemarau panjang, tapi baru dibalas pas musim hujan. Lebih parahnya tidak ada balasan sama sekali. Sungguh seperti ingin berteriak di tengah hujan lebat, “Apa salah hamba”. :D

Beda lagi ya kalau kita kirim pesan kepada orang-orang yang memang sibuk. Tapi sebenarnya arti kata sibuk itu relatif. Presiden sesibuk apa pun kalau yang ngirim pesan itu istrinya pasti langsung dibalas. *hhe mungkin. Jadi sebenarnya ini soal prioritas. Gondok memang rasanya pesan kita diabaikan begitu saja. Apalagi kalau kasusnya ketika pesan kita belum dibalas juga, eh dia sempat-sempatnya ganti foto profil. Sungguh pengalaman pribadi yang memilukan.

Tapi dari sana kita bisa belajar juga mengabaikan. Abaikan lah, kalau pesan kita belum dibalas mungkin dia sedang sibuk. Atau mungkin inilah hadiah dari alam atas perbuatan kita yang mungkin pernah kurang menghargai orang lain. Hiburlah diri kita sebaik mungkin. Toh tidak ada salahnya berprasangka baik. Tidak perlu merasa rugi, tidak perlu merasa kepala kita sedang diinjak-injak, apalagi merasa harga diri kita dipermainkan. Tidak perlu sefrustasi itu, ini namanya terlalu didramatisir. Tumbuhkanlah perasaan yang baik karena kita adalah orang baik. J

Bicara soal norma, mau kita patuhi atau tidak, percayalah itu hanya akan kembali pada masing-masing kita. Bahwa setiap norma merupakan keputusan nurani yang harus kita latih agar tidak mati. Luar biasa alam ini menunjukkan sebab akibat yang gak jarang buat kita terhenyak mikir. Itu juga bagi yang mau mikirin J

Norma alam dipatuhi oleh kesadaran manusia itu sendiri. Misal, liat bunga di pinggir jalan, tangan bawaannya gatel pengen metik. Jangankan liat bunga, berdiri di pinggiran taman, tangan udah kayak terlatih gak kerasa nyabutin daun sambil ngobrol. Apalagi kalau sudah menyinggung tentang sampah, ini benar-benar harus mengetuk pintu nurani. Karena sekecil apa pun sampah, sampah tetaplah sampah; dan kesadaran untuk membuang sampah di tempat sampah adalah mutlak keputusan nurani. Norma alamnya apa? Ini namanya merusak. Boleh atau tidaknya, saya serahkan kepada nurani anda J

Norma yang dibuat manusia juga sebenarnya kembali kepada kesadaran kita. Pakai helm, peraturan lalu lintas, peraturan di tempat umum, dan seterusnya. Mau ada orang yang lihat atau tidak, mau ada polisi atau tidak, mau ada cctv atau tidak, peraturan tetap peraturan. Kembali pada kita, mau gak sih membuka diri untuk menerimanya. Bersediakah hati kita terbuka untuk merendah lebih rendah kepada ketaatan pada aturan manusia yang hakikatnya membawa kebaikan juga. Nurani perlu dilatih pada kepekaan yang baik, rawatlah agar ia tetap hidup berdetak sampai setiap detiknya menumbuhkan kebaikan-kebaikan. Karena aroma kebaikan akan dihirup juga oleh orang baik; dan semerbaknya tetap terjaga oleh orang-orang yang mau menjaga. J


Pages - Menu