"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak
pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak
Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka,
dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa,
karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu" - Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Di
era pergolakan informasi ini, seakan tidak bisa dibendung upaya fitnah oleh pihak
yang merasa terganggu kepentingannya. Masyarakat terus menerus diseret kepada
permainan opini yang dikemas sedemikian apik dan cantik.
Aksi Tolak Penistaan Agama Sukses
Tepat tanggal
27 September 2016 lalu di Kepulauan Seribu, di tengah pidatonya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
Alias Ahok melontarkan pernyataan yang melecehkan kitab suci Al Quran. Hari itu
menjadi awal momentum bergeraknya Umat Islam di seluruh penjuru Negeri. Bermula
dari seorang Netizen bernama Buni Yani yang mengunggah ulang video pidato Ahok
yang mengandung unsur penistaan agama itu di halaman Facebook miliknya pada 6 Oktober 2016 lalu. Kemudian ditonton dan
tersebar massif dan sangat menyulut emosi Umat Islam.
Tidak rela
kitab suci dan ulamanya dihina, massa Umat Islam bangkit dengan berbagai aksi
agar pernyataan Ahok diproses secara konstitusi. Pada 14 Oktober 2016, ribuan
massa berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta menuntut penyelidikan atas
kasus penistaan agama oleh Ahok. Aksi Tolak Penistaan Agama tidak berhenti
sampai disitu, umat Islam dengan massa yang lebih besar kembali melakukan aksi
jilid dua pada 4 November 2016 atau yang lebih dikenal aksi damai 411. Penyelidikan mulai intensif
dilakukan dengan memanggil saksi dari para pelapor dan pihak terlapor. Pada 15
November 2016, dilakukan gelar perkara secara terbuka terbatas untuk menentukan
status hukum bagi Ahok.
Pada 16 November 2016, kepolisian menetapkan Ahok sebagai
tersangka kasus penistaan agama. Tiga hari kemudian sekelompok massa mengadakan
Parade Bhineka Tunggal Ika di Jakarta. Parade ini disebut-sebut sebagai aksi
tandingan dari aksi bela Islam. Mereka mengaku tujuan parade ini ialah
mengingatkan kembali hakikat berbangsa dan mengajak masyarakat agar membebaskan
diri dari isu SARA yang sedang berkembang.
Tanggal 2 Desember 2016 umat Islam kembali mengadakan aksi super damai 212
dengan massa membludak hingga 7 juta orang. “Kalau
tidak ada aksi bela Islam I, Ahok tidak diproses. Kalau tidak ada aksi bela
Islam II, Ahok tidak jadi tersangka. Kalau tidak ada aksi bela Islam III,
pengadilan Ahok tidak akan digelar,” ujar Habib Rizieq Syihab.
Pengukuhan Habib Rizieq Sebagai
Imam Besar Umat Islam dan Upaya Delegitimasi
Setelah suksesnya 3 aksi bela Islam, Persaudaran Muslimin
Indonesia (Parmusi), dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Jakarta pada
17-20 Desember 2016 lalu, mengusulkan
kepada seluruh komponen Umat Islam agar menetapkan Habib Rizieq sebagai Imam
Besar Nasional. Pasalnya, Habib Rizieq adalah sosok terdepan dalam aksi-aksi
ini.
Kemudian dilansir oleh situs resmi (Nahdlatul Ulama) NU
Garis Lurus, KH. Jakfar Shadiq menegaskan mendukung dinobatkannya Habib Rizieq
sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia. Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan
Pemuda (PP GP) Ansor Garis Lurus tersebut menyebutkan 3 alasan atas dukungannya
itu. “Pertama, Habib Rizieq berhasil menyatukan dan membangkitkan Umat
Islam. Kedua, Ia adalah Ahlus Sunnah
Wal Jamaah. Ketiga, Ia adalah ulama
sekaligus habaib,” ujarnya.
Selama ini kita mengenal sosok Habib Rizieq sebagai ulama
yang tegas dan keras dalam memperjuangkan kehormatan Islam. Bersama Front
Pembela Islam (FPI), ia juga banyak berkontribusi dalam berbagai kegiatan sosial.
Salah satunya dalam penanggulangan bencana Tsunami di Aceh 2004 silam. Pada
beberapa Tabligh Akbar Habib Rizieq di berbagai daerah seperti Bandung, Aceh,
Medan, Palembang, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), jamaah membludak hingga
puluhan ribu.
Beberapa waktu kemudian, beredar di media sosial surat
pernyataan dukungan pengangkatan Habib Rizieq sebagai Imam Besar Umat Islam.
Isi surat itu mencantumkan nama, jabatan dan alamat. Serta pernyataan
kesepakatan atas pengangkatan Habib Rizieq sebagai Imam Besar Umat Islam
Indonesia dan berjanji setia atas perintah dan larangannya sesuai dengan
syariat. Tertanggal 4 Januari 2017 yang dibuat di Pandeglang Banten. Setelah
itu muncul berbagai penolakan atas pengukuhan
Habib Rizieq sebagai Imam Besar Nasional. Bahkan lagi-lagi sekelompok minoritas
meminta FPI dibubarkan.
Serangan Balik:
Upaya Penolakan Ustaz Tengku Zulkarnain
Suksesnya
sejumlah aksi bela Islam, ternyata membuat beberapa pihak merasa gerah.
Berangsur-angsur setelah aksi yang sangat damai, para tokoh ulama mulai
dilempari beragam fitnah, penolakan dan jerat hukum. Tanggal 19 Januari 2017, Gerakan
Pemuda (GP) Ansor Bangka Belitung (Babel) menyampaikan penolakan kedatangan
Imam Besar FPI, Habib Rizieq di wilayahnya, karena dinilai merusak keutuhan
Bangsa dan kerukunan umat beragama.
Namun berbagai ormas dan ulama mendesak GP Ansor Babel agar
meminta maaf dan mencabut pernyataan yang dinilai telah menghina ulama dan
menyinggung perasaan muslim. Bahkan kantornya diserbu massa atas penolakan
terhadap Habib Rizieq. Akhirnya pada tanggal 21 Januari 2017, Ketua GP Ansor
Babel, Masmuni meminta permohonan maaf
kepada seluruh umat Muslim atas pernyataannya yang meresahkan. “Kalau ada yang terganggu dengan adanya
pernyataan beberapa hari lalu sekali lagi kami minta maaf sebesar-besarnya
kepada seluruh umat Islam,” ujarnya.
Tidak hanya itu, upaya
penolakan pun ditujukan kepada Ustaz Tengku Zulkarnain Wasekjen Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang notabene bukan pengurus FPI. Ia ditolak di Sintang
Kalimantan Barat dan Banjarmasin. Ia dihadang oleh
puluhan pemuda Dayak yang mengacung-acungkan senjata tradisional di Bandara
Sintang ketika ia baru mendarat dari pesawat terbang. Padahal, kedatangan
Tengku Zulkarnain ialah atas undangan resmi Bupati Sintang.
Disebutkan, Ustaz
Tengku ditolak kedatangannya bukan karena lembaga MUI-nya, tetapi mereka
menuduh Ustaz Tengku pernah menghina Suku Dayak melalui media sosial dengan
mengatakan warga suku Dayak kafir, tidak pantas masuk surga dan bahkan lebih
buruk dari binatang. Semua tuduhan itu dibantah oleh Ustaz Tengku, “Kapan saya ngomong begitu. Kalau ada
dimana, kapan, screenshot. Kalau ada di YouTube kasih polisi,”
tantangnya.
Kriminalisasi Ulama: Habib
Rizieq Dilaporkan Atas Beberapa Kasus
Realita
yang sangat miris saat ulama yang Rasulullah sebut sebagai pewaris Nabi, namun
terus dikorek kesalahannya, dizalimi dan dikriminalisasi. “Semut terinjak pun Habib Rizieq bisa disalahkan dan dilaporkan”. Berdasarkan informasi yang dilansir oleh liputan6.com,
Habib Rizieq dilaporkan dengan berbagai rentetan jerat hukum. Diantaranya
ialah, pada Bulan Oktober 2016, ia dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat
(Polda Jabar) oleh puteri biologis Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri atas kasus
pelecehan Pancasila. Habib Rizieq mengatakan bahwa “Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila piagam
Jakarta ketuhanan ada di kepala”. Padahal video itu telah beredar di
Youtube sejak 2 tahun silam.
Lalu pada Desember 2016, Forum Mahasiswa-Pemuda
Lintas Agama (Rumah Pelita) melaporkan Habib Rizieq ke Polda Metro Jaya terkait
video viral ceramahnya di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, ia
mengatakan, “Kalau Tuhan itu beranak,
terus bidannya siapa?”. Atas perkataan itu ia dilaporkan dengan tuduhan
penistaan agama dan penyebaran kebencian berbau SARA. Tidak berhenti disitu,
Habib Rizieq bertubi-tubi dilaporkan oleh berbagai pihak.
Pada Januari 2017, dari mulai kasus Penghinaan
Kapolda Metro Jaya dan Profesi Hansip, “Pangkat
Jenderal otak Hansip”. Kemudian Solidaritas Merah Putih (Solmet) melaporkan
Habib Rizieq ke Polda Metro Jaya soal logo palu arit pada mata uang baru. Sampai
tuduhan penyebaran konten berbau pornografi. Bahkan, Munarman sebagai juru
bicara FPI dilaporkan ke Polda Bali atas tuduhan memfitnah Pecalang di Bali dan
saat ini statusnya diangkat menjadi tersangka.
Penyerangan GMBI Terhadap
Laskar FPI
Tidak
cukup berusaha menzalimi secara emosional dan psikis dengan berbagai tuduhan,
ulama pun mulai dizalimi secara fisik. Tanggal 12 Januari 2017, gerombolan
preman dibawah binaan Kapolda Jabar, Irjen Pol Anton
Charliyan yaitu Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), mereka
menyerang Laskar FPI saat pulang usai mengawal pemeriksaan Habib Rizieq atas
laporan dugaan pelecehan Pancasila di Mapolda Jabar. Awalnya, ribuan massa dari
masyarakat Muslim Jabar dan perwakilan berbagai ormas, tengah mengawal
pemeriksaan Habib Rizieq.
Mereka nampak memenuhi jalan
masuk pintu Mapolda Jabar. Selama pemeriksaan berlangsung, mereka silih
berganti menaiki panggung orasi.“Kalau yang dilaporkan orang Islam apalagi ulama, semangat
betul polisi menanganinya. Tetapi ketika yang dilaporkan politisi apalagi
seorang pejabat lambat betul polisi memanggilnya,” ujar salah satu orator. Sementara itu, tidak jauh dari
massa ormas Islam, ratusan massa yang tergabung dalam elemen GMBI juga
melakukan orasi. GMBI dalam orasinya dinilai mendukung kepolisian atas
pemeriksaan Habib Rizieq. Akibatnya dua kubu itu beberapa kali sempat
terprovokasi, namun aparat kepolisian yang menjaga dan siaga berhasil meredam.
Sore harinya,
usai Habib Rizieq pulang dan keluar, umat ikut mengiringi. Sayangnya, sebagian
rombongan yang tertinggal diserang oleh GMBI dari belakang. Sebuah mobil mini bus
yang ditumpangi oleh rombongan FPI dengan nomor polisi F 1441 GO, kondisi kaca
belakang pecah karena dirusak. Tak hanya itu, seorang laskar yang menjadi
pengemudi mobil tersebut luka di kepala, dengan darah mengucur. Habib Umar
dikeroyok oleh 7 orang dan dihajar pakai balok sampai patah tulang.
Beragam Fitnah Terhadap Ustaz
Bachtiar Nasir
Kebenaran
tidak pernah relatif. Mau mereka coba aduk sedemikian rupa agar terlihat salah,
kebenaran tetaplah kebenaran. Bahkan kalau ia berusaha ditenggelamkan,
kebenaran akan muncul ke permukaan yang mutlak akan selalu ramai diperjuangkan.
Gejolak informasi hari ini memberikan buktinya. Pergolakan fitnah lebih keji,
tapi publik semakin cerdas dan skeptis. Sastrawan Taufik Ismail mengatakan
bahwa Fitnah dan Kriminalisasi Ulama mirip cara PKI Tahun 60-an.
Fitnah terus bergilir, kali ini Ketua Umum Gerakan Nasional
Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), Ustaz Bachtiar Nasir
mendapat gilirannya. Ia dituduh terkait penyaluran dana kepada kelompok
pemberontak di Aleppo, Suriah. Bermula dari tersebarnya foto Ustaz Bachtiar
Nasir yang mengenakan kaos bertuliskan Indonesian
Humanitarian Relief Foundation (IHR). Sekaligus beredar
fitnah yang dialamatkan kepada IHR yang merupakan lembaga kemanusian untuk
membantu warga Suriah. Namun, seolah terkesan bantuan kemanusiaan dari
masyarakat Indonesia justru mengalir kepada para pemberontak di Suriah.
Menurut Manthori Direktur IHR yang dikutip dari Islamic News Agency (INA), mengatakan bahwa
arus fitnah ini bukan barang baru. Upaya propaganda serupa sudah lama dilakukan
melalui akun-akun facebook. “Polanya
sama, salah satunya adalah membunuh karakter NGO-NGO kemanusiaan yang selama
ini bersama-sama ormas Islam, ulama dan aktivis kemanusiaan,” ujarnya.
Cakram fitnah masih ditujukan kepada Ustaz Bahtiar Nasir. Pada
1 Februari 2017 lalu, Ustaz Bachtiar bersama Habib Rizieq dan Munarman memenuhi
panggilan di Polda Metro Jaya sebagai saksi kasus makar sebelum Aksi Bela Islam
411 lalu. Terkait pertemuannya bersama para tersangka makar di Universitas Bung
Karno (UBK), Habib Rizieq menyatakan bahwa benar Rachmawati Soekarnoputri
pernah ke rumahnya dan sebaliknya. Namun sama sekali tidak membicarakan rencana
aksi makar. Sedangkan Ustaz Bachtiar Nasir mengakui hadir hanya untuk memenuhi
undangan panitia sebagai pembicara dalam acara haul Bung Karno.
Beberapa hari kemudian, tanggal 10 Februari 2017 Ustaz
Bachtiar Nasir memenuhi panggilan Bareskrim Polri sebagai saksi dugaan kasus
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yayasan Keadilan untuk Semua, yang
kebetulan dipakai untuk menampung sumbangan masyarakat dalam Aksi Bela Islam II
dan III. Namun Kapitra Ampera, Kuasa Hukum Ustaz Bachtiar Nasir menyangkal
dugaan itu dengan mengatakan bahwa Ustaz Bachtiar Nasir tidak ada hubungan
dengan Yayasan tersebut. “Dia bukan
pendiri, bukan pembina, bukan pengawas dan dia tidak masuk dalam struktur
kepengurusan yayasan”, terangnya kepada awak media.
MUI Disebut Anti Kebhinekaan
oleh Kapolri
Bukan hanya ke FPI dan Habib Rizieq sebagai sasaran utama
penyerangan, serangan juga ditujukan ke MUI. Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian
mengatakan kepada awak media bahwa Fatwa MUI disebut sebagai Anti Kebhinekaan. Tito
menilai fatwa MUI akhir-akhir ini berpotensi menimbulkan gangguan pada
stabilitas keamanan Nasional. Hal itu ia sampaikan dalam diskusi yang bertajuk
Fatwa MUI dan Hukum Positif di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 17
Januari 2017 lalu.
Tito yang saat
itu menjadi keynote speaker berpendapat
bahwa Fatwa larangan penggunaan atribut Natal bagi karyawan beragama Islam yang
kemudian memicu berbagai aksi dan tindakan kekerasan beberapa pihak yang
melakukan sosialisasi di ruang publik, menunjukan fatwa MUI bukan lagi dianggap
pandangan halal atau haram. Tapi belakangan menjadi ancaman bagi keberagaman
dan kebhinekaan.
Kasus lainnya,
Tito menyebut soal Fatwa MUI yang mengatakan Ahok menistakan Al Quran dan
ulama. Menurut Tito, Fatwa tersebut berpotensi menimbulkan gerakan mobilisasi
gerakan GNPF MUI. Serta memicu pembentukkan opini masyarakat yang kemudian
muncullah gerakan aksi 411 dan 212. Tito menilai aksi tersebut banyak
terpengaruh dari sikap MUI dalam beberapa fatwanya.
Selain itu, Tito
juga menegaskan bahwa fatwa MUI bukanlah hukum positif di Indonesia yang mutlak
harus ditegakkan. “Meski GNPF MUI
berhasil memobilisasi massa dalam aksi damai 212 dengan aman dan tanpa
kericuhan. Tapi aksi tersebut menunjukkan adanya gerakan yang mengarah pada
intoleransi yang bertentangan dengan semangat kebhinekaan. Meski aksi 212 aman,
tapi membuka wacana baru tergerusnya mainstream Islam, menaikkan transnasional
yang kurang pas dengan situasi kebhinekaan”, ujarnya.
Namun, KH. Ma’ruf
Amin Ketua Umum MUI Pusat menyayangkan sikap yang ditunjukkan Kapolri atas fatwa
yang dikeluarkan MUI terkait larangan memakai atribut Natal bagi karyawan
Muslim. KH. Ma’ruf Amin mengatakan seharusnya pihak kepolisian membantu
melaksanakan apa yang difatwakan MUI dalam rangka memberikan perlindungan dan
mencegah terjadinya pemaksaan-pemaksaan.
Ia juga menilai
sikap Kapolri berpotensi memicu terjadinya konflik yang justru merusak
kebhinekaan dan member kesan bahwa MUI tidak punya sikap toleransi dalam
beragama. “Memang fatwa MUI itu bukan
hukum positif, tetapi bisa dijadikan dasar untuk diregulasikan dan
dipositifisasi yang kemudian menjadi aturan yang formal. Bahkan kalau bisa
dijadikan aturan dalam undang-undang agar tidak terjadi konflik beragama dalam
masyarakat”, tuturnya.
*Note:
Sebagian besar kutipan diambil dari video Youtube dan suara-islam.com.
*Late Post