Rabu, 15 November 2017

Tuhan; Maaf Aku Salah Memahami-Mu


Niat lulus cepet biar cepet dapet kerja ternyata gak semulus yang direncanakan. Dulu, aku maksa Tuhan banget biar bisa lulus bulan Mei 2017. Tapi justru bermula dari paksaan itu lah ujian terberatnya. Adalah ketika kita sulit mencari alasan untuk bersyukur. Pada akhirnya, satu per satu keluhan mulai datang hingga menumpuk-numpuk di pikiran. Aku mendustakan nikmat Tuhan atas anugerah-Nya diberi kesempatan memakai toga lebih dulu dibanding teman-teman. Meskipun sebenarnya banyak sekali pengalaman, pelajaran, nikmat, ujian kesabaran dan tantangan yang aku dapat selama pencarian kerja ini. Meruginya, itu semua tidak juga mampu mendobrak hati untuk sekedar mengucap “Alhamdulillah”.

Maka mulai detik ini, setiap kali aku menginginkan sesuatu bahkan menginginkan seseorang, aku jera untuk memaksa Tuhan. Sekarang aku lebih suka memakai kalimat “Berikan yang terbaik, seseorang yang terbaik, di waktu yang terbaik”. Aku tidak akan mengatur-atur Tuhan lagi, karena bisa jadi Tuhan mengabulkan tapi dengan kemurkaan. Karena aku terlalu memaksa dan mengatur dalam berdoa, bisa jadi Tuhan justru memberi dengan cara melempar. Jika seperti itu, mana bisa aku meraih makna keberkahan; yang ada hanya keluhan dan kekufuran. 

Tiga tahun lalu, aku sempat memaksa Tuhan agar bisa bekerja di Badan Ekonomi Kreatif. Tapi aku melupakan itu sampai  pada suatu hari ketika aku mau mendaftar CPNS, tidak sengaja “kepencet” memilih Instansi Bekraf. Sungguh, ini benar-benar ketidaksengajaan karena aku berniat mendaftar di Instansi lain. Sejak kejadian janggal itu, aku mulai kepedean dengan Tuhan. Aku berfikir Tuhan ingin memberi kejutan untuk mengabulkan doaku tiga tahun lalu.

Aku terus belajar dengan keras, belajar lewat  simulasi CAT yang disediakan BKN. Disana setiap satu kali ujian ada 100 soal berbeda tentang Wawasan Kebangsaan, Intelegensia Umum dan Kepribadian. Terhitung aku melahap, memahami, mencatat sekaligus menghafal sebanyak 10x tes simulasi berarti setara dengan 1000 soal latihan. Tidak hanya itu, aku juga belajar dari Buku Panduan Tentang Soal CPNS.

Pernah suatu hari ketika kepala terasa amat penat, aku menangis dan melempar buku catatanku. Aku menangis karena merasa rapuh dan berat mengingat aku harus bersaing dengan 12.000 orang. Untuk membayangkannya saja berasa ingin muntah. Tapi seketika aku sadar dan meminta maaf kepada buku catatan yang aku lempar. Bagaimana pun juga di dalamnya ada ilmu pengetahuan. Lalu aku memotivasi diri bahwa dengan Tuhan membuatku berada di jalur menuju perjalanan ini, artinya semakin dekat aku dengan terkabulnya doa.

Ringkas cerita, aku ikut tes CPNS di Aula Hotel Bumi Kitri Bandung bersama ibu dan paman. Kami tiba 3 jam lebih awal. Waktu tes tiba, sungguh merasa sia-sia karena soal-soal dan materi yang aku pelajari tidak satu pun keluar. Tapi aku tetap mencoba mengerjakan 100 soal tersebut dengan cepat dan teliti dalam waktu 90 menit. Sampai tiba sisa waktu satu menit, aku sudah yakin dengan semua jawaban. Lalu aku klik “selesai” dan Alhamdulillah, di luar dugaan nilaiku di atas Passing Grade yaitu 339 (TWK: 75, TIU: 105, dan TKP: 159).

Aku bahagia luar biasa. Aku berfikir Tuhan betul-betul tidak mengecewakan doaku. Lalu kami pulang ke Bogor dengan suka cita. Sampai tiba hari pengumuman selanjutnya, hatiku sangat terpukul dan kecewa karena yang berhak ikut ke tahap selanjutnya (Psikotes dan Kesehatan) adalah 8 orang dengan nilai tertinggi. Aku dan 157 orang lainnya tersaring seperti butiran debu yang tidak berarti.

Pelajarannya bukan pada gagalnya. Tapi maukah kita mengambil hikmah? Karena pada posisi terjepit itulah Tuhan ingin kita membuktikan bahwa kita harus Ridho dengan segala ketentuan-Nya. Selalu ada, akan selalu ada, pasti ada, alasan untuk kita bersyukur. Yaitu dari ribuan orang yang ikut tes, seharusnya aku bersyukur bisa masuk 165 besar yang nilainya memenuhi walaupun tidak ikut tahap berikutnya. Tapi lagi-lagi, aku gagal mencari celah untuk bersyukur.

Aku sibuk patah hati kepada Tuhan. Aku merasa kecewa berat, bahkan hidup seperti sangat menyesakkan dada. Semua seperti menghimpit, kecil dan tidak berguna. Benang merahnya ialah bukan tidak boleh berharap penuh kepada Tuhan. Tapi sikap merendah dan pasrah di depan Tuhan itu yang paling penting. Selama ini, Tuhan tidak pernah sama sekali atau sekali pun mengecewakanku. Tapi satu kali Tuhan tidak mengabulkan keinginan, aku bisa begitu marah luar biasa. Sungguh, aku sangat malu dengan sikap angkuh yang demikian.


Maka Tuhan, dengan segala kerendahan diri ini, aku memohon ampun dan maafmu. Maaf atas segala keangkuhan yang tidak berhak. Maaf untuk kemarahan yang tidak semestinya. Untuk setiap detak dan detik yang Engkau beri, sungguh kuatkanlah hati ini agar tetap beriman. Tetap mencintai-Mu seburuk apapun keadaanku, seberat apapun ujian yang menimpa. Tuhan, jangan biarkan aku salah memahami-Mu. Sungguh berikan segala kebaikan dan pengertian kepadaku bahwa setiap nafas hidup dan matiku hanya untuk-Mu. 

Bogor, 14 November 2017

Plus Minus Mutasi Anak ke Pesantren


Tidak selalu yang masuk pesantren itu adalah anak-anak nakal yang susah diatur orang tua. Mereka juga kebanyakan ialah anak-anak yang begitu ditakutkan terwarnai pergaulan dan lingkungan yang dirasa kurang baik. Oleh karenanya, para orang tua berbondong-bondong mengirim anaknya masuk pesantren. Tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa pesantren adalah wadah terbaik pencetak calon-calon ulama, mubaligh atau mubalighah. Sisanya mungkin banyak alasan di balik itu semua.

Sebagai salah satu anak yang pernah mengunyah manis pahitnya didikan pesantren, penulis merasa ingin berbagi rasa khususnya kepada para orang tua yang terbesit untuk memutasi anaknya ke pesantren. Pertama, pastikan apakah anak anda siap menghadapi pergolakan batin ketika mereka harus berpisah dari orang tua mereka untuk bertahun-tahun?

Tepat tanggal 24 Juli 2008 lalu, saya dan adik saya yang terpaut usia 3 tahun yang saat itu ia baru lulus Sekolah Dasar; harus merasakan goncangan jiwa yang sangat dahsyat. Hari dimana kita harus tinggal di luar kota dan jauh dari orang tua. Saat itu, qadarullah ibu saya tidak bisa mengantar kita ke tempat tinggal baru. Sebut saja pesantren sebagai tempat tinggal baru, karena kita akan betul-betul bernafas disana dengan tujuan menuntut ilmu. Ketika itu Ibu kami hanya bisa mengantar sampai ke terminal, sedangkan kita berdua diantar oleh paman sampai tujuan.

Tidak sampai satu menit saat bis mulai berjalan, saya memandang ibu dari jendela lalu berpaling. Apa yang saya lakukan? Tidak banyak. Saya hanya menggenggam wajah dengan kedua tangan. Sampai bis berjalan stabil dan mesinnya berbunyi keras, lalu saya menangis keras; suaranya nyaris menyaingi bunyi mesin. Hati terasa sangat mendidih. Sepanjang perjalanan hanya menangis. Kebetulan saya duduk tepat di belakang supir. Sesekali saya mengintip adik saya yang duduk di belakang saya, dari kaca spion tengah. Ia terlihat baik-baik saja dengan aura laki-laki yang tegar, walau saya yakin gejolak batin pasti ada.

Penulis tidak bisa menceritakan secara detail setiap jengkal yang harus kami lalui selama bertahun-tahun lamanya di pesantren, kecuali hanya garis besarnya. Kami yakin orang tua mengirim anaknya ke pesantren dengan alasan kemandirian. Agar anak tumbuh mandiri dan disiplin. Karena kita semua tahu, di pesantren setiap menit yang ada pasti terjadwal rapi. Mulai bangun tidur, shalat berjamaah, masuk kelas, makan, mandi dan seterusnya semua berpacu pada “bunyi bel”. Memang terbayang sangat monoton dan itulah tantangan yang harus kami hadapi. Belum lagi setiap aturan ketat sepaket dengan hukuman bagi yang melanggar. Pelajaran yang kami terima juga tulisannya keriting semua, Bahasa Arab. Kami merangkak dalam belajar karena Bahasa Arab masih terlalu asing di otak. Tidak sampai disitu, kami juga harus berusaha keras dalam menghafal. Karena selain dipahami, semua pelajaran wajib dihafal.

Kehidupan pesantren, tidak selalu pedih. Banyak kebahagiaan yang sangat mengesankan bagi kami. Salah satunya adalah ukhuwah. Kami yang satu sama lain jauh dari orang tua dan keluarga mulai beradaptasi sampai akhirnya saling mengisi. Hubungan kami satu sama lain lebih erat dari tali mati, lebih kental dan manis dari madu. Jika ada yang menangis, yang lainnya memberi pelukan. Kami pantang makan duluan, ketika perut yang lain lapar. Kami berbagi air mata juga tawa dalam satu lingkup yang notabene bukan darah keluarga. Kami tidur satu kamar dan tidak sedikit pun bosan walau yang kami lihat 4L “Lu Lagi Lu Lagi”.

Mulanya, kami menilai diperlakukan seperti robot yang harus patuh pada “bel”, tapi lama kelamaan, kami selalu selangkah lebih awal dari bunyinya. Lama-lama kami terbiasa. Lama-lama kami akrab dengan waktu. Lama-lama kami menikmati indahnya menghafal Hadits, Sharaf, Nahwu, Muthalaah dan bayak lagi. Mulanya, kami selalu ingat orang tua, menangis lagi menangis terus. Lama-lama kami terbiasa. Lama-lama kami melupakan mereka, kecuali dalam bait sajak doa. Ketika waktu liburan tiba, yang kami takutkan ialah perpisahan. Karena tidak sedikit, liburan ini dimanfaatkan oleh teman-teman yang tidak betah sebagai aji mumpung “gak balik lagi”.  Berbalik 180 derajat, setelah sampai rumah kami justru sedikit canggung dan merasa asing dengan keluarga juga sekitar. Kami justru merindukan pondok pesantren tercinta. Kami menjadi tidak betah di rumah.

Kedua, Ini hanya pandangan penulis. Seorang anak sungguh membutuhkan dekapan orang tuanya, terutama ibu. Seorang anak yang dididik dan diasuh di rumah bersama kehangatan keluarga tentu tidak akan kehausan kasih sayang. Walau bagaimana pun, cinta keluarga adalah surga dunia. Ia adalah motivasi terhebat yang pernah ada di planet manapun. Namun pertanyaannya, mampukah orang tua menjaga mereka dari lingkungan dan pergaulan bebas saat ini? Tentu, tidak sedikit orang tua yang tidak percaya diri mampu mengemban amanah dunia akhirat untuk membesarkan anaknya dengan baik terutama dalam ilmu agama. Lalu mereka mengoper amanah itu ke dalam wadah pendidikan pesantren. Boleh saja, tapi pesantren yang mana dulu? Alangkah baiknya orang tua menilai bibit, bobot, bebetnya dulu. Karena pada dasarnya, seorang anak setelah selesai dididik di pesantren; (kasarnya) pesantren itu tinggal “cuci tangan”. Amanah kembali dioper kepada keluarga. Ketika sang anak dan orang tua memang betul-betul siap lahir dan batin, silahkan melanjutkan pilihan anda. Namun jika ternyata anak bersikeras tidak mau, maka jangan dipaksa. Berarti, amanah tetap orang tua yang tanggung. Bukankah seiring pilihan selalu ada resiko?


Biasanya, setelah lulus jadi santri pun, masyarakat akan memandang “wah” kepada santri. Ini juga yang kelak menjadi beban dan tanggung jawab moral kami di lingkungan. Suatu hari, ketika saya berada di kampus, hobi saya mengamati orang semakin terasah. Banyak mahasiswa/i yang aura santrinya masih terpancar sampai sekarang. Tapi, tidak sedikit lulusan santri *termasuk saya justru tidak jauh lebih baik kelihatannya dari mereka yang sekolah Umum. Mulai dari pakaian, akhlak dan perilakunya. Atau mungkin kami semua hanya terbawa suasana dengan tuntutan teladan dan keistimewaan. Ada rasa malu tersendiri dalam benak, yang kadang menyingkirkan kenyataan bahwa santri juga “manusia”.  

Bogor, 10 November 2017

Pages - Menu