Tidak selalu yang masuk pesantren itu adalah anak-anak nakal
yang susah diatur orang tua. Mereka juga kebanyakan ialah anak-anak yang begitu
ditakutkan terwarnai pergaulan dan lingkungan yang dirasa kurang baik. Oleh
karenanya, para orang tua berbondong-bondong mengirim anaknya masuk pesantren.
Tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa pesantren adalah wadah terbaik
pencetak calon-calon ulama, mubaligh atau mubalighah. Sisanya mungkin banyak
alasan di balik itu semua.
Sebagai salah satu anak yang pernah mengunyah manis pahitnya
didikan pesantren, penulis merasa ingin berbagi rasa khususnya kepada para
orang tua yang terbesit untuk memutasi anaknya ke pesantren. Pertama, pastikan apakah anak anda siap
menghadapi pergolakan batin ketika mereka harus berpisah dari orang tua mereka
untuk bertahun-tahun?
Tepat tanggal 24 Juli 2008 lalu, saya dan adik saya yang
terpaut usia 3 tahun yang saat itu ia baru lulus Sekolah Dasar; harus merasakan
goncangan jiwa yang sangat dahsyat. Hari dimana kita harus tinggal di luar kota
dan jauh dari orang tua. Saat itu, qadarullah ibu saya tidak bisa mengantar
kita ke tempat tinggal baru. Sebut saja pesantren sebagai tempat tinggal baru,
karena kita akan betul-betul bernafas disana dengan tujuan menuntut ilmu.
Ketika itu Ibu kami hanya bisa mengantar sampai ke terminal, sedangkan kita berdua
diantar oleh paman sampai tujuan.
Tidak sampai satu menit saat bis mulai berjalan, saya
memandang ibu dari jendela lalu berpaling. Apa yang saya lakukan? Tidak banyak.
Saya hanya menggenggam wajah dengan kedua tangan. Sampai bis berjalan stabil
dan mesinnya berbunyi keras, lalu saya menangis keras; suaranya nyaris
menyaingi bunyi mesin. Hati terasa sangat mendidih. Sepanjang perjalanan hanya
menangis. Kebetulan saya duduk tepat di belakang supir. Sesekali saya mengintip
adik saya yang duduk di belakang saya, dari kaca spion tengah. Ia terlihat
baik-baik saja dengan aura laki-laki yang tegar, walau saya yakin gejolak batin
pasti ada.
Penulis tidak bisa menceritakan secara detail setiap jengkal
yang harus kami lalui selama bertahun-tahun lamanya di pesantren, kecuali hanya
garis besarnya. Kami yakin orang tua mengirim anaknya ke pesantren dengan
alasan kemandirian. Agar anak tumbuh mandiri dan disiplin. Karena kita semua
tahu, di pesantren setiap menit yang ada pasti terjadwal rapi. Mulai bangun
tidur, shalat berjamaah, masuk kelas, makan, mandi dan seterusnya semua berpacu
pada “bunyi bel”. Memang terbayang sangat monoton dan itulah tantangan yang
harus kami hadapi. Belum lagi setiap aturan ketat sepaket dengan hukuman bagi
yang melanggar. Pelajaran yang kami terima juga tulisannya keriting semua,
Bahasa Arab. Kami merangkak dalam belajar karena Bahasa Arab masih terlalu
asing di otak. Tidak sampai disitu, kami juga harus berusaha keras dalam
menghafal. Karena selain dipahami, semua pelajaran wajib dihafal.
Kehidupan pesantren, tidak selalu pedih. Banyak kebahagiaan
yang sangat mengesankan bagi kami. Salah satunya adalah ukhuwah. Kami yang satu sama lain jauh dari orang tua dan keluarga
mulai beradaptasi sampai akhirnya saling mengisi. Hubungan kami satu sama lain
lebih erat dari tali mati, lebih kental dan manis dari madu. Jika ada yang
menangis, yang lainnya memberi pelukan. Kami pantang makan duluan, ketika perut
yang lain lapar. Kami berbagi air mata juga tawa dalam satu lingkup yang
notabene bukan darah keluarga. Kami tidur satu kamar dan tidak sedikit pun
bosan walau yang kami lihat 4L “Lu Lagi Lu Lagi”.
Mulanya, kami menilai diperlakukan seperti robot yang harus
patuh pada “bel”, tapi lama kelamaan, kami selalu selangkah lebih awal dari
bunyinya. Lama-lama kami terbiasa. Lama-lama kami akrab dengan waktu. Lama-lama
kami menikmati indahnya menghafal Hadits, Sharaf, Nahwu, Muthalaah dan bayak
lagi. Mulanya, kami selalu ingat orang tua, menangis lagi menangis terus.
Lama-lama kami terbiasa. Lama-lama kami melupakan mereka, kecuali dalam bait
sajak doa. Ketika waktu liburan tiba, yang kami takutkan ialah perpisahan.
Karena tidak sedikit, liburan ini dimanfaatkan oleh teman-teman yang tidak
betah sebagai aji mumpung “gak balik lagi”. Berbalik 180 derajat, setelah sampai rumah
kami justru sedikit canggung dan merasa asing dengan keluarga juga sekitar.
Kami justru merindukan pondok pesantren tercinta. Kami menjadi tidak betah di
rumah.
Kedua, Ini hanya pandangan penulis.
Seorang anak sungguh membutuhkan dekapan orang tuanya, terutama ibu. Seorang
anak yang dididik dan diasuh di rumah bersama kehangatan keluarga tentu tidak
akan kehausan kasih sayang. Walau bagaimana pun, cinta keluarga adalah surga
dunia. Ia adalah motivasi terhebat yang pernah ada di planet manapun. Namun
pertanyaannya, mampukah orang tua menjaga mereka dari lingkungan dan pergaulan
bebas saat ini? Tentu, tidak sedikit orang tua yang tidak percaya diri mampu mengemban
amanah dunia akhirat untuk membesarkan anaknya dengan baik terutama dalam ilmu
agama. Lalu mereka mengoper amanah itu ke dalam wadah pendidikan pesantren. Boleh
saja, tapi pesantren yang mana dulu? Alangkah baiknya orang tua menilai bibit,
bobot, bebetnya dulu. Karena pada dasarnya, seorang anak setelah selesai
dididik di pesantren; (kasarnya) pesantren itu tinggal “cuci tangan”. Amanah
kembali dioper kepada keluarga. Ketika sang anak dan orang tua memang betul-betul
siap lahir dan batin, silahkan melanjutkan pilihan anda. Namun jika ternyata
anak bersikeras tidak mau, maka jangan dipaksa. Berarti, amanah tetap orang tua
yang tanggung. Bukankah seiring pilihan selalu ada resiko?
Biasanya, setelah lulus jadi santri pun, masyarakat akan
memandang “wah” kepada santri. Ini juga yang kelak menjadi beban dan tanggung
jawab moral kami di lingkungan. Suatu hari, ketika saya berada di kampus, hobi
saya mengamati orang semakin terasah. Banyak mahasiswa/i yang aura santrinya
masih terpancar sampai sekarang. Tapi, tidak sedikit lulusan santri *termasuk
saya justru tidak jauh lebih baik kelihatannya dari mereka yang sekolah Umum.
Mulai dari pakaian, akhlak dan perilakunya. Atau mungkin kami semua hanya
terbawa suasana dengan tuntutan teladan dan keistimewaan. Ada rasa malu
tersendiri dalam benak, yang kadang menyingkirkan kenyataan bahwa santri juga “manusia”.
Bogor, 10 November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar