Rabu, 15 November 2017

Plus Minus Mutasi Anak ke Pesantren


Tidak selalu yang masuk pesantren itu adalah anak-anak nakal yang susah diatur orang tua. Mereka juga kebanyakan ialah anak-anak yang begitu ditakutkan terwarnai pergaulan dan lingkungan yang dirasa kurang baik. Oleh karenanya, para orang tua berbondong-bondong mengirim anaknya masuk pesantren. Tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa pesantren adalah wadah terbaik pencetak calon-calon ulama, mubaligh atau mubalighah. Sisanya mungkin banyak alasan di balik itu semua.

Sebagai salah satu anak yang pernah mengunyah manis pahitnya didikan pesantren, penulis merasa ingin berbagi rasa khususnya kepada para orang tua yang terbesit untuk memutasi anaknya ke pesantren. Pertama, pastikan apakah anak anda siap menghadapi pergolakan batin ketika mereka harus berpisah dari orang tua mereka untuk bertahun-tahun?

Tepat tanggal 24 Juli 2008 lalu, saya dan adik saya yang terpaut usia 3 tahun yang saat itu ia baru lulus Sekolah Dasar; harus merasakan goncangan jiwa yang sangat dahsyat. Hari dimana kita harus tinggal di luar kota dan jauh dari orang tua. Saat itu, qadarullah ibu saya tidak bisa mengantar kita ke tempat tinggal baru. Sebut saja pesantren sebagai tempat tinggal baru, karena kita akan betul-betul bernafas disana dengan tujuan menuntut ilmu. Ketika itu Ibu kami hanya bisa mengantar sampai ke terminal, sedangkan kita berdua diantar oleh paman sampai tujuan.

Tidak sampai satu menit saat bis mulai berjalan, saya memandang ibu dari jendela lalu berpaling. Apa yang saya lakukan? Tidak banyak. Saya hanya menggenggam wajah dengan kedua tangan. Sampai bis berjalan stabil dan mesinnya berbunyi keras, lalu saya menangis keras; suaranya nyaris menyaingi bunyi mesin. Hati terasa sangat mendidih. Sepanjang perjalanan hanya menangis. Kebetulan saya duduk tepat di belakang supir. Sesekali saya mengintip adik saya yang duduk di belakang saya, dari kaca spion tengah. Ia terlihat baik-baik saja dengan aura laki-laki yang tegar, walau saya yakin gejolak batin pasti ada.

Penulis tidak bisa menceritakan secara detail setiap jengkal yang harus kami lalui selama bertahun-tahun lamanya di pesantren, kecuali hanya garis besarnya. Kami yakin orang tua mengirim anaknya ke pesantren dengan alasan kemandirian. Agar anak tumbuh mandiri dan disiplin. Karena kita semua tahu, di pesantren setiap menit yang ada pasti terjadwal rapi. Mulai bangun tidur, shalat berjamaah, masuk kelas, makan, mandi dan seterusnya semua berpacu pada “bunyi bel”. Memang terbayang sangat monoton dan itulah tantangan yang harus kami hadapi. Belum lagi setiap aturan ketat sepaket dengan hukuman bagi yang melanggar. Pelajaran yang kami terima juga tulisannya keriting semua, Bahasa Arab. Kami merangkak dalam belajar karena Bahasa Arab masih terlalu asing di otak. Tidak sampai disitu, kami juga harus berusaha keras dalam menghafal. Karena selain dipahami, semua pelajaran wajib dihafal.

Kehidupan pesantren, tidak selalu pedih. Banyak kebahagiaan yang sangat mengesankan bagi kami. Salah satunya adalah ukhuwah. Kami yang satu sama lain jauh dari orang tua dan keluarga mulai beradaptasi sampai akhirnya saling mengisi. Hubungan kami satu sama lain lebih erat dari tali mati, lebih kental dan manis dari madu. Jika ada yang menangis, yang lainnya memberi pelukan. Kami pantang makan duluan, ketika perut yang lain lapar. Kami berbagi air mata juga tawa dalam satu lingkup yang notabene bukan darah keluarga. Kami tidur satu kamar dan tidak sedikit pun bosan walau yang kami lihat 4L “Lu Lagi Lu Lagi”.

Mulanya, kami menilai diperlakukan seperti robot yang harus patuh pada “bel”, tapi lama kelamaan, kami selalu selangkah lebih awal dari bunyinya. Lama-lama kami terbiasa. Lama-lama kami akrab dengan waktu. Lama-lama kami menikmati indahnya menghafal Hadits, Sharaf, Nahwu, Muthalaah dan bayak lagi. Mulanya, kami selalu ingat orang tua, menangis lagi menangis terus. Lama-lama kami terbiasa. Lama-lama kami melupakan mereka, kecuali dalam bait sajak doa. Ketika waktu liburan tiba, yang kami takutkan ialah perpisahan. Karena tidak sedikit, liburan ini dimanfaatkan oleh teman-teman yang tidak betah sebagai aji mumpung “gak balik lagi”.  Berbalik 180 derajat, setelah sampai rumah kami justru sedikit canggung dan merasa asing dengan keluarga juga sekitar. Kami justru merindukan pondok pesantren tercinta. Kami menjadi tidak betah di rumah.

Kedua, Ini hanya pandangan penulis. Seorang anak sungguh membutuhkan dekapan orang tuanya, terutama ibu. Seorang anak yang dididik dan diasuh di rumah bersama kehangatan keluarga tentu tidak akan kehausan kasih sayang. Walau bagaimana pun, cinta keluarga adalah surga dunia. Ia adalah motivasi terhebat yang pernah ada di planet manapun. Namun pertanyaannya, mampukah orang tua menjaga mereka dari lingkungan dan pergaulan bebas saat ini? Tentu, tidak sedikit orang tua yang tidak percaya diri mampu mengemban amanah dunia akhirat untuk membesarkan anaknya dengan baik terutama dalam ilmu agama. Lalu mereka mengoper amanah itu ke dalam wadah pendidikan pesantren. Boleh saja, tapi pesantren yang mana dulu? Alangkah baiknya orang tua menilai bibit, bobot, bebetnya dulu. Karena pada dasarnya, seorang anak setelah selesai dididik di pesantren; (kasarnya) pesantren itu tinggal “cuci tangan”. Amanah kembali dioper kepada keluarga. Ketika sang anak dan orang tua memang betul-betul siap lahir dan batin, silahkan melanjutkan pilihan anda. Namun jika ternyata anak bersikeras tidak mau, maka jangan dipaksa. Berarti, amanah tetap orang tua yang tanggung. Bukankah seiring pilihan selalu ada resiko?


Biasanya, setelah lulus jadi santri pun, masyarakat akan memandang “wah” kepada santri. Ini juga yang kelak menjadi beban dan tanggung jawab moral kami di lingkungan. Suatu hari, ketika saya berada di kampus, hobi saya mengamati orang semakin terasah. Banyak mahasiswa/i yang aura santrinya masih terpancar sampai sekarang. Tapi, tidak sedikit lulusan santri *termasuk saya justru tidak jauh lebih baik kelihatannya dari mereka yang sekolah Umum. Mulai dari pakaian, akhlak dan perilakunya. Atau mungkin kami semua hanya terbawa suasana dengan tuntutan teladan dan keistimewaan. Ada rasa malu tersendiri dalam benak, yang kadang menyingkirkan kenyataan bahwa santri juga “manusia”.  

Bogor, 10 November 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu