Selasa, 10 Februari 2015

“Memberi Makna Pada Karya” Oleh: Akmal Sjafril


 
Akmal Sjafril
Verba Volant, Scripta Manent
Yang Terucap Menguap, Yang Tertulis Abadi

Bismillahirrahmanirrahim…Pada awal pertemuan Forum Lingkar Pena, kami diberi kesempatan untuk merenggut ilmu dari seorang Akmal Sjafril. Sungguh pengalaman emas bisa bertatap muka dengan beliau. Tertanggal 11 Mei 2014, di Ruang IKK IPB semua itu berlangsung. Ternyata sudah 8 bulan yang lalu pemirsah! Walaupun sudah cukup lama, InsyaAllah kalau yang namanya ilmu itu tidak mengenal alot. J *asiiik.

Penulis aliran non fiksi yang memulai karirnya dari blog ini, sungguh mengagumkan. Beliau mampu membuat 700 artikel di blog hanya dalam jangka 5 tahun. Karena sesungguhnya tidak ada yang namanya keajaiban. Segala sesuatunya butuh usaha yang berdarah-darah. Tidak ada yang instant. Satu hal yang membuat kami tertawa terpingkal saat beliau dengan gaya santainya mengatakan, “Jangan pernah mengharapkan keajaiban. Baru membuat 1 novel saja tapi ekspektasinya ingin langsung terkenal seperti Asma Nadia.” J

Memberi makna pada karya. Itulah tema yang beliau sampaikan pada hadirin. Beliau mengurai silsilah sederhana namun sarat makna. Bahwa asal muasal sebuah karya adalah Iman. Dan kita semua tahu bahwa definisi Iman adalah diyakini oleh hati, diucapkan oleh lisan, dan dibuktikan lewat perbuatan. Nah, banyak sekali poin-poin dari cabang perbuatan diantaranya adalah karya tulis. Menurut beliau karya tulis yang baik adalah yang sejalan dengan keyakinan, iman. Adapun mekanisme lahirnya sebuah karya adalah banyaknya observasi dan analisis. Yang kemudian itu semua akan menentukan kuantitas output (hasil).

Untuk wilayah tulisan nonfiksi, beliau menekankan agar sebanyak-banyaknya kita mengumpulkan referensi. Artinya, kita harus banyak membaca. Dengan itu otomatis analisis kita akan berkembang dan semakin kaya. Tapi sebenarnya ini berlaku untuk semua wilayah tulisan. Jika genremu adalah menulis fiksi seperti novel, cerpen, puisi, dan lain-lain, membaca akan selalu dibutuhkan. Bahkan itu yang akan menjadi tolak ukur kualitas tulisan kamu nantinya. Penulis yang akrab disapa Kang Akmal tersebut, menyatakan bahwa jika kau ingin menjadi penulis yang baik, maka jadilah pembaca yang rakus. Bahkan bagi yang belum mengenal apa sih  passion kamu itu? Hanya dengan banyak membaca lah, InsyaAllah bisa kamu temukan. Pun dengan rakus membaca, semakin lama feeling kita akan terasah.

Next. Iringilah membaca dengan menulis. Ibarat membaca adalah makan, maka menulis itu adalah buang air besar. Keduanya wajib dilakukan guys! Bahkan menulis menurut sebagian orang adalah suatu terapi yang membahagiakan. Menulis bisa mengurangi seseorang dari rasa stress. Tapi….apa siii, yang mesti kita tulis itu? Beliau mengatakan bahwa menulislah sesuai passion yang kamu miliki. Pun jika kamu bertanya seperti tadi, maka jawabannya adalah semua tergantung dari bacaan kamu. Karena ibarat sebuah wadah, maka ia tidak akan bisa menuangkan yang bukan isinya. Kang Akmal juga mengingatkan untuk menancapkan motivasi terbesar kita sebagai penulis muslim ialah untuk mewariskan ilmu.

Janganlah menulis sesuatu yang kamu tidak peduli akan hal itu. Atau jangan pula menulis sesuatu yang orang lain sudah tahu. Carilah angel atau sudut pandang yang menarik. Temukanlah gayamu dalam menulis nonfiksi, apakah passionmu itu menggunakan gaya emosional atau ilmiah? Keduanya sah-sah saja asalkan kamu tetap konsisten dengan gaya itu. J

Bagi kamu yang masih bingung untuk memulai menulis, mulailah dengan memanfaatkan media sosial yang saat ini kian menjamur. Motivasikan dirimu menulis untuk menyampaikan sesuatu. Dan perlu kita garis bawahi bahwa jangan pernah kita menulis karena motivasi uang. Anggaplah  itu hanya bonus dan bukan sebuah prioritas. Hm….banyak sekali ternyata pesan-pesan beliau itu yaaa. Oiya. Terakhir beliau menyampaikan bahwa keliru jika seorang penulis itu selalu identik dengan plagiat atau jiplak. Kita mesti membedakan antara plagiat dan terinspirasi. Plagiat mutlak harus dihindari. Sedangkan terinspirasi itu tidak bisa dicegah. Karena pada hakikatnya kita tidak bisa menciptakan. J

Ada satu kata mutiara lagi sebagai penutup tulisan ini.“Berhentilah menjadi orang awam, karena kita adalah pembelajar dan pengamat sejati.” -Kang Akmal Sjafril-

Sekian dan terima cinta… J
Wassalam.

                                                                  


Serunya Mengenal Sastra Bersama Helvy Tiana Rosa

Helvy Tiana Rosa


“Sastra dan Pembentukan Karakter” Part 2

Assalamualaikum teman-temanku sayang J. Hehe..agak lebay ya. Kabar gembira untuk kita semua saat ini kita kedatangan Mbak Helvy Tiana Rosa. Beliau adalah seorang sastrawan perempuan Indonesia sekaligus pendiri Forum Lingkar Pena. Beliau bergelut di dunia sastra sudah cukup lama. Adiknya, Mbak Asma Nadia adalah seorang penulis juga. Karya-karyanya pasti teman-teman tahu laah. Bahkan beberapa sudah difilmkan. J

Oiya. Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Karena pembicara ada dua, sengaja aku buat terpisah. Agar aku dan kamu bisa fokus. *Asik. Aku dan kamu. Hm….Sebenarnya, jari-jariku slow emotion banget lompat-lompat di atas toots notebook ini. Yaaah. Gak ada yang nanya knapa ya? Oke aku bocorkan deh mau tahu atau gak. Pada saat seminar berlangsung bersama Mbak Helvy, hadirin tiba-tiba disuruh berdiri. Dag dig dig jantungku berdegup. Kami dipaksa oleh Mbak Helvy untuk sama-sama mengucapkan janji. Aku menggigit bibir biar mingkem. Tapi tanpa disengaja mulutku ikut mangap-mangap dengan yang lain. Mengikuti kata-kata Mbak Helvy. Persis seperti seorang guru mengeja lalu diikuti murid-muridnya yang masih lugu dengan hidung yang mengalir dua air terjun.  Oh tidak. Sungguh Tuhan, mulut kami benar-benar dipaksa berikrar di hadapan-Mu untuk membuat minimal 1 karya buku sebelum mati. Ini sungguh berat. Tubuhku lemas. Setelah kuucap janji itu, dalam hati aku komat-kamit, “InsyaAllah Ya Allah. InsyaAllah Ya Allah, aku gak janji”. *Sambil harap-harap cemas malaikat menghapus janjiku tadi. Tapi ya sudahlah. Mudah-mudahan bisa menjadi doa yang baik. Satu dua tiga Aamiin.

Oke cus. Diawali dengan bahasan seputar Bahasa Indonesia. Menurut beliau Bahasa Indonesia itu kian dimarginalkan di sekolah-sekolah. Aku setuju. Apalagi dengan kehadiran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia semakin dianak tirikan. Sehingga pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling tidak menarik. Yang ini aku tidak setuju. Karena aku sangat suka Bahasa Indonesia, sampai-sampai pelajaran Matematika merasa cemburu padanya. Padahal menurutku tidak perlu secemburu itu, toh aku tetap belajar keduanya sampai sekolah menengah ke atas. Loh? Bagaimana mungkin bisa menarik bagi semua orang, kalau dari TK sampai SMA yang selalu diajarkan ketika awal menulis cerita adalah kata-kata “Pada suatu hari”, “Dahulu kala” dan kata-kata jadul lainnya. Ini sama sekali tidak kreatif! Aku mengangguk. Yang ini baru aku setuju.

Sosok sastrawan yang sangat melekat pada diri beliau, membuat kami sangat terkesima. Beliau berkali-kali mengajak hadirin untuk menyukai sastra. Dan salah satu kuncinya adalah kemampuan kita dalam berbahasa. Salah satu pintunya adalah dengan menyukai Bahasa Indonesia. Lalu bagaimana jadinya jika Bahasa Indonesia sudah tidak menarik lagi bagi anak-anak pertiwi? Tentu matematika akan loncat-loncat kegirangan karena tak punya saingan. Eeh? Bukan itu! Tapi pasti akan semakin merosotnya nilai-nilai sastra di Negeri kita. Sastra bisa punah. Padahal Umar Bin Khatab pernah berkata, “Ajarkanlah sastra pada anak-anak kalian, agar mereka tidak menjadi pengecut.”

Lalu agar kita memiliki kemampuan dalam berbahasa, maka kita harus gemar membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Beliau juga mewasiatkan pada kami, jadilah apa saja tapi yang sastrawan. Tapi beliau juga sangat menyayangkan orang-orang yang merendahkan harga diri sastra. Segelintir orang bahkan mengatakan orang-orang sastra itu *maaf, penampilannya yang kurang rapi, rambut gondrong lah de el el. Padahal beliau mengatakan dengan lantang bahwa orang yang suka seni dan sastra, mereka lebih peka perasaannya, lebih lembut. Ciyee.. Halo anak sastra mana suaranyaa… J.

Hm… Sepertinya dicukupkan sampai disini. Karena memang durasi Mbak Helvy berbicara itu dirasa sangat singkat. Mudah-mudahan beliau semakin istiqamah dalam menulis. Dimudahkan segala urusannya. Aamiin. J

Terima Kasih.. J
Eh.. Kata Mbak Helvy ada bahasa orang sastra dari kata terima kasih. Yaitu…….

“Terima Cinta…. J”. Yuk ah mulai sekarang ganti. J



Ngaji Sastra Bareng M. Syafi’ie El-Bantani

 M. Syafi’ie El-Bantani

“Sastra dan Pembentukan Karakter” Part 1
Bismillahirrahmanirrahim..

Selamat datang di label baru “Pengajian Sastra”. Di ruangan ini, aku berniat menumpahkan ilmu dan pengetahuan yang aku dapat dari hasil ikut workshop kepenulisan, seminar, atau diskusi. InsyaAllah teman-teman akan sedikitnya tahu tentang hal-hal yang menyangkut kepenulisan. Daripada aku endapkan semua catatan di buku, aku berfikir mungkin akan lebih baik  dishare disini. Mudah-mudahan bermanfaat buat kita semua Aamiin. Oya, kalau ada yang mau sharing,  mengkritik de el el, monggo.. J.

Oke, kali ini aku akan coba share hasil tulisan dari acara pengajian sastra yang dibawakan oleh M. Syafi’ie El-Bantani pada 26 Oktober 2014 di  Ruang TPAI Masjid Al Ghifari Bogor. Dengan tema “Sastra dan Pembentukan Karakter”. Langsung aja yuuu. *Cuuuusss.. :D
           
Penulis 43 buku dan Master Trainer tersebut lebih suka tulisan non fiksi lhoo. (*Uhuk. Jadi merasa berjodoh :p hehe). Kalau aku ingat-ingat cara beliau berbicara di depan podium, beuuuh mantap markutap! Ucapannya jelas dan padat. Beliau hanya berbicara sekitar 15-20 menit, pokoknya kita akan dibuat terkesima. Kalau anak SD yang denger, bisa dibuat mangap tuh! sambil ileran gitu. Yup! Saking kita dibuat mengerjap-ngerjap. Tidak ada waktu untuk melirik pesan masuk di handphone, *Kayak ada yang sms aja. Hhe..Yang ada di fikiran kita, eh (baca: ku) adalah mencuri sedetik saja pandangannya yang subhanallah tampan sekali kata-katanya. J Hhehe…

Beliau berwasiat kepada hadirin, dalam menulis alangkah baiknya bahasa yang kita gunakan adalah bahasa yang tidak memvonis, menghukum, atau menggugat. Janganlah menulis seperti menghakimi. Ibarat pendosa yang ketika kau suguhkan tulisanmu, maka kau mampu membuatnya untuk tidak menyerah akan Rahmat Allah. Karena isi tulisanmu, bukanlah deretan pasal gugatan seorang korban kepada terdakwa tindak kriminal. Melainkan tulisan yang mampu memberikan harapan pada setiap orang.

Karena perlu seorang penulis tahu, bahwa ada dua motivasi seseorang untuk berubah. Yang pertama karena neraka yang ia takuti, dan kedua karena surga yang penuh dengan harapan. Maka beliau berpendapat bahwa cara kedua lah yang lebih efektif untuk menyentuh relung hati sang pembaca. Yaitu dengan memakai pendekatan basyiran atau pendekatan kegembiraan dan “harapan”. Walaupun keduanya juga penting.  Bagaimana caranya kita menumbuhkan harapan pembaca ketika ia merasa berdosa. Jangan terus-terusan kita tendang pembaca dengan ancaman atas dosa atau kesalahannya. Mereka bisa kabur dan terpukul. Namun raihlah tangannya dan berikanlah semangat. J

Nah, untuk mencapai semua itu gunakanlah prinsip dakwah. Kembali pada niat awal kita menulis yaitu menyampaikan nilai-nilai dakwah. Al Qur’an sungguh banyak mengajarkan kepada kita cara yang tepat untuk berdakwah. Banyak sekali. Diantaranya adalah: Pertama,  pakailah kata-kata yang menyejukkan, yaitu kata-kata yang baik, atau dalam Al Quran (Q.S.An Nisa: 5) qaulan ma’rufa. Kedua, gunakanlah kata-kata yang dipahami. Kata-kata yang pantas dan menyenangkan. Hal ini Allah sampaikan dalam Q.S. Israa: 28 yaitu qaulan maisura. Ketiga, kualitas kata-kata yang tidak hanya benar dan baik atau qaulan sadida (Q.S.An Nisa: 9), tapi kembali ke awal. Bagaimana kata-kata itu mudah dipahami dan mampu menjadi penyejuk bagi pembaca.

Lalu bagaimana caranya agar tulisan kita mampu menggerakkan orang lain untuk berubah menjadi lebih baik dan lain-lain? Maka yang harus kita lakukan adalah melakukan apa yang kita tulis. Mulailah itu dari diri kita sendiri. Sehingga ketika kita menulis tulisan yang berbobot atau qaulan tsaqiila (Q.S. Muzammil: 5) maka InsyaAllah Allah akan menuntun jari-jari kita untuk membuat tulisan yang dapat menggerakkan hati orang lain (memotivasi) pembaca. Sehingga jadilah kata-kata yang keluar dari tulisan kita adalah kata-kata yang membekas pada jiwa atau qaulan baligha (Q.S. An Nisa: 63).

Oke teman-temanku tersayang. Semua InsyaAllah sudah aku sampaikan pesan-pesan beliau disini. Keren kan beliau? Oya, doakan beliau moga beliau sukses dan selalu dalam naungan Ridho-Nya. Aamiin. Target beliau itu bisa menerbitkan 4 buku dalam satu tahun. Hm… moga dimudahkan dan selalu istiqamah ya..Aamiin. Sebagai penutup, beliau menyampaikan pesan singkat kepada hadirin, “Menulislah minimal 1 jam per hari.”  J

Sekian dan terima kasiiiih… J
Wassalam.


Minggu, 08 Februari 2015

Selamatkan Februari Dari Cengkraman Valentine!


Bismillahirrahmanirrahim..
Dengan mengucapkan puji kepada Tuhanku Yang Maha Kasih, semoga apa yang kutulis tidak keliru. Atau jika pun keliru, aku berharap ada orang yang bersedia mengoreksi sehingga apa yang aku tulis tidak menjadi dosa jariyah. Aamiin.
                           
Ini Bulan Februari. Tanpa harus aku senggol para pemuda, remaja atau dewasa, aku yakin mereka tahu ada apa dengan bulan kedua Masehi tersebut. Yup. Valentine. Selalu saja bulan ini menjadi bascamp trending topic di hampir semua ranah media sosial. Segelintir orang bahkan dengan frontalnya MENOLAK HARI JAHILIYAH itu. Ada yang memasang gambar dengan tulisan NO VALENTINES DAY CAUSE WE ARE MUSLIM, ada juga yang memakai pameo atau perkataan sarat ejekan, dan lain sebagainya. Dan aku tidak akan membahas  sejarah hari jahiliyah itu disini. Karena jujur, aku menulis ini dengan rasa muak (dengan pemerintah) bercampur miris. Rasanya seperti ketika kau menelan ludah saat gejala batuk. *Sakit. 

Nyatanya? Walau terus diulang-ulang larangan keras itu. Tetap saja masyarakat itu empuk (mengabaikannya). Masuk kuping kanan keluar dari lubang hidung. *Saking tidak sampainya. Kemudian yang lebih parah. Di satu kubu kita berdakwah, tapi kubu lainnya justru meludah. Siapa coba mereka? Umat Islam itu sendiri! Sadarkah, bahwa kita ini sedang berperang dengan saudara seiman kita? Siapa yang bermain film dan sinetron yang dengan santernya menyiarkan (baca: kata mereka) hari kasih sayang itu? Orang kita juga! Orang Islam! Walaupun dalam tanda kutip otaknya wallahu ‘alam.

Aku hanya ingin bertanya kepada diriku sendiri. Se-begini-kah roda dakwah berputar “otomatis” di Negeri tercinta ini? Mengulang dan terus mengulang lagi. Aku tidak bohong jika mengatakan ini nyaris seperti kaset kusut yang diputar berulang-ulang. Kembali ke NOL dan begitulah seterusnya. Tapi, percayalah ini bukan sekedar masalah ecek-ecek, remeh. Tapi sebaliknya, yang jika dibiarkan terus begini lama-lama negeri ini mau jadi apa? *Maaf. Muslim seutuhnya bukan. Karena masih keukeuh ngejar-ngejar barat walau gak kesampaian.

Haruskah kami berteriak setiap tahun hingga kering pita suara ini. Berteriak lagi. Berteriak lagi. Hei, NO VALENTINE DAYS! DO YOU HEAR?!. *Maaf. Jujur capek. Capek usaha kita tak pernah didukung pemerintah. Bayangkan, masih banyak dari kita menjalankan ritual penting RUTIN tersebut tiap tahun. Baiklah, jangan naik pitam dulu aku berkata seperti ini. Karena aku punya alasan. Pertama, izinkanlah aku mengekor pendapat Akmal Sjafril bahwa budaya literasi di Negeri kita itu masih rendah. Buktinya? Banyak. Agenda rutin kita seperti merayakan ritual Tahun Baru Masehi dengan huru-hara pesta, Valentine Day, Hari Ibu, dan lain-lain masih bebas dirayakan. Lalu beramai-ramai kita cekal. Dikira mempan. Tapi masiiiih saja berulang sampai tahun depan. Dan seterusnya tidak ada ujungnya. Seperti yang tadi aku bilang, kembali ke NOL. Kedua, kita tidak punya warisan dari leluhur. Dari presiden pertama sampai ketujuh, kita tidak diwariskan untuk mengutuk hari Raya selain Idul Fitri dan Idul Adha karena tidak adanya referensi dari Nabi. Kalau saja Presiden Indonesia berani seperti ini: “Wahai rakyat Indonesia jangan sekali-kali kita merayakan Tahun Baru Masehi, Hari Valentine dll. Bagi siapa pun yang mendukung atau dengan sengaja menyiarkannya maka akan dikenakan hukum. Karena kita telah membuat peraturan undang-undang tertulis tentang itu. Tok Tok Tok!” Keren gak? Bisa? Pasti bisa! Hey…liriklah sedikit saja Negara yang berani melarang warganya merayakan Valentine seperti Arab Saudi, Pakistan, Malaysia dan banyak lagi.

Tapi dengan kerendahan hati yang amat mendalam. Sungguh aku tidak bermaksud mengejek dirimu semua yang dengan tanpa henti berdakwah. Walau yang kau ajak tarung itu media besar, Walau sasarannya amat sulit melawan film, iklan, sinetron. Yang notabene punya massa yang sangat besar. Mereka adalah para remaja dan anak-anak yang tidak tahu dan sukanya ikut-ikutan. Jika kau diam? Siapa lagi? Jika satu per satu mulai apatis, keadaan kita akan semakin miris. Apapun caranya yang bisa kau lakukan, maka lakukanlah. Karena kita tak sampai hati hanya menutup telinga sambil menangis menonton berita akibat buruk perayaan Valentine yang masif ini. Korbannya anak-anak, remaja. Dan tentu kita tidak mau semua itu terjadi pada saudara dan keluarga. Atau jika kau  punya keberanian lebih, nasehatilah pemimpin kita. Ingatkanlah. J. Teruskan dakwah meski diludah. Ingatlah Nabi kita begitu kuat dan sabar mengajak umatnya hingga berdarah-darah. Atau jika yang kau punya hanya pena, maka menulislah. Itu lebih baik lagi. Semoga dapat menjadi media pewarisan ilmu kepada generasi mendatang. Menambah literasi bagi umat. Meningkatkan referensi ilmu kita yang masih rendah. Karena kita tidak mungkin harus terus-menerus kembali ke NOL. Hingga nanti ketika datang lagi Bulan Februari, kita tidak akan membahas lagi “merayakan Valentine boleh gak?”. *Itu namanya gak MOVE ON! 

Pages - Menu