Helvy Tiana Rosa |
“Sastra dan Pembentukan Karakter”
Part 2
Assalamualaikum teman-temanku
sayang J. Hehe..agak lebay ya. Kabar
gembira untuk kita semua saat ini kita kedatangan Mbak Helvy Tiana Rosa.
Beliau adalah seorang sastrawan perempuan Indonesia sekaligus pendiri Forum
Lingkar Pena. Beliau bergelut di dunia sastra sudah cukup lama. Adiknya, Mbak
Asma Nadia adalah seorang penulis juga. Karya-karyanya pasti teman-teman tahu
laah. Bahkan beberapa sudah difilmkan. J
Oiya. Tulisan ini adalah lanjutan
dari tulisan sebelumnya. Karena pembicara ada dua, sengaja aku buat terpisah.
Agar aku dan kamu bisa fokus. *Asik. Aku dan kamu. Hm….Sebenarnya, jari-jariku
slow emotion banget lompat-lompat di atas toots notebook ini. Yaaah. Gak ada
yang nanya knapa ya? Oke aku bocorkan deh mau tahu atau gak. Pada saat seminar
berlangsung bersama Mbak Helvy, hadirin tiba-tiba disuruh berdiri. Dag dig dig
jantungku berdegup. Kami dipaksa oleh Mbak Helvy untuk sama-sama mengucapkan
janji. Aku menggigit bibir biar mingkem. Tapi tanpa disengaja mulutku ikut
mangap-mangap dengan yang lain. Mengikuti kata-kata Mbak Helvy. Persis seperti
seorang guru mengeja lalu diikuti murid-muridnya yang masih lugu dengan hidung
yang mengalir dua air terjun. Oh tidak.
Sungguh Tuhan, mulut kami benar-benar dipaksa berikrar di hadapan-Mu untuk
membuat minimal 1 karya buku sebelum mati. Ini sungguh berat. Tubuhku lemas.
Setelah kuucap janji itu, dalam hati aku komat-kamit, “InsyaAllah Ya Allah.
InsyaAllah Ya Allah, aku gak janji”. *Sambil harap-harap cemas malaikat
menghapus janjiku tadi. Tapi ya sudahlah. Mudah-mudahan bisa menjadi doa yang
baik. Satu dua tiga Aamiin.
Oke cus. Diawali dengan bahasan
seputar Bahasa Indonesia. Menurut beliau Bahasa Indonesia itu kian
dimarginalkan di sekolah-sekolah. Aku setuju. Apalagi dengan kehadiran Bahasa
Inggris, Bahasa Indonesia semakin dianak tirikan. Sehingga pelajaran Bahasa
Indonesia adalah pelajaran yang paling tidak menarik. Yang ini aku tidak
setuju. Karena aku sangat suka Bahasa Indonesia, sampai-sampai pelajaran
Matematika merasa cemburu padanya. Padahal menurutku tidak perlu secemburu itu,
toh aku tetap belajar keduanya sampai sekolah menengah ke atas. Loh? Bagaimana
mungkin bisa menarik bagi semua orang, kalau dari TK sampai SMA yang selalu
diajarkan ketika awal menulis cerita adalah kata-kata “Pada suatu hari”, “Dahulu
kala” dan kata-kata jadul lainnya. Ini sama sekali tidak kreatif! Aku
mengangguk. Yang ini baru aku setuju.
Sosok sastrawan yang sangat
melekat pada diri beliau, membuat kami sangat terkesima. Beliau berkali-kali
mengajak hadirin untuk menyukai sastra. Dan salah satu kuncinya adalah
kemampuan kita dalam berbahasa. Salah satu pintunya adalah dengan menyukai
Bahasa Indonesia. Lalu bagaimana jadinya jika Bahasa Indonesia sudah tidak
menarik lagi bagi anak-anak pertiwi? Tentu matematika akan loncat-loncat
kegirangan karena tak punya saingan. Eeh? Bukan itu! Tapi pasti akan semakin
merosotnya nilai-nilai sastra di Negeri kita. Sastra bisa punah. Padahal Umar
Bin Khatab pernah berkata, “Ajarkanlah sastra pada anak-anak kalian, agar
mereka tidak menjadi pengecut.”
Lalu agar kita memiliki kemampuan
dalam berbahasa, maka kita harus gemar membaca, menyimak, berbicara, dan
menulis. Beliau juga mewasiatkan pada kami, jadilah apa saja tapi yang
sastrawan. Tapi beliau juga sangat menyayangkan orang-orang yang merendahkan
harga diri sastra. Segelintir orang bahkan mengatakan orang-orang sastra itu
*maaf, penampilannya yang kurang rapi, rambut gondrong lah de el el. Padahal
beliau mengatakan dengan lantang bahwa orang yang suka seni dan sastra, mereka
lebih peka perasaannya, lebih lembut. Ciyee.. Halo anak sastra mana suaranyaa… J.
Hm… Sepertinya dicukupkan sampai
disini. Karena memang durasi Mbak Helvy berbicara itu dirasa sangat singkat.
Mudah-mudahan beliau semakin istiqamah dalam menulis. Dimudahkan segala urusannya.
Aamiin. J
Terima Kasih.. J
Eh.. Kata Mbak Helvy ada bahasa
orang sastra dari kata terima kasih. Yaitu…….
“Terima Cinta…. J”. Yuk ah mulai sekarang ganti. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar