Minggu, 12 Oktober 2014

Tikus Mandul, Petani Makmur

Politik Damai


Di dunia ini kita punya pameo unik untuk para bedebah rakyat. Para pengkhianat bangsa. Pemilik unggul nafsu tirani. Kita semua sepakat menyebut mereka tikus. Tikus-tikus itu semakin lincah berkeliaran. Indikasinya, mereka selalu lapar dan rakus. Tak pernah punya rasa puas dan kenyang. Biasanya mereka itu hidup di dalam lubang-lubang sempit dan gelap bernama POLITIK. Baiklah, berbicara tentang politik. Nampaknya hanya keluar dari mulut seorang pengamat politik yang sering muncul di televisi. Yang kita tahu pengamat politik pun punya payung mereka masing-masing. Dimana ketika ada hujan debat, dia tak bisa bergerak  kemana-mana. Kecuali berlindung di bawah payung mereka.  Bahkan orang-orang yang katanya Agent Of Change, hampir  tidak terlihat lagi batang hidungnya. Padahal secara fundamental, bukan soal nilai kepantasan atau tidak untuk berbicara tentang politik. Bukan soal titel yang mengurung sebuah nama. Bukan soal seberapa matang usia.  Entah hanya (mau) mencoba belajar mendalami ilmunya. Atau (syukur-syukur) ikut berpartisipasi di dalamnya. Untuk apa? Mari kita sisir tulisan ini hingga usai. J

Kita semua (hampir) mengimani bahwa sedalam apapun orang jujur sampai ke kerak-keraknya, tapi jika posisi dia ada dalam lingkaran politik, maka disangsikanlah nilai kejujurannya. Kita tidak pernah tahu bukan, apa motif mereka menawarkan diri menjadi wakil rakyat? Oh bukan menawarkan diri. Lebih tepatnya, “BERAMBISI”.  Akhirnya kita saling berbisik, “Mereka itu mau jadi politikus atau calon tikus?”. Belum apa-apa kita sudah su’udzan kepada mereka.

Dan bukan apa-apa. Karena kenyataan pun sudah jelas di depan mata. Agaknya sudah tidak bisa dihitung lagi oleh jari tangan dan kaki kita, berapa banyak tikus-tikus Negara yang berhasil ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaikan rantai makanan, KPK itu ibarat ular. Padi adalah uang (hak) rakyat. Tikus-tikus itulah yang berhasil ditangkap.

Tapi coba kita kaji lebih dalam. Apa dengan adanya kehadiran KPK, sesosok ular bersayap malaikat, lalu kita bisa santai berpangku tangan? Goyang kaki kipas-kipas? Urusan belum selesai. Tikus-tikus itu akan punya keturunan-keturunan. Akan tercipta kaderisasi koruptor  yang jaringannya lebih luas. Ya. Itu kalau orang-orang yang berkecimpung di dalamnya itu terus menerus sosok tikus-tikus. Jadi jika kita juga selalu mengandalkan KPK, sepertinya tidak akan ada habisnya. Mengingat akan keluar lagi janin-janin tikus yang baru. Kecuali jika kita sudah berhasil membuat tikus itu mandul. Apalagi kalau tikusnya sepasang? Seperti tren sekarang kan? Yang betinanya juga ikut aktif menggerogoti padi. Ikut membantu suami demi berbakti. Akhirnya mereka pun hidup bersama dalam bui sampai mati. Nah, beda lagi dengan tahun kemarin-kemarin. Mainnya petak umpet. Tahu-tahu keturunannya sudah sampai ratusan. Mungkin ini alasan kenapa mereka punya julukan tikus. Ternyata tikus yang asli itu, salah satu hewan menjijikan yang bisa menghasilkan keturunan sebanyak 10.000-15.000 ekor dalam setahun. Kemudian mereka akan kawin lagi setelah 48 jam pasca melahirkan. Bahayanya, hewan pengerat ini hanya memiliki sekitar 20 hari dalam kandungan. Logikanya, akan lebih banyak lagi cabang-cabang dari garis keturunannya. Pertumbuhannya akan sangat pesat. Dan KPK sendiri akan kewalahan bukan?

Oke. Coba kita pakai kata-kata klasik Islami filosofis yang mengatakan bahwa, “Al Wiqaayah Khairu Minal ‘Ilaj”. Pencegahan lebih baik dari pengobatan. Bagaimana caranya kita cegah kelahiran kader-kader tikus itu. Apa mau terus-menerus diobati KPK? Kita harus berusaha membuat mereka mandul. Layaknya fungsi Pil Keluarga (B)er(encana) alias KB. Yakni memandulkan alat reproduksi manusia. Berarti kita butuh pil itu untuk membunuh pelan-pelan para tikus. Masih masuk akal sebuah adagium “Banyak Anak, Banyak Rezeki”. Tapi kalau tikus? Semakin banyak tikus, semakin cepatlah kita menuju “kematian”.

Lalu dengan cara apa kita meracik pil itu?  Salah satunya adalah kita ganti dengan kader-kader baru. Kita siapkan kader-kader yang memang punya kapabilitas dalam bidang politik. Bukan “asal comot” dari selebritis yang memang skillnya di dunia Entertainment. Kenapa? Susah? Mustahil? Selama iman masih mengalir dalam pipa darah, selama itulah kerja sama selalu dibutuhkan. Bersatu. Bergerak bersama. Satu pandangan. Satu kiblat. Demi Agama. Demi Negara. Demi rakyat. Mereka itulah bibit-bibit unggul yang punya idealisme. Tunggu dulu. Berbicara tentang idealisme, idealisme apa yang seharusnya dipegang teguh oleh kader-kader baru itu? Jangan berdusta dan malu-malu. Mereka harus mengatakan dengan lantang bahwa cita-cita terbesar mereka adalah menegakkan syariat Islam. Cita-cita itu harus terus diperjuangkan dan disuarakan kepada kader-kader mereka selanjutnya. Pertanyaan untuk diri kita masing-masing, “Adakah hukum yang lebih baik dari hukum Allah?”

Memang betul, nyaris begitu buruk kesan para poli(tikus) di hati rakyat. Terkesan seperti orang-orang busuk. Penipu ulung yang berdasi. Tapi apa sebenarnya memang begitu? Bahkan ada yang mengatakan politik itu kotor? Politik itu lingkaran setan? Tapi Alhamdulillah masih ada segelintir orang yang mengimani bahwa yang salah  itu bukan politik. Tapi para poli(tikus)nya. Yang kotor itu bukan politiknya. Tapi para figurnya. Jadi jika kita sebagai Muslim yang menyimpulkan bahwa Islam itu anti politik, nampaknya ada yang harus diperbaiki mindset kita. Politik adalah bagian integral dari sebuah Negara. Politik itu padahal hanya sebuah sistem. Tapi sistem inilah yang dipakai oleh Negara.  Lalu bagaimana caranya jika kita berteriak-teriak agar tegaknya syariat Islam di Indonesia, tapi kita tidak mau ikut andil di dalamnya? Tentu kita tidak punya power. Jangankan punya ambisi untuk melek (ikut berdedikasi). Membicarakan dan mendengarkan tentang politik saja sudah jijik?

Tapi syukurlah para pejabat Negara masih punya wibawa. Para politisi itu tetap dihormati rakyat (kok). Mereka berebut ingin mencium tangan-tangan halus para pejabat Negara.  Kala mereka mau turun langsung ke pelosok-pelosok desa. Seolah ia adalah sosok Umar yang berjalan (sendiri) setiap malam  untuk melihat keadaan umatnya. Tapi ingat, bedanya zaman dulu itu tidak ada kamera. Tidak ada wartawan. Lagi pula, sosok Umar bukanlah manusia yang gila pujian. Maka beliau selalu melakukan kegiatan rutin itu tanpa mau  diketahui orang. Sangat menggelitik ketika mereka sampai menangis berderai-derai. Mencuri kelengahan pengawal agar mampu mencium wajahnya. Ya. Wajah pemimpin mereka tercinta. Yang mereka yakini benar bahwa dia sosok penerus Umar.

Entah apakah hati mereka benar-benar jatuh cinta. Atau hanya sebuah emosi dan kedongkolan hati. Emosi yang begitu membuat hati pegal. Lelah yang benar-benar menjalar sampai ke tulang. Hingga mereka pun (memilih) angkat tangan tentang nasib dan harta Negara. Mungkin kata mereka, “Boro-boro sudi mikirin urusan Negara, buat besok aja masih bingung mau makan apa”. Miris bukan? Dan apa kita masih mau membiarkan tikus-tikus itu berlalu lalang? Lihatlah. Seolah ketika mata-mata rakyat meleleh di hadapan para pemimpinnya, itu adalah butir-butir simbol kepasrahan yang hakiki. Yang mengalir dari sedalam-dalamnya nurani.

Menurutku, tidak ada alasan yang logis bagi kita (mahasiswa dan para pemuda), menyalahkan rakyat kecil sekaligus awam yang tidak melek atau tidak mau berurusan dengan politik. Karena mereka hanya jiwa-jiwa suci yang punya perjuangan sendiri. Untuk makan sehari-hari? Menyekolahkan anaknya? Dan hiruk pikuk kehidupan mereka yang belum tentu kau sanggup menghadapinya. Tega kah kita menyaksikan kepedihan yang berlarut-larut ini? Akibat ulah tikus-tikus itu? Ketirnya kehidupanlah yang akhirnya memaksa mereka buta akan politik. Tidak perlu kita begitu keras memaksa mereka untuk melek politik. Karena ingatlah mata-mata mereka memang sudah melek. Mereka melek ketika membaca media. Mereka melek, ketika menonton berita. Mereka itu melek ketika melihat tikus-tikus itu dihukum. Mereka tahu tapi diam. Mereka tahu tapi tak bisa apa-apa. Mereka melek tapi melek walang. Lalu apa bedanya dengan orang buta? Mata-mata mereka memang sudah melek. Bagaimana tidak? Setiap malam mereka sulit terpejam. Merasakan dunia yang semakin kejam. Mengharapkan kesejahteraan itu (hanya) seperti si pungguk yang merindukan sang bulan.

The last. Ada kata-kata menarik yang penulis kutip dari sebuah status media sosial seorang pejabat Partai. Beliau juga mengutip rangkaian kata-kata dari seorang penyair Jerman bernama Bertolt Brecht. Dia mengatakan, bahwa, “Buta terburuk adalah buta politik. Tidak mendengar, tidak bicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat tergantung pada keputusan politik.”

Baiklah. Jika pada bagian penutup dari  tulisan ini, penulis berestimasi untuk memaklumi rakyat kecil yang buta terhadap politik. Lalu siapa yang harus melek?

                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu