Politik Damai |
Di dunia ini kita punya pameo unik untuk para bedebah rakyat. Para pengkhianat bangsa. Pemilik unggul nafsu tirani. Kita semua sepakat menyebut mereka tikus. Tikus-tikus itu semakin lincah berkeliaran. Indikasinya, mereka selalu lapar dan rakus. Tak pernah punya rasa puas dan kenyang. Biasanya mereka itu hidup di dalam lubang-lubang sempit dan gelap bernama POLITIK. Baiklah, berbicara tentang politik. Nampaknya hanya keluar dari mulut seorang pengamat politik yang sering muncul di televisi. Yang kita tahu pengamat politik pun punya payung mereka masing-masing. Dimana ketika ada hujan debat, dia tak bisa bergerak kemana-mana. Kecuali berlindung di bawah payung mereka. Bahkan orang-orang yang katanya Agent Of Change, hampir tidak terlihat lagi batang hidungnya. Padahal secara fundamental, bukan soal nilai kepantasan atau tidak untuk berbicara tentang politik. Bukan soal titel yang mengurung sebuah nama. Bukan soal seberapa matang usia. Entah hanya (mau) mencoba belajar mendalami ilmunya. Atau (syukur-syukur) ikut berpartisipasi di dalamnya. Untuk apa? Mari kita sisir tulisan ini hingga usai. J
Kita semua (hampir) mengimani
bahwa sedalam apapun orang jujur sampai ke kerak-keraknya, tapi jika posisi dia
ada dalam lingkaran politik, maka disangsikanlah nilai kejujurannya. Kita tidak
pernah tahu bukan, apa motif mereka menawarkan diri menjadi wakil rakyat? Oh
bukan menawarkan diri. Lebih tepatnya, “BERAMBISI”. Akhirnya kita saling berbisik, “Mereka itu mau
jadi politikus atau calon tikus?”. Belum apa-apa kita sudah su’udzan kepada
mereka.
Dan bukan apa-apa. Karena
kenyataan pun sudah jelas di depan mata. Agaknya sudah tidak bisa dihitung lagi
oleh jari tangan dan kaki kita, berapa banyak tikus-tikus Negara yang berhasil
ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaikan rantai makanan, KPK
itu ibarat ular. Padi adalah uang (hak) rakyat. Tikus-tikus itulah yang
berhasil ditangkap.
Tapi coba kita kaji lebih dalam.
Apa dengan adanya kehadiran KPK, sesosok ular bersayap malaikat, lalu kita bisa
santai berpangku tangan? Goyang kaki kipas-kipas? Urusan belum selesai.
Tikus-tikus itu akan punya keturunan-keturunan. Akan tercipta kaderisasi
koruptor yang jaringannya lebih luas. Ya.
Itu kalau orang-orang yang berkecimpung di dalamnya itu terus menerus sosok
tikus-tikus. Jadi jika kita juga selalu
mengandalkan KPK, sepertinya tidak akan ada habisnya. Mengingat akan keluar
lagi janin-janin tikus yang baru. Kecuali jika kita sudah berhasil membuat
tikus itu mandul. Apalagi kalau tikusnya sepasang? Seperti tren sekarang kan?
Yang betinanya juga ikut aktif menggerogoti padi. Ikut membantu suami demi
berbakti. Akhirnya mereka pun hidup bersama dalam bui sampai mati. Nah, beda
lagi dengan tahun kemarin-kemarin. Mainnya petak umpet. Tahu-tahu keturunannya
sudah sampai ratusan. Mungkin ini alasan kenapa mereka punya julukan tikus.
Ternyata tikus yang asli itu, salah satu hewan menjijikan yang bisa menghasilkan
keturunan sebanyak 10.000-15.000 ekor dalam setahun. Kemudian mereka akan kawin
lagi setelah 48 jam pasca melahirkan. Bahayanya, hewan pengerat ini hanya memiliki
sekitar 20 hari dalam kandungan. Logikanya, akan lebih banyak lagi cabang-cabang
dari garis keturunannya. Pertumbuhannya akan sangat pesat. Dan KPK sendiri akan
kewalahan bukan?
Oke. Coba kita pakai kata-kata
klasik Islami filosofis yang mengatakan bahwa, “Al Wiqaayah Khairu Minal
‘Ilaj”. Pencegahan lebih baik dari pengobatan. Bagaimana caranya kita cegah
kelahiran kader-kader tikus itu. Apa mau terus-menerus diobati KPK? Kita harus
berusaha membuat mereka mandul. Layaknya fungsi Pil Keluarga (B)er(encana)
alias KB. Yakni memandulkan alat reproduksi manusia. Berarti kita butuh pil itu
untuk membunuh pelan-pelan para tikus. Masih masuk akal sebuah adagium “Banyak
Anak, Banyak Rezeki”. Tapi kalau tikus? Semakin banyak tikus, semakin cepatlah
kita menuju “kematian”.
Lalu dengan cara apa kita meracik
pil itu? Salah satunya adalah kita ganti
dengan kader-kader baru. Kita siapkan kader-kader yang memang punya kapabilitas
dalam bidang politik. Bukan “asal comot” dari selebritis yang memang skillnya
di dunia Entertainment. Kenapa? Susah? Mustahil? Selama iman masih mengalir
dalam pipa darah, selama itulah kerja sama selalu dibutuhkan. Bersatu. Bergerak
bersama. Satu pandangan. Satu kiblat. Demi Agama. Demi Negara. Demi rakyat.
Mereka itulah bibit-bibit unggul yang punya idealisme. Tunggu dulu. Berbicara
tentang idealisme, idealisme apa yang seharusnya dipegang teguh oleh
kader-kader baru itu? Jangan berdusta dan malu-malu. Mereka harus mengatakan
dengan lantang bahwa cita-cita terbesar mereka adalah menegakkan syariat Islam.
Cita-cita itu harus terus diperjuangkan dan disuarakan kepada kader-kader
mereka selanjutnya. Pertanyaan untuk diri kita masing-masing, “Adakah hukum
yang lebih baik dari hukum Allah?”
Memang betul, nyaris begitu buruk
kesan para poli(tikus) di hati rakyat. Terkesan seperti orang-orang busuk.
Penipu ulung yang berdasi. Tapi apa sebenarnya memang begitu? Bahkan ada yang
mengatakan politik itu kotor? Politik itu lingkaran setan? Tapi Alhamdulillah
masih ada segelintir orang yang mengimani bahwa yang salah itu bukan politik. Tapi para poli(tikus)nya.
Yang kotor itu bukan politiknya. Tapi para figurnya. Jadi jika kita sebagai
Muslim yang menyimpulkan bahwa Islam itu anti politik, nampaknya ada yang harus
diperbaiki mindset kita. Politik adalah bagian integral dari sebuah Negara. Politik
itu padahal hanya sebuah sistem. Tapi sistem inilah yang dipakai oleh
Negara. Lalu bagaimana caranya jika kita
berteriak-teriak agar tegaknya syariat Islam di Indonesia, tapi kita tidak mau
ikut andil di dalamnya? Tentu kita tidak punya power. Jangankan punya ambisi
untuk melek (ikut berdedikasi). Membicarakan dan mendengarkan tentang politik
saja sudah jijik?
Tapi syukurlah para pejabat
Negara masih punya wibawa. Para politisi itu tetap dihormati rakyat (kok). Mereka
berebut ingin mencium tangan-tangan halus para pejabat Negara. Kala mereka mau turun langsung ke
pelosok-pelosok desa. Seolah ia adalah sosok Umar yang berjalan (sendiri)
setiap malam untuk melihat keadaan umatnya.
Tapi ingat, bedanya zaman dulu itu tidak ada kamera. Tidak ada wartawan. Lagi
pula, sosok Umar bukanlah manusia yang gila pujian. Maka beliau selalu
melakukan kegiatan rutin itu tanpa mau
diketahui orang. Sangat menggelitik ketika mereka sampai menangis
berderai-derai. Mencuri kelengahan pengawal agar mampu mencium wajahnya. Ya.
Wajah pemimpin mereka tercinta. Yang mereka yakini benar bahwa dia sosok
penerus Umar.
Entah apakah hati mereka benar-benar
jatuh cinta. Atau hanya sebuah emosi dan kedongkolan hati. Emosi yang begitu membuat hati
pegal. Lelah yang benar-benar menjalar sampai ke tulang. Hingga mereka pun
(memilih) angkat tangan tentang nasib dan harta Negara. Mungkin kata mereka,
“Boro-boro sudi mikirin urusan Negara, buat besok aja masih bingung mau makan
apa”. Miris bukan? Dan apa kita masih mau membiarkan tikus-tikus itu berlalu
lalang? Lihatlah. Seolah ketika mata-mata rakyat meleleh di hadapan para
pemimpinnya, itu adalah butir-butir simbol kepasrahan yang hakiki. Yang mengalir
dari sedalam-dalamnya nurani.
Menurutku, tidak ada alasan yang
logis bagi kita (mahasiswa dan para pemuda), menyalahkan rakyat kecil sekaligus
awam yang tidak melek atau tidak mau berurusan dengan politik. Karena mereka
hanya jiwa-jiwa suci yang punya perjuangan sendiri. Untuk makan sehari-hari?
Menyekolahkan anaknya? Dan hiruk pikuk kehidupan mereka yang belum tentu kau
sanggup menghadapinya. Tega kah kita menyaksikan kepedihan yang berlarut-larut
ini? Akibat ulah tikus-tikus itu? Ketirnya kehidupanlah yang akhirnya memaksa
mereka buta akan politik. Tidak perlu kita begitu keras memaksa mereka untuk
melek politik. Karena ingatlah mata-mata mereka memang sudah melek. Mereka
melek ketika membaca media. Mereka melek, ketika menonton berita. Mereka itu
melek ketika melihat tikus-tikus itu dihukum. Mereka tahu tapi diam. Mereka
tahu tapi tak bisa apa-apa. Mereka melek tapi melek walang. Lalu apa bedanya
dengan orang buta? Mata-mata mereka memang sudah melek. Bagaimana tidak? Setiap
malam mereka sulit terpejam. Merasakan dunia yang semakin kejam. Mengharapkan
kesejahteraan itu (hanya) seperti si pungguk yang merindukan sang bulan.
The last. Ada kata-kata menarik
yang penulis kutip dari sebuah status media sosial seorang pejabat Partai. Beliau
juga mengutip rangkaian kata-kata dari seorang penyair Jerman bernama Bertolt
Brecht. Dia mengatakan, bahwa, “Buta terburuk adalah buta politik. Tidak
mendengar, tidak bicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.
Tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya
sewa, harga sepatu dan obat tergantung pada keputusan politik.”
Baiklah. Jika pada bagian penutup
dari tulisan ini, penulis berestimasi untuk
memaklumi rakyat kecil yang buta terhadap politik. Lalu siapa yang harus melek?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar