Motorku menderit di depan toko berwarna pink. Aku tanggalkan
helm hitamku pada spion . Gigiku beradu. Sedikit kesal. Aku tahu ini sangat memalukan. Tapi aku tak peduli. Ini semua harus aku lakukan demi menjaga predikat maskulinku yang dikoyak-koyak oleh
perempuan aneh itu. Perlahan aku turun dari motor. Refleks aku rapikan rambut
dengan jari. Ini memang sudah kebiasaanku selepas berkendara motor.
Tak perlu mengucapkan salam. Tak ada waktu untuk sekedar melihat
bermacam-macam boneka, dompet wanita, jepitan, dan semua yang tak mampu
korneaku tangkap di ruangan serba pink itu. Dan ups, lengan kananku tak sengaja
mengusik sebuah benda lalu terjatuh. Lagi-lagi penyakit sembronoku kambuh.
“Ya ampun.” Aku bantingkan badanku setengah jongkok. “Apa ini?”
Batinku bertanya. Dari bentuknya aku mengira itu adalah sebuah benda yang
pernah dipakai Annisa, adik perempuanku jika ke sekolah. Hah. Konyol. Ini baru
pertama kali aku menyentuh ikat rambut wanita. Aku menggeleng.
“Mau cari apa Mas, ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang
perempuan penjaga toko yang berhasil menghancurkan lamunanku. Aku bergegas
berdiri.
“Saya mau mencari cermin berwarna pink, Mbak. Eh, maksud saya
cermin itu bungkusnya warna pink. Pokoknya ada warna pink nya Mbak. Terus
bentuknya hati ya Mbak. Ada?”
“Em? Bentuknya hati ya Mas? Lagi kosong tuh Mas.” Tukasnya
cepat.
“Oh kalau begitu terima kasih Mbak, saya permisi.” Aku tersenyum
datar. Membalikkan badan dan melangkah keluar. Sangat kecewa.
“Mas Mas! Cermin yang ini saja Mas, ini juga warna pink. Bagus.
Buat pacarnya ya Mas?” Perempuan itu ternyata mengejarku. Aku berhenti dan
memutar arah lagi.
“Tidak Mbak maaf, saya cari yang bentuknya hati.” Dengan ketus
aku melanjutkan langkah menuju pintu keluar.Tapi jengkelnya perempuan itu masih
saja memanggilku.
“Ada apa lagi Mbak? Saya kan sudah bilang, saya cari cermin
yang…”
“Nggak Mas. Bukan itu.” Jawab perempuan itu memotong kalimatku
yang belum rampung. Dia menunjuk ke arah tangan kananku.
“Astagfirullah, maaf Mbak saya lupa. Ini tadi kebawa.” Aku
tersenyum malu. Ternyata dari tadi tanganku masih menggenggam ikat rambut yang
kujatuhkan beberapa menit lalu. Perempuan itu menghela nafas. Matanya sedikit
sinis saat meraih kemasan plastik transparan dari tanganku. Aku keluar
mendekati motor. Ah. Baru saja wajahku seperti ditinju-tinju. Aku tutup kaca
helmku. Lalu tancap gas pulang ke rumah.
Mataku menatap nanar langit-langit kamar. Menyisir setiap
sudut ruang. Aku tak percaya tempurung
kepalaku hanya teriisi oleh “cermin hati berwarna pink”. Seperti hariku telah
dikutuk oleh benda itu. Apa oleh pemiliknya? Latifah?
Latifah memang sangat menyebalkan bagiku. Seminggu yang lalu aku
tak sengaja memecahkan cerminnya. Padahal ini tak sepenuhnya salahku. Dia yang
salah menaruh cermin sembarangan di ujung meja. Saat itu aku hanya sedang
belari menuju kursiku di barisan belakang. Lalu tak sengaja tubuhku menyenggol
mejanya. Hingga cermin miliknya itu jatuh dan pecah. Suara pecahnya nyaris
membuat kelas senyap. Namun beberapa detik kemudian isak tangis Latifah memecah
keheningan.
Tubuhku bagaikan air di rawa-rawa. Tak bergerak. Matanya dan
mataku saling beradu. Bola mata coklatnya meleleh. Aku lihat air matanya
berlompatan. Baru kali ini aku melihatnya menangis setelah dua tahun bersama di
kelas. Tak kulihat lagi lesung pipinya yang manis. Tangan kanannya menuju
kepala. Ia tarik jilbab putihnya ke belakang. Sampai terlihat sempurna alis
hitam pekatnya yang sempat tertutup.
“Aku minta maaf. Aku tidak sengaja, Latifah..?” keluhku padanya
sambil kucoba merapikan pecahannya.
Namun gadis berjilbab putih itu langsung menghilang dalam
pandangan. Aku mendengar banyak kalimat yang terlontar dari teman-teman.
Tercium aroma mengancam agar aku mengganti cermin milik Latifah itu. Bahkan ada
yang sempat memakiku karena aku sembrono. Aku tahu. Aku faham. Latifah bukan
wanita sembarangan di kelas. Latifah terkenal ramah. Nyaris tak ada cacat yang
ia punya di mata teman-teman sekelas. Selain cantik, ia juga pintar menggambar.
Aku sempat menggodanya saat ia menggambar sesosok pria. Ia marah luar biasa
saat tahu bahwa aku diam-diam sedang mengintipnya. Bukan kepedean, tapi wajah
yang digambar oleh Latifah itu sangat persis dengan wajahku. Apalagi titik
hitam yang ia taruh di atas hidungnya. Buku “Harry Potter” di tangannya. Itu
semua semakin memperkuat dugaanku. Bahwa itu aku?
Aku kumpulkan pecahannya. Aku tentu sangat hafal dengan cermin
itu. Cermin itu sering dipakai teman-temannya saat guru belum datang ke kelas.
Bentuknya hati. Besarnya hanya segenggam tangan orang dewasa. Bingkainya
berwarna pink. Cantik. Tentu aku sangat bingung jika aku harus mengganti cermin
itu dengan bentuk yang sama. Mau dicari dimana? Pernah aku mengembalikan
cerminnya itu dengan cermin biasa. Warnanya biru. Namun ia menolak. Ia hanya
diam saja saat aku menyodorkan. Esoknya, aku berikan lagi cermin biasa berwarna
pink. Bentuknya persegi. Wajahnya semakin cemberut.
“Aku tak bisa mencari cermin yang sama persis dengan milikmu
itu. Aku juga tidak mungkin menyatukan kembali pecahannya. Aku hanya berharap
kamu bisa memaafkan kesalahanku.” Tiga kalimat yang aku tulis dalam surat
untuknya. Aku bungkus dengan amplop berwarna putih. Tertulis di atas amplopnya
sebaris namaku. Lukman Hakim. Ah, memang terkesan seperti anak putih biru. Tapi
ini jalan terakhirku setelah pesan singkatku yang tak pernah dibalas, telepon
dariku ia putus. Dan permintaan maafku yang selalu ia abaikan.
Dinda, teman dekatnya yang aku titipkan surat, menghampiriku di
parkiran selepas sekolah. Dia membawa surat balasan dari Latifah, tiga hari
berselang dari surat pemberianku. Aku sengaja membukanya di kamar. Aku tarik
secarik kertas putih dari amplopnya. Warna pink. Aku tersenyum geli. “Hey….Aku
ini laki-laki!” Batinku memberontak.
Aku tekejut. Rasa heran menyergap isi kepalaku. Isi kertas itu
ternyata hanya sebuah gambar. Ya. Gambar cermin berbentuk hati yang telah aku
pecahkan minggu lalu. Aku tak mengerti apa maksud Latifah? Bukankah aku sudah
bilang bahwa aku tak bisa mengganti cermin miliknya? Harus aku cari kemana
lagi? Apa dia sengaja ingin terus meneror pikiranku dengan gambar ini? Agar aku
terus menerus dihantui rasa bersalah? Kalau saja ia tahu cermin itu telah
menggerogoti benang-benang saraf di otakku. Cermin hati dan cermin hati yang
selalu ada di kepalaku sampai saat ini. Mungkin sampai kapan aku tak tahu. Kini
aku hanya mampu merebahkan tubuh lelahku di atas kasur. Dan mataku mulai
menitik.
ka vinaaa ini maksudnya gimana? haha. keren ����
BalasHapusHha lagi niru gaya-gaya tulisan ambigu aja. :) Mana dong share tulisan kamu cantik. Ada blog kan? mau liat :*
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus