Minggu, 26 Oktober 2014

Cermin Hati Di Otakku


Motorku menderit di depan toko berwarna pink. Aku tanggalkan helm hitamku pada spion . Gigiku beradu. Sedikit kesal. Aku tahu ini sangat memalukan. Tapi aku tak peduli. Ini semua harus aku lakukan demi menjaga  predikat maskulinku yang dikoyak-koyak oleh perempuan aneh itu. Perlahan aku turun dari motor. Refleks aku rapikan rambut dengan jari. Ini memang sudah kebiasaanku selepas berkendara motor.

Tak perlu mengucapkan salam. Tak ada waktu untuk sekedar melihat bermacam-macam boneka, dompet wanita, jepitan, dan semua yang tak mampu korneaku tangkap di ruangan serba pink itu. Dan ups, lengan kananku tak sengaja mengusik sebuah benda lalu terjatuh. Lagi-lagi penyakit sembronoku kambuh.

“Ya ampun.” Aku bantingkan badanku setengah jongkok. “Apa ini?” Batinku bertanya. Dari bentuknya aku mengira itu adalah sebuah benda yang pernah dipakai Annisa, adik perempuanku jika ke sekolah. Hah. Konyol. Ini baru pertama kali aku menyentuh ikat rambut wanita. Aku menggeleng.

“Mau cari apa Mas, ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang perempuan penjaga toko yang berhasil menghancurkan lamunanku. Aku bergegas berdiri.

“Saya mau mencari cermin berwarna pink, Mbak. Eh, maksud saya cermin itu bungkusnya warna pink. Pokoknya ada warna pink nya Mbak. Terus bentuknya hati ya Mbak. Ada?”

“Em? Bentuknya hati ya Mas? Lagi kosong tuh Mas.” Tukasnya cepat.


“Oh kalau begitu terima kasih Mbak, saya permisi.” Aku tersenyum datar. Membalikkan badan dan melangkah keluar. Sangat kecewa.

“Mas Mas! Cermin yang ini saja Mas, ini juga warna pink. Bagus. Buat pacarnya ya Mas?” Perempuan itu ternyata mengejarku. Aku berhenti dan memutar arah lagi.

“Tidak Mbak maaf, saya cari yang bentuknya hati.” Dengan ketus aku melanjutkan langkah menuju pintu keluar.Tapi jengkelnya perempuan itu masih saja memanggilku.

“Ada apa lagi Mbak? Saya kan sudah bilang, saya cari cermin yang…”

“Nggak Mas. Bukan itu.” Jawab perempuan itu memotong kalimatku yang belum rampung. Dia menunjuk ke arah tangan kananku.

“Astagfirullah, maaf Mbak saya lupa. Ini tadi kebawa.” Aku tersenyum malu. Ternyata dari tadi tanganku masih menggenggam ikat rambut yang kujatuhkan beberapa menit lalu. Perempuan itu menghela nafas. Matanya sedikit sinis saat meraih kemasan plastik transparan dari tanganku. Aku keluar mendekati motor. Ah. Baru saja wajahku seperti ditinju-tinju. Aku tutup kaca helmku. Lalu tancap gas pulang ke rumah.

Mataku menatap nanar langit-langit kamar. Menyisir setiap sudut  ruang. Aku tak percaya tempurung kepalaku hanya teriisi oleh “cermin hati berwarna pink”. Seperti hariku telah dikutuk oleh benda itu. Apa oleh pemiliknya? Latifah?

Latifah memang sangat menyebalkan bagiku. Seminggu yang lalu aku tak sengaja memecahkan cerminnya. Padahal ini tak sepenuhnya salahku. Dia yang salah menaruh cermin sembarangan di ujung meja. Saat itu aku hanya sedang belari menuju kursiku di barisan belakang. Lalu tak sengaja tubuhku menyenggol mejanya. Hingga cermin miliknya itu jatuh dan pecah. Suara pecahnya nyaris membuat kelas senyap. Namun beberapa detik kemudian isak tangis Latifah memecah keheningan.

Tubuhku bagaikan air di rawa-rawa. Tak bergerak. Matanya dan mataku saling beradu. Bola mata coklatnya meleleh. Aku lihat air matanya berlompatan. Baru kali ini aku melihatnya menangis setelah dua tahun bersama di kelas. Tak kulihat lagi lesung pipinya yang manis. Tangan kanannya menuju kepala. Ia tarik jilbab putihnya ke belakang. Sampai terlihat sempurna alis hitam pekatnya yang sempat tertutup.

“Aku minta maaf. Aku tidak sengaja, Latifah..?” keluhku padanya sambil kucoba merapikan pecahannya.

Namun gadis berjilbab putih itu langsung menghilang dalam pandangan. Aku mendengar banyak kalimat yang terlontar dari teman-teman. Tercium aroma mengancam agar aku mengganti cermin milik Latifah itu. Bahkan ada yang sempat memakiku karena aku sembrono. Aku tahu. Aku faham. Latifah bukan wanita sembarangan di kelas. Latifah terkenal ramah. Nyaris tak ada cacat yang ia punya di mata teman-teman sekelas. Selain cantik, ia juga pintar menggambar. Aku sempat menggodanya saat ia menggambar sesosok pria. Ia marah luar biasa saat tahu bahwa aku diam-diam sedang mengintipnya. Bukan kepedean, tapi wajah yang digambar oleh Latifah itu sangat persis dengan wajahku. Apalagi titik hitam yang ia taruh di atas hidungnya. Buku “Harry Potter” di tangannya. Itu semua semakin memperkuat dugaanku. Bahwa itu aku?

Aku kumpulkan pecahannya. Aku tentu sangat hafal dengan cermin itu. Cermin itu sering dipakai teman-temannya saat guru belum datang ke kelas. Bentuknya hati. Besarnya hanya segenggam tangan orang dewasa. Bingkainya berwarna pink. Cantik. Tentu aku sangat bingung jika aku harus mengganti cermin itu dengan bentuk yang sama. Mau dicari dimana? Pernah aku mengembalikan cerminnya itu dengan cermin biasa. Warnanya biru. Namun ia menolak. Ia hanya diam saja saat aku menyodorkan. Esoknya, aku berikan lagi cermin biasa berwarna pink. Bentuknya persegi. Wajahnya semakin cemberut.

“Aku tak bisa mencari cermin yang sama persis dengan milikmu itu. Aku juga tidak mungkin menyatukan kembali pecahannya. Aku hanya berharap kamu bisa memaafkan kesalahanku.” Tiga kalimat yang aku tulis dalam surat untuknya. Aku bungkus dengan amplop berwarna putih. Tertulis di atas amplopnya sebaris namaku. Lukman Hakim. Ah, memang terkesan seperti anak putih biru. Tapi ini jalan terakhirku setelah pesan singkatku yang tak pernah dibalas, telepon dariku ia putus. Dan permintaan maafku yang selalu ia abaikan.

Dinda, teman dekatnya yang aku titipkan surat, menghampiriku di parkiran selepas sekolah. Dia membawa surat balasan dari Latifah, tiga hari berselang dari surat pemberianku. Aku sengaja membukanya di kamar. Aku tarik secarik kertas putih dari amplopnya. Warna pink. Aku tersenyum geli. “Hey….Aku ini laki-laki!” Batinku memberontak.

Aku tekejut. Rasa heran menyergap isi kepalaku. Isi kertas itu ternyata hanya sebuah gambar. Ya. Gambar cermin berbentuk hati yang telah aku pecahkan minggu lalu. Aku tak mengerti apa maksud Latifah? Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tak bisa mengganti cermin miliknya? Harus aku cari kemana lagi? Apa dia sengaja ingin terus meneror pikiranku dengan gambar ini? Agar aku terus menerus dihantui rasa bersalah? Kalau saja ia tahu cermin itu telah menggerogoti benang-benang saraf di otakku. Cermin hati dan cermin hati yang selalu ada di kepalaku sampai saat ini. Mungkin sampai kapan aku tak tahu. Kini aku hanya mampu merebahkan tubuh lelahku di atas kasur. Dan mataku mulai menitik.


3 komentar:

  1. ka vinaaa ini maksudnya gimana? haha. keren ����

    BalasHapus
  2. Hha lagi niru gaya-gaya tulisan ambigu aja. :) Mana dong share tulisan kamu cantik. Ada blog kan? mau liat :*

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Pages - Menu