Haris Maulana Penderita Hidrosefalus |
Sungguh.
Aku tidak tahu ini hanya kebetulan atau memang sudah takdir Tuhan. Aku harus dipertemukan
dengan seorang anak yang menderita hidrosefalus. Awalnya, aku menganggap ini
hanya sesuatu yang remeh. Jelas, tujuanku hanya satu. Ya.Mendapat berita
feature (kisah) untuk aku serahkan kepada dosen sebelum UAS 26 Desember
mendatang. Sebagai tugas mata kuliah praktikum jurnalistikku di kampus. Aku
tidak terlalu peduli esensi berita itu sendiri. Yang penting bagiku, tugasku selesai.
Ya. Hanya itu.
Waktu
itu, temanku Lathif yang menyarankan agar aku meliput berita tersebut. Bahkan sejak
jauh-jauh hari sebelumnya. Hah. Aku berfikir, apa itu akan menjadi nilai berita
yang WAH nantinya? Apa berita “seperti itu” bisa nyangkut di Koran? Heyy….bocah
penderita kepala air seperti itu sudah sangat sering muncul di televisi kawan??
Mainstream bukan..?
Akhirnya karena “fikiran iblisku” itu, aku
menunda-nunda hingga berhari-hari lamanya. Dan Jumat (19/12) bulat aku
rencanakan untuk menuju lokasi. Dan mungkin ini adalah teguran Tuhan, temanku
yang bersedia mengantarkanku sejak kemarin, ia berhalangan. Pikiranku mulai
kacau, aku layangkan pesan singkat kepada temanku yang lainnya yang kebetulan
tahu dimana lokasi tempat tinggal anak tersebut. Namun nihil, ia juga tidak
bisa mengantarkanku.
Setelah
itu, aku meminta alamatnya kepada temanku yang baru saja aku sms. Karena Tuhan
juga tahu aku seorang penakut yang tidak punya nyali ke tempat asing sendirian,
Alhamdulillah dengan kesediaan temanku Reni untuk mengantarku, sekitar pukul
10.00 WIB kita berangkat. Hanya beberapa ratus meter saja dari kampusku, dengan
satu kali naik kendaraan angkutan umum kita sampai. Kita turun di pinggir jalan
raya. Tepat di depan kami underpass kokoh yang usianya masih seumur jagung. Namun
ternyata setelah bertanya kepada orang sekitar, mereka bilang, lokasi rumah
anak tersebut cukup jauh dari jalan raya tersebut.
Kau
tahu bagaimana terik panas di tengah hari yang membakar kulit dan menusuk
tulang? Ya, seperti itulah. Kita harus berjalan lagi sekitar 100 meter sambil
ditampar-tampar panas matahari. Melelehkan setiap pori-pori kulit. Di atas
aspal panas yang agak rusak, kami memasuki sebuah tempat yang hanya ditumbuhi
sedikit rumput kering di sekitarnya.
Sangat luas. Hening diringkuk sepi. Kami juga melihat telah berdiri kokoh di
sebelah pintu masuknya dua buah apartemen mewah yang sepertinya baru diisi oleh
segelintir orang. Nampaknya usia bangunan itu masih sangat belia.
Dan
aku tidak peduli. Mengingat perjalanan kami masih cukup jauh, derap langkah
kami percepat. Sudah lama kita berjalan namun sepi. Tentu tidak ada seorang pun
yang bisa kita tanya. Syukurlah beberapa saat kemudian kami melihat ada satu rumah
sederhana dengan dua orang ibu-ibu sedang berdiri di depannya. Setelah
menanyakan apa maksud dan tujuan kami, Alhamdulillah mereka tahu dan salah satu
ibu-ibu itu bersedia mengantarkan kami ke lokasi. Dengan sebatang rokok yang
masih sempurna bentuknya, ia jepit dengan kedua bibirnya itu, dan berjalan
sekitar 10 langkah di depan kami. Aku sempat merasa bersalah karena Reni
mengeluh kakinya sedikit lecet akibat perjalanan yang cukup jauh tadi.
Kami
menuruni alas tanah yang sedikit licin. Saling menuntun satu sama lain. Keringatku
mulai berlompatan. Dan entah kenapa dadaku berdegup lebih kencang. Ternyata ada
satu kampung kumuh di tengah hiruk pikuk kota Bogor ini. Jujur saja, ini kali
pertamaku menginjakkan kaki di tempat kumuh seperti ini. Hatiku mulai terenyuh.
Aroganku mulai melemah. Kami terus menyusuri satu dua rumah yang bagi kami itu
sangat tidak layak. Hanya dibangun oleh kayu-kayu, dicampur triplek, kardus dan
ah…mataku tak sanggup menerima. Apalagi rumah-rumah mereka itu di samping
sungai. Bagaimana jika terjadi longsor? Bagaimana jika nanti terkena banjir? Ya
Allah………..
Aku
menunduk. Seorang ibu yang tadi mengantarkan kami, menunjuk salah satu rumah.
Alhamdulillah, ternyata kami sudah sampai. Aku menarik tangan Reni yang
berjalan di depanku. Aku berteriak kecil, aku bilang kepadanya bahwa aku takut
tidak sanggup melihat anak itu. Dan benar saja, aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri, anak kecil yang (maaf) kepalanya sangat besar tengah
tergeletak di atas kasur. Semua suara seperti tersekat di tenggorokan. Ujung
mataku mulai basah. Aku tahan sekuat mungkin agar tidak menangis.
Setelah
berbincang sebentar, kami dipersilahkan masuk oleh sang ibu. Anaknya itu
bernama Haris Maulana, ia masih sangat kecil. Usianya baru dua tahun. Ia
menderita sakit hidrosefalus sejak lahir. Namun belum mendapat penanganan
serius karena terbentur biaya. Ayahnya hanya seorang pemulung barang rongsokan
dan buruh bangunan. Itu pun jika mendapat tawaran. Penghasilannya hanya sekitar
30-40 ribu per hari. Selama ini Haris hanya dibantu oleh sebotol obat yang
harganya 100.000/ botol dan itu habis dalam jangka waktu 5 hari saja. Sampai
saat ini, belum ada perhatian serius dari pemerintah setempat. Hanya peran
segelintir donatur yang tidak menentu ada, yang ikut berbela sungkawa
membelikan susu, pampers, atau sedikit uang. Sekali lagi, para donatur itu
tidak menentu adanya. Saran dokter, ia harus dioperasi dan itu tidak cukup
hanya sekali, namun seumur hidup. Lagi-lagi karena terbentur biaya yang sangat
besar, akhirnya orang tuanya hanya bisa pasrah dan berusaha semampunya.
Barisan
pertanyaan yang telah aku siapkan telah ibunya jawab. Aku lihat. Aku lihat
matanya terus berkaca-kaca seiring berkata. Walau ia berusaha mematahkannya
dengan ulasan senyum sederhana. Aku meminta izin kepada sang ibu untuk
menyentuh Haris. Aku usap pipinya dan berdoa semampuku dalam hati. Ibunya
menekan ubun-ubun Haris sampai kulit kepalanya nampak menjorok ke dalam. “Tuh Kak,
lembek..”, ujar sang ibu kepadaku.
Astagfirullah….. Aku terkejut. Hatiku menjerit melihatnya. Terasa nyeri
seluruh gumpalan hati. Aku tahan lagi sekuat mungkin agar mataku tidak meleleh.
Bisa apa diriku? Bisa apa!?
Hening.
Sejenak mulut kami terbungkam melihat realita ini. Seperti saling beradu antara
teriakan ampun dan kesedihan yang menonjok-nojok dada kami hingga terasa sesak.
Kami pamit. Dalam perjalanan pulang kami berharap, semoga berita ini bisa
menelusup relung hati orang-orang yang lebih dari cukup hartanya. Mengusik
dinding kalbu pemerintah untuk lebih peduli terhadap rakyatnya yang miskin. Membangkitkan
kepekaan sosial mereka yang lama pingsan karena dilempar oleh kemewahan dan
jabatan.
Terakhir,
semoga Allah meridhai setip langkah kita menuju kebaikan. Aaamiin…
Wallahu
Yasyfiik Ananda Haris…..
Salam
cinta untukmu dari kami semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar