Sabtu, 20 Desember 2014

Allahu Yasyfiika Ananda Haris

Haris Maulana Penderita Hidrosefalus
Sungguh. Aku tidak tahu ini hanya kebetulan atau memang sudah takdir Tuhan. Aku harus dipertemukan dengan seorang anak yang menderita hidrosefalus. Awalnya, aku menganggap ini hanya sesuatu yang remeh. Jelas, tujuanku hanya satu. Ya.Mendapat berita feature (kisah) untuk aku serahkan kepada dosen sebelum UAS 26 Desember mendatang. Sebagai tugas mata kuliah praktikum jurnalistikku di kampus. Aku tidak terlalu peduli esensi berita itu sendiri. Yang penting bagiku, tugasku selesai. Ya. Hanya itu.
Waktu itu, temanku Lathif yang menyarankan agar aku meliput berita tersebut. Bahkan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Hah. Aku berfikir, apa itu akan menjadi nilai berita yang WAH nantinya? Apa berita “seperti itu” bisa nyangkut di Koran? Heyy….bocah penderita kepala air seperti itu sudah sangat sering muncul di televisi kawan?? Mainstream bukan..?
Akhirnya  karena “fikiran iblisku” itu, aku menunda-nunda hingga berhari-hari lamanya. Dan Jumat (19/12) bulat aku rencanakan untuk menuju lokasi. Dan mungkin ini adalah teguran Tuhan, temanku yang bersedia mengantarkanku sejak kemarin, ia berhalangan. Pikiranku mulai kacau, aku layangkan pesan singkat kepada temanku yang lainnya yang kebetulan tahu dimana lokasi tempat tinggal anak tersebut. Namun nihil, ia juga tidak bisa mengantarkanku.
Setelah itu, aku meminta alamatnya kepada temanku yang baru saja aku sms. Karena Tuhan juga tahu aku seorang penakut yang tidak punya nyali ke tempat asing sendirian, Alhamdulillah dengan kesediaan temanku Reni untuk mengantarku, sekitar pukul 10.00 WIB kita berangkat. Hanya beberapa ratus meter saja dari kampusku, dengan satu kali naik kendaraan angkutan umum kita sampai. Kita turun di pinggir jalan raya. Tepat di depan kami underpass kokoh yang usianya masih seumur jagung. Namun ternyata setelah bertanya kepada orang sekitar, mereka bilang, lokasi rumah anak tersebut cukup jauh dari jalan raya tersebut.
Kau tahu bagaimana terik panas di tengah hari yang membakar kulit dan menusuk tulang? Ya, seperti itulah. Kita harus berjalan lagi sekitar 100 meter sambil ditampar-tampar panas matahari. Melelehkan setiap pori-pori kulit. Di atas aspal panas yang agak rusak, kami memasuki sebuah tempat yang hanya ditumbuhi sedikit  rumput kering di sekitarnya. Sangat luas. Hening diringkuk sepi. Kami juga melihat telah berdiri kokoh di sebelah pintu masuknya dua buah apartemen mewah yang sepertinya baru diisi oleh segelintir orang. Nampaknya usia bangunan itu masih sangat belia.
Dan aku tidak peduli. Mengingat perjalanan kami masih cukup jauh, derap langkah kami percepat. Sudah lama kita berjalan namun sepi. Tentu tidak ada seorang pun yang bisa kita tanya. Syukurlah beberapa saat kemudian kami melihat ada satu rumah sederhana dengan dua orang ibu-ibu sedang berdiri di depannya. Setelah menanyakan apa maksud dan tujuan kami, Alhamdulillah mereka tahu dan salah satu ibu-ibu itu bersedia mengantarkan kami ke lokasi. Dengan sebatang rokok yang masih sempurna bentuknya, ia jepit dengan kedua bibirnya itu, dan berjalan sekitar 10 langkah di depan kami. Aku sempat merasa bersalah karena Reni mengeluh kakinya sedikit lecet akibat perjalanan yang cukup jauh tadi.
Kami menuruni alas tanah yang sedikit licin. Saling menuntun satu sama lain. Keringatku mulai berlompatan. Dan entah kenapa dadaku berdegup lebih kencang. Ternyata ada satu kampung kumuh di tengah hiruk pikuk kota Bogor ini. Jujur saja, ini kali pertamaku menginjakkan kaki di tempat kumuh seperti ini. Hatiku mulai terenyuh. Aroganku mulai melemah. Kami terus menyusuri satu dua rumah yang bagi kami itu sangat tidak layak. Hanya dibangun oleh kayu-kayu, dicampur triplek, kardus dan ah…mataku tak sanggup menerima. Apalagi rumah-rumah mereka itu di samping sungai. Bagaimana jika terjadi longsor? Bagaimana jika nanti terkena banjir? Ya Allah………..
Aku menunduk. Seorang ibu yang tadi mengantarkan kami, menunjuk salah satu rumah. Alhamdulillah, ternyata kami sudah sampai. Aku menarik tangan Reni yang berjalan di depanku. Aku berteriak kecil, aku bilang kepadanya bahwa aku takut tidak sanggup melihat anak itu. Dan benar saja, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, anak kecil yang (maaf) kepalanya sangat besar tengah tergeletak di atas kasur. Semua suara seperti tersekat di tenggorokan. Ujung mataku mulai basah. Aku tahan sekuat mungkin agar tidak menangis.
Setelah berbincang sebentar, kami dipersilahkan masuk oleh sang ibu. Anaknya itu bernama Haris Maulana, ia masih sangat kecil. Usianya baru dua tahun. Ia menderita sakit hidrosefalus sejak lahir. Namun belum mendapat penanganan serius karena terbentur biaya. Ayahnya hanya seorang pemulung barang rongsokan dan buruh bangunan. Itu pun jika mendapat tawaran. Penghasilannya hanya sekitar 30-40 ribu per hari. Selama ini Haris hanya dibantu oleh sebotol obat yang harganya 100.000/ botol dan itu habis dalam jangka waktu 5 hari saja. Sampai saat ini, belum ada perhatian serius dari pemerintah setempat. Hanya peran segelintir donatur yang tidak menentu ada, yang ikut berbela sungkawa membelikan susu, pampers, atau sedikit uang. Sekali lagi, para donatur itu tidak menentu adanya. Saran dokter, ia harus dioperasi dan itu tidak cukup hanya sekali, namun seumur hidup. Lagi-lagi karena terbentur biaya yang sangat besar, akhirnya orang tuanya hanya bisa pasrah dan berusaha semampunya.
Barisan pertanyaan yang telah aku siapkan telah ibunya jawab. Aku lihat. Aku lihat matanya terus berkaca-kaca seiring berkata. Walau ia berusaha mematahkannya dengan ulasan senyum sederhana. Aku meminta izin kepada sang ibu untuk menyentuh Haris. Aku usap pipinya dan berdoa semampuku dalam hati. Ibunya menekan ubun-ubun Haris sampai kulit kepalanya nampak menjorok ke dalam. “Tuh Kak, lembek..”, ujar sang ibu kepadaku.  Astagfirullah….. Aku terkejut. Hatiku menjerit melihatnya. Terasa nyeri seluruh gumpalan hati. Aku tahan lagi sekuat mungkin agar mataku tidak meleleh. Bisa apa diriku? Bisa apa!?
Hening. Sejenak mulut kami terbungkam melihat realita ini. Seperti saling beradu antara teriakan ampun dan kesedihan yang menonjok-nojok dada kami hingga terasa sesak. Kami pamit. Dalam perjalanan pulang kami berharap, semoga berita ini bisa menelusup relung hati orang-orang yang lebih dari cukup hartanya. Mengusik dinding kalbu pemerintah untuk lebih peduli terhadap rakyatnya yang miskin. Membangkitkan kepekaan sosial mereka yang lama pingsan karena dilempar oleh kemewahan dan jabatan.
Terakhir, semoga Allah meridhai setip langkah kita menuju kebaikan. Aaamiin…
Wallahu Yasyfiik Ananda Haris…..
Salam cinta untukmu dari kami semua.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu