Di balik layar televisi. Kami hanya mampu menopang dagu.
Alangkah hati merasa iba melihat saudara-saudara kami di Sumatera sana tengah
tertimpa bencana. Bahkan menurut berita dari BNPB (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana) ada seribu titik api lebih di Sumatera dan Kalimantan. Ah,
benarkah ini bencana? Atau memang kejahatan yang terencana? Lalu ini ulah siapa?
Ada apa di balik ini semua? Ada siapa di belakang kejadian ini?
Terus terang, aku kurang begitu faham dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi
disana. Benarkah ini akibat kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh
oknum-oknum yang berusaha mereguk keuntungan? Astagfirullah. Aku merasa
bersalah jika mengaku sebagai saudara tapi tidak tahu menahu dengan apa yang
dialami saudaranya. L
Setiap kejadian (rutin) kabut
asap ini, pihak berwenang selalu mengumumkan (katanya) berhasil menangkap
pembakarnya bahkan sampai ratusan. Lalu setelah itu tidak terdengar lagi
kelanjutannya. Seperti asap ditelan
langit. Hilang begitu saja. Apa hukuman bagi mereka? Seberat apa? Ini jelas-jelas
tindakan kriminal yang merugikan Negara. Sebenarnya siapa yang ada di balik
semua ini? Lalu bagaimana dengan nasib dan kesehatan rakyat yang dijadikan
tumbal? Mau sampai kapan dibiarkan seperti ini? Astagfirullah…
Yang jelas, kami disini merasakan kesedihan ketika sampai di
telinga kami, bahwa ribuan jiwa disana mengalami sakit akibat terkena infeksi
saluran pernafasan atau ISPA. Kami juga pilu saat menerima kabar bahwa
siswa-siswa harus mengenakan masker bahkan saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung. Ya. Memang seharusnya mereka memakai masker khususnya ketika
berada di luar rumah. Tapi mendengarnya pun terasa kami ikut merasakan sesak.
Kami tak dapat membayangkan kabut asap berbahaya menyelimuti
kota. Bagaimana jadinya? Kami prihatin. Kami turut berduka cita. Kami berdoa
semoga saudara-saudara kami disana tetap sabar dan kuat. Beberapa pekan yang
lalu, ah, mungkin sudah sebulan lebih. Aku ikut bahagia ketika mendengar kabar
dari kakak iparku di Riau. Bahwa disana sudah turun hujan lebat. Aktivitas
penerbangan mulai pulih dan asap mulai mereda. Tapi itu hanya sebentar. Sedang
saat ini asap dan kabut yang lebih parah terjadi di Palembang. Ya. Menurut
berita yang aku baca dan lihat di televisi. Untuk perkembangan selanjutnya,
kita bisa lihat di televisi dan media lainnya. Mudah-mudahan ujian ini cepat
usai. Dan kalian disana senantiasa diberi keselamatan dan kesehatan. Aaamiin.
Kemarau ini, kami disini pun mengalami kekeringan. Air sumur
mulai surut. Bahkan di tengah Pulau Jawa sana sudah lama mengalami kekeringan.
Kami sangat menantikan diturunkannya hujan, sama halnya dengan harapan kalian
disana wahai saudaraku.
Buka mata dan akuilah bahwa saat ini Indonesia bukan lagi Negeri
Agraris. Jangankan membayangkan asap dan kabut di Sumatera sana. Menghirup asap
kendaraan di jalan pun sudah sesaknya minta ampun.Tadi pagi, pukul 07.00 WIB. Jalanan
sudah padat merayap. Mata perih. Kepala pening. Hidung tersumbat bau asap yang sangat
menyengat. Tak terasa hangatnya mentari apalagi udara sejuk. Yang ada kami
ingin muntah menghirup karbon monoksida mengepul menusuk lubang hidung.
Akhirnya, kami para pelajar sudah mabuk terlebih dahulu ketika sampai di
sekolah. Pagi-pagi badan basah keringat, padahal berangkat dari rumah penuh
dengan semangat.
Kini asap sudah menjadi asupan (racun) sehari-hari bagi kita.
Tapi ternyata tidak hanya di jalanan kita dikepung asap. Dalam ruangan dan
tempat-tempat umum pun kita lebih tersiksa. Asap rokok berkali-kali menelusup
hidung hingga rongga dada. Entah sudah seperti apa bentuk dan warna paru-paru
di dalam tubuh kita ini. Paru-paru dunia di Indonesia saja sudah tinggal abu.
Wallahu ‘Alam kedepannya Negara Indonesia ini seperti apa. Jika terus menerus
dibiarkan seperti ini, Indonesia puluhan tahun kedepan mungkin hanya akan
menjadi bagian dari sejarah dunia. Dalam tanda kutip, “YANG KELAM”.
Ah ironis. Dulu di buku Geografi Sekolah Dasarku tertulis bahwa
Indonesia Itu Negeri Agraris. Nampaknya anak-anak sekarang tidak tahu akan hal
itu. Bagaimana tidak? Apa penulis di penerbit buku tidak malu masih mengatakan Indonesia
Itu Negeri Agraris? Atau jika dipaksa harus tertulis demi menciptakan aroma
nostalgia, anak-anak tidak bisa begitu saja percaya. Mereka pasti bilang, “Pak
Guru ah masa?” Karena mereka pun merasakan ketirnya realita yang ada.
Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah. Mari kita terus berdoa agar Allah senantiasa memelihara Indonesia dan ratusan juta bangsanya. Mudah-mudahan dijadikan Negeri kita ini Negeri yang aman dan tenteram. Aamiin Ya Mujiiba Saa’iliin. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar