Jumat, 26 September 2014

Indonesia Negeri Asbut

Di balik layar televisi. Kami hanya mampu menopang dagu. Alangkah hati merasa iba melihat saudara-saudara kami di Sumatera sana tengah tertimpa bencana. Bahkan menurut berita dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) ada seribu titik api lebih di Sumatera dan Kalimantan. Ah, benarkah ini bencana? Atau memang kejahatan yang terencana? Lalu ini ulah siapa? Ada apa di balik ini semua? Ada siapa di belakang kejadian  ini?

Terus terang, aku kurang begitu faham  dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi disana. Benarkah ini akibat kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berusaha mereguk keuntungan? Astagfirullah. Aku merasa bersalah jika mengaku sebagai saudara tapi tidak tahu menahu dengan apa yang dialami saudaranya. L

Setiap kejadian (rutin) kabut asap ini, pihak berwenang selalu mengumumkan (katanya) berhasil menangkap pembakarnya bahkan sampai ratusan. Lalu setelah itu tidak terdengar lagi kelanjutannya.  Seperti asap ditelan langit. Hilang begitu saja. Apa hukuman bagi mereka? Seberat apa? Ini jelas-jelas tindakan kriminal yang merugikan Negara. Sebenarnya siapa yang ada di balik semua ini? Lalu bagaimana dengan nasib dan kesehatan rakyat yang dijadikan tumbal? Mau sampai kapan dibiarkan seperti ini? Astagfirullah…

Yang jelas, kami disini merasakan kesedihan ketika sampai di telinga kami, bahwa ribuan jiwa disana mengalami sakit akibat terkena infeksi saluran pernafasan atau ISPA. Kami juga pilu saat menerima kabar bahwa siswa-siswa harus mengenakan masker bahkan saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Ya. Memang seharusnya mereka memakai masker khususnya ketika berada di luar rumah. Tapi mendengarnya pun terasa kami ikut merasakan sesak.

Kami tak dapat membayangkan kabut asap berbahaya menyelimuti kota. Bagaimana jadinya? Kami prihatin. Kami turut berduka cita. Kami berdoa semoga saudara-saudara kami disana tetap sabar dan kuat. Beberapa pekan yang lalu, ah, mungkin sudah sebulan lebih. Aku ikut bahagia ketika mendengar kabar dari kakak iparku di Riau. Bahwa disana sudah turun hujan lebat. Aktivitas penerbangan mulai pulih dan asap mulai mereda. Tapi itu hanya sebentar. Sedang saat ini asap dan kabut yang lebih parah terjadi di Palembang. Ya. Menurut berita yang aku baca dan lihat di televisi. Untuk perkembangan selanjutnya, kita bisa lihat di televisi dan media lainnya. Mudah-mudahan ujian ini cepat usai. Dan kalian disana senantiasa diberi keselamatan dan kesehatan. Aaamiin.

Kemarau ini, kami disini pun mengalami kekeringan. Air sumur mulai surut. Bahkan di tengah Pulau Jawa sana sudah lama mengalami kekeringan. Kami sangat menantikan diturunkannya hujan, sama halnya dengan harapan kalian disana wahai saudaraku.

Buka mata dan akuilah bahwa saat ini Indonesia bukan lagi Negeri Agraris. Jangankan membayangkan asap dan kabut di Sumatera sana. Menghirup asap kendaraan di jalan pun sudah sesaknya minta ampun.Tadi pagi, pukul 07.00 WIB. Jalanan sudah padat merayap. Mata perih. Kepala pening. Hidung tersumbat bau asap yang sangat menyengat. Tak terasa hangatnya mentari apalagi udara sejuk. Yang ada kami ingin muntah menghirup karbon monoksida mengepul menusuk lubang hidung. Akhirnya, kami para pelajar sudah mabuk terlebih dahulu ketika sampai di sekolah. Pagi-pagi badan basah keringat, padahal berangkat dari rumah penuh dengan semangat.

Kini asap sudah menjadi asupan (racun) sehari-hari bagi kita. Tapi ternyata tidak hanya di jalanan kita dikepung asap. Dalam ruangan dan tempat-tempat umum pun kita lebih tersiksa. Asap rokok berkali-kali menelusup hidung hingga rongga dada. Entah sudah seperti apa bentuk dan warna paru-paru di dalam tubuh kita ini. Paru-paru dunia di Indonesia saja sudah tinggal abu. Wallahu ‘Alam kedepannya Negara Indonesia ini seperti apa. Jika terus menerus dibiarkan seperti ini, Indonesia puluhan tahun kedepan mungkin hanya akan menjadi bagian dari sejarah dunia. Dalam tanda kutip, “YANG KELAM”.

Ah ironis. Dulu di buku Geografi Sekolah Dasarku tertulis bahwa Indonesia Itu Negeri Agraris. Nampaknya anak-anak sekarang tidak tahu akan hal itu. Bagaimana tidak? Apa penulis di penerbit buku tidak malu masih mengatakan Indonesia Itu Negeri Agraris? Atau jika dipaksa harus tertulis demi menciptakan aroma nostalgia, anak-anak tidak bisa begitu saja percaya. Mereka pasti bilang, “Pak Guru ah masa?” Karena mereka pun merasakan ketirnya realita yang ada.

Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah. Mari kita terus berdoa agar Allah senantiasa memelihara Indonesia dan ratusan juta bangsanya. Mudah-mudahan dijadikan Negeri kita ini Negeri yang aman dan tenteram. Aamiin Ya Mujiiba Saa’iliin. Aamiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu