Jumat, 26 September 2014

Laki-laki, Jadilah Maskulin Sejati

Al-Qur’an secara frontal menjelaskan kepada kita. Bahwa laki-laki  adalah pemimpin kaum wanita (coba buka Surat An-Nisa ayat 34). Alasanku begitu berani mengambil makna alegoris dari ayat tersebut adalah rasa prihatin yang kian menjalar. Bahwa sangat sedikitnya kaum pria pada masa kini yang tidak berprikelaki-lakian. Yaitu pria yang tidak memiliki sifat atau sikap yang layak bagi seorang pria. Memang dapat dikatakan betul, kalau sosok laki-laki itu identik dengan sifat dasar mereka. Sebagaimana menurut para psikologi yaitu cuek, mengutamakan logika, praktis, harga diri, berfikir masa yang akan datang, mengutamakan hasil dan berfikir global. Tapi diluar itu semua, ada hal-hal kecil yang mereka abaikan tapi menjadi suatu penilaian penting bagi kaum perempuan.

Seiring waktu kita tak pernah berhenti belajar, betul? Membaca dalam Surat Al-Alaq bukan hanya bermakna membaca buku atau Al-Quran. Melainkan membaca sikap orang lain. Membaca diri kita masing-masing. Membaca alam kehidupan yang luas ini. Membaca perasaan orang lain. Membaca sekitar. Bacalah! iqra’!perhatikanlah! amatilah! observasilah! segala sesuatu yang bisa kita baca. Segala seuatu yang harus diperhatikan. Segala sesuatu yang layak kita jadikan observasi. (Bukan observasi fisik seperti cerita yang akan kita bahas di bawah ini ya). Maka ucapkanlah Maha Suci Allah yang telah menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup kita. J

Aku kira, tidak hanya kaum laki-laki yang sering menilai tindak tanduk perempuan. Tapi (pasti) ada perempuan yang sering memperhatikan laki-laki di sekitar mereka. Salah satunya adalah aku sendiri. YA. Bukan berarti aku mengabaikan perintah Allah, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya…..” Karena yang aku baca adalah sikap mereka. Yang aku perhatikan adalah akhlak mereka. Perbuatan dan segala tingkah laku kaum yang katanya SUPERIORITAS itu? Well. Aku tidak pernah setuju dengan itu. Di hadapan Allah, derajat kita, laki-laki maupun perempuan adalah sama. Yups, yang membedakan adalah iman dan ketakwaan kita. J

Hm..aku tidak begitu tertarik menilai satu persatu manusia lewat fisiknya. Secara fundamental toh fisik tidak lebih dari seonggok daging yang menyelimuti tulang. Cantik itu kan katanya relative? Tampan juga relative kan? Jadi biarkan saja yang lain menilai melalui porsi mereka masing-masing. Oke, sudah agak melenceng rupanya kita dari isi judul. Hhe..

Hipotesisku mengatakan bahwa laki-laki itu lebih pandai menilai seorang perempuan.   Khususnya apa-apa yang mereka lihat dengan mata telanjang. *Waw..Sedikit mengkhawatirkan ya. Oya, Aku jadi teringat dengan  teman laki-laki di kampusku. Bahkan kami sekelas. Cerita ini adalah salah satu bukti bahwa laki-laki cenderung menilai perempuan melaui fisiknya. Saat itu kami sedang duduk di depan kelas. Tentu itu tempat yang strategis melihat mahasiswa/i berlalu lalang. Sambil ngobrol-ngobrol, sebut saja ia si A. Ia tertawa kecil kepada teman di sampingnya yang juga temanku sekelas. Sebut saja si B. Aku agak aneh kepada sikap mereka yang tiba-tiba tertawa kecil ketika mahasiswi-mahasiswi berlalu di hadapan kami. Usut punya usut. Kepo punya kepo. Akhirnya aku selidiki apa yang mereka bicarakan itu. Karena kebetulan jarak kami hanya dipisahkan sekitar 4 atau 5 jengkol*Ups typo. Maksudnya jengkal. Jadi aku cukup menarik daun telingaku saja agar lebih terdengar. Well, aku tetap bisa pasang wajah calm and cool. :p

Kata si A kepada temannya dengan sedikit membisik tapi Alhamdulillah gak sia-sia telingaku dibuka lebar jadi terdengar, “Ini 70.” Eh, temannya justru tertawa, ia bilang,”65 65..Nah..yang ini nih..80”. Karena masih bingung, sst! Aku melirik sedikit. Mengikuti arah sorotan mereka. Astagfirullah..ternyata mereka sedang menilai mahasiswi yang dari tadi lewat. Please, jangan tanya aku dari sisi mana penilaian mereka. Tapi yang membuatku menelan ludah adalah saat si B mengatakan angka 80, tepat di depan mereka seorang perempuan yang………*sensor 18+. Aah sudahlah. *Observasi macam apakah itu? Tidak perlu diteruskan. Semoga ada hikmahnya aamiin.

Ok next. Yang aku perhatikan selama ini adalah ‘beberapa’ laki-laki telah kehilangan sisi kelaki-lakian mereka. Kembali ke awal. Banyak laki-laki yang lupa bahwa posisi mereka adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Ada sedikit hal dimana mereka melupakan bahwa pada saat itulah posisi mereka seharusnya ditempatkan. Laki-laki tidak hanya bertindak sebagai imam (pemimpin). Atau kepala rumah tangga dalam keluarga. Dalam konteks yang lebih kecil aku akan coba mengambil beberapa contoh dalam kehidupan sehari-hari yang sering dilupakan oleh para pria.

Yang pertama. Mungkin hal sepele  bagi kebanyakan orang. Tapi hal penting untukku. Ketika seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang hendak menyebrang jalan. Tapi siapa pun itu. Mau itu anak kecil, ibu-ibu, nenek atau kakek-kakek.*But ini bersifat kondisional ya!! Siapa pun itu. Maka ia (sepatutnya) selayaknya membantu mereka menyebrang.Wait..ini dalam posisi tidak ada jembatan penyebrangan atau zebra cross. Sekalipun ada zebra cross, kita tahu bahwa pengemudi tidak banyak yang sadar untuk menahan sebentar kemudinya. Lalu memberikan kesempatan untuk para pejalan kaki yang lewat.

Ini juga jadi poin kedua. Alangkah tampannya menurutku, ketika suatu waktu aku pernah menyebrang jalan bersama teman. Seorang laki-laki di atas motornya, rela berhenti sebentar membiarkan kami lewat. Dengan isyarat tangan yang mempersilahkan yang ia tunjukkan kepada kami.”Ini baru namanya laki-laki.” Gumamku dalam hati. Tidak peduli itu modus atau hanya pencitraan. Toh apa yang mau dibanggakan? Dia  pake helm. Faktanya kan sedikit laki-laki yang seperti itu. Bener gak?

Poin selanjutnya. Menurut kisah nyataku juga. Waktu itu aku berada di stasiun Bogor. Aku terenyuh melihat seorang nenek menyeret sekarung beras. Beliau kebetulan sudah melewati pintu e-ticketing. Sedangkan aku masih dalam antrian. Aku perhatikan sambil merasa kasihan. Sekitar dua langkah sang nenek berjalan sambil menyeret sekarung beras. Dari belakang menyambar sesosok laki-laki muda mencoba mengalihkan bawaan itu kepadanya. Sang nenek terlihat tersenyum. Dari jauh aku bersyukur nenek itu ada yang membantu. Aku fikir memang laki-laki itu adalah saudaranya atau cucunya. Tapi ternyata bukan. Ketika aku berdiri menunggu kereta di samping si nenek. Ia bilang kepada ibu-ibu di sampingnya,”Alhamdulillah tadi ada laki-laki gak dikenal yang bantu nenek bawa beras. Baik banget.” Dan bla-bla-bla aku gak ikut campur lagi dengan omongan antara nenek dan ibu itu. Yang jelas, subhanallah banget gak laki-laki seperti itu? Yang bilang itu mainstream sih terserah ya... J

So, apalagi ya. Hm.. ya. Laki-laki itu harusnya jangan membiarkan seorang perempuan ketika di angkutan umum duduk di dekat pintu. Kalau yang ini relatif dan kondisional. Tergantung posisi tempat duduk angkutannya. Yang aku maksudkan disini itu angkutan perkotaan yang bangkunya 6 4 itu loh? Paham ya?Terus kan biasanya ada bangku kecil yang muat dua orang kan ya deket pintu mobil itu? Ada laki-laki yang tidak peka membiarkan perempuan duduk di dekat pintu. Padahal ia bisa turun dulu lalu membiarkan si perempuan duduk di dalam. *Jadi gak deket-deket pintu banget gitu. Well, tapi pada tahu kan mobil angkot yang aku maksud? Kalau gak mudeng, main deh ke Bogor. Selain dijuluki Kota Sejuta Angkot. Gak main-main cara kemudinya yang sering ugal-ugalan. Kepengen nandingin Buraq kali yaa? Nah loh, disitu posisi perempuan sedikit terancam kalau dibiarkan duduk dekat pintu. Katanya laki-laki pemimpin kan ya? Jadi dia juga harus menjadi sosok yang melindungi. Kecuali…emang dasarnya si perempuan menolak dengan alasan tertentu. Ya gak dipaksa juga kali.

Terus terus teruss.. Laki-laki harus peka dong. Kalau di transportasi umum, usahakan lebih utamakan perempuan untuk duduk. But, ini berlaku bukan untuk perempuan aja. Tapi anak-anak, ibu-ibu, gadis sekalipun, orang tua yang sudah lanjut usia, nenek maupun kakek-kakek. Tumbuhkanlah rasa empati dan simpati dalam diri kita. PEKA COBA! Kurangi rasa cuek kalian itu.

Oke, mungkin itu hanya sebagian kecil contoh dari keseharian yang aku amati. Lebih banyaknya lagi, agan atau aganwati bisa observasi sendiri aja. Hhe. Buat laki-laki yang takut dibilang modus atau keganjenan atau pencitraan atau apalah kata mereka. Saranku sih jangan dihiraukan. Jadilah laki-laki yang berprikelaki-lakian (maskulin). Percaya deh, tampan di mata kami lebih berkualitas nilainya dari penilaian kalian terhadap perempuan secara fisik. Tampan di mata kami memang terlalu didramatisir. Tapi memang seperti itu faktanya. Laki-laki jangan cuma mikir ganteng. Rambut terawat. Wangi. Rapi. Stylish. Itu bisa jadi gak ada artinya apa-apa. Nomor satu itu, jadilah pria yang berprikelaki-lakian. Pria yang memiliki sifat-sifat yang memang layak ada pada diri laki-laki. *Camkan itu ya. Hhhe.. J

*Tulisan ini hanya berdasarkan testimoni penulis. Sekali lagi ditegaskan, bahwa cerita di atas bersifat relative dan kondisional. Dan bukan berdasarkan hasil observasi kepada banyak orang. Jadi woles aja ya, belum ada legitimasinya kok. Sekedar berbagi opini. Hihi. Salam! J





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu