Al-Qur’an secara frontal menjelaskan kepada kita. Bahwa
laki-laki adalah pemimpin kaum wanita
(coba buka Surat An-Nisa ayat 34). Alasanku begitu berani mengambil makna
alegoris dari ayat tersebut adalah rasa prihatin yang kian menjalar. Bahwa
sangat sedikitnya kaum pria pada masa kini yang tidak berprikelaki-lakian. Yaitu
pria yang tidak memiliki sifat atau sikap yang layak bagi seorang pria. Memang
dapat dikatakan betul, kalau sosok laki-laki itu identik dengan sifat dasar
mereka. Sebagaimana menurut para psikologi yaitu cuek, mengutamakan logika,
praktis, harga diri, berfikir masa yang akan datang, mengutamakan hasil dan
berfikir global. Tapi diluar itu semua, ada hal-hal kecil yang mereka abaikan
tapi menjadi suatu penilaian penting bagi kaum perempuan.
Seiring waktu kita tak pernah berhenti belajar, betul? Membaca
dalam Surat Al-Alaq bukan hanya bermakna membaca buku atau Al-Quran. Melainkan
membaca sikap orang lain. Membaca diri kita masing-masing. Membaca alam
kehidupan yang luas ini. Membaca perasaan orang lain. Membaca sekitar. Bacalah!
iqra’!perhatikanlah! amatilah! observasilah! segala sesuatu yang bisa kita
baca. Segala seuatu yang harus diperhatikan. Segala sesuatu yang layak kita
jadikan observasi. (Bukan observasi fisik seperti cerita yang akan kita bahas
di bawah ini ya). Maka ucapkanlah Maha Suci Allah yang telah menjadikan
Al-Quran sebagai pedoman hidup kita. J
Aku kira, tidak hanya kaum laki-laki yang sering menilai tindak
tanduk perempuan. Tapi (pasti) ada perempuan yang sering memperhatikan
laki-laki di sekitar mereka. Salah satunya adalah aku sendiri. YA. Bukan
berarti aku mengabaikan perintah Allah, “Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya…..” Karena yang aku baca adalah sikap
mereka. Yang aku perhatikan adalah akhlak mereka. Perbuatan dan segala tingkah
laku kaum yang katanya SUPERIORITAS itu? Well. Aku tidak pernah setuju dengan
itu. Di hadapan Allah, derajat kita, laki-laki maupun perempuan adalah sama.
Yups, yang membedakan adalah iman dan ketakwaan kita. J
Hm..aku tidak begitu tertarik
menilai satu persatu manusia lewat fisiknya. Secara fundamental toh fisik tidak
lebih dari seonggok daging yang menyelimuti tulang. Cantik itu kan katanya
relative? Tampan juga relative kan? Jadi biarkan saja yang lain menilai melalui
porsi mereka masing-masing. Oke, sudah agak melenceng rupanya kita dari isi
judul. Hhe..
Hipotesisku mengatakan bahwa laki-laki itu lebih pandai menilai
seorang perempuan. Khususnya apa-apa
yang mereka lihat dengan mata telanjang. *Waw..Sedikit mengkhawatirkan ya. Oya,
Aku jadi teringat dengan teman laki-laki
di kampusku. Bahkan kami sekelas. Cerita ini adalah salah satu bukti bahwa
laki-laki cenderung menilai perempuan melaui fisiknya. Saat itu kami sedang
duduk di depan kelas. Tentu itu tempat yang strategis melihat mahasiswa/i
berlalu lalang. Sambil ngobrol-ngobrol, sebut saja ia si A. Ia tertawa kecil
kepada teman di sampingnya yang juga temanku sekelas. Sebut saja si B. Aku agak
aneh kepada sikap mereka yang tiba-tiba tertawa kecil ketika
mahasiswi-mahasiswi berlalu di hadapan kami. Usut punya usut. Kepo punya kepo.
Akhirnya aku selidiki apa yang mereka bicarakan itu. Karena kebetulan jarak
kami hanya dipisahkan sekitar 4 atau 5 jengkol*Ups typo. Maksudnya jengkal. Jadi
aku cukup menarik daun telingaku saja agar lebih terdengar. Well, aku tetap
bisa pasang wajah calm and cool. :p
Kata si A kepada temannya dengan sedikit membisik tapi
Alhamdulillah gak sia-sia telingaku dibuka lebar jadi terdengar, “Ini 70.” Eh,
temannya justru tertawa, ia bilang,”65 65..Nah..yang ini nih..80”. Karena masih
bingung, sst! Aku melirik sedikit. Mengikuti arah sorotan mereka.
Astagfirullah..ternyata mereka sedang menilai mahasiswi yang dari tadi lewat. Please,
jangan tanya aku dari sisi mana penilaian mereka. Tapi yang membuatku menelan
ludah adalah saat si B mengatakan angka 80, tepat di depan mereka seorang
perempuan yang………*sensor 18+. Aah sudahlah. *Observasi macam apakah itu? Tidak
perlu diteruskan. Semoga ada hikmahnya aamiin.
Ok next. Yang aku perhatikan selama ini adalah ‘beberapa’
laki-laki telah kehilangan sisi kelaki-lakian mereka. Kembali ke awal. Banyak
laki-laki yang lupa bahwa posisi mereka adalah pemimpin bagi kaum perempuan.
Ada sedikit hal dimana mereka melupakan bahwa pada saat itulah posisi mereka
seharusnya ditempatkan. Laki-laki tidak hanya bertindak sebagai imam
(pemimpin). Atau kepala rumah tangga dalam keluarga. Dalam konteks yang lebih
kecil aku akan coba mengambil beberapa contoh dalam kehidupan sehari-hari yang
sering dilupakan oleh para pria.
Yang pertama. Mungkin hal sepele
bagi kebanyakan orang. Tapi hal penting untukku. Ketika seorang
laki-laki melihat seorang perempuan yang hendak menyebrang jalan. Tapi siapa
pun itu. Mau itu anak kecil, ibu-ibu, nenek atau kakek-kakek.*But ini bersifat
kondisional ya!! Siapa pun itu. Maka ia (sepatutnya) selayaknya membantu mereka
menyebrang.Wait..ini dalam posisi tidak ada jembatan penyebrangan atau zebra
cross. Sekalipun ada zebra cross, kita tahu bahwa pengemudi tidak banyak yang
sadar untuk menahan sebentar kemudinya. Lalu memberikan kesempatan untuk para
pejalan kaki yang lewat.
Ini juga jadi poin kedua.
Alangkah tampannya menurutku, ketika suatu waktu aku pernah menyebrang jalan
bersama teman. Seorang laki-laki di atas motornya, rela berhenti sebentar
membiarkan kami lewat. Dengan isyarat tangan yang mempersilahkan yang ia
tunjukkan kepada kami.”Ini baru namanya laki-laki.” Gumamku dalam hati. Tidak
peduli itu modus atau hanya pencitraan. Toh apa yang mau dibanggakan? Dia pake helm. Faktanya kan sedikit laki-laki
yang seperti itu. Bener gak?
Poin selanjutnya. Menurut kisah nyataku juga. Waktu itu aku
berada di stasiun Bogor. Aku terenyuh melihat seorang nenek menyeret sekarung
beras. Beliau kebetulan sudah melewati pintu e-ticketing. Sedangkan aku masih
dalam antrian. Aku perhatikan sambil merasa kasihan. Sekitar dua langkah sang
nenek berjalan sambil menyeret sekarung beras. Dari belakang menyambar sesosok
laki-laki muda mencoba mengalihkan bawaan itu kepadanya. Sang nenek terlihat
tersenyum. Dari jauh aku bersyukur nenek itu ada yang membantu. Aku fikir
memang laki-laki itu adalah saudaranya atau cucunya. Tapi ternyata bukan.
Ketika aku berdiri menunggu kereta di samping si nenek. Ia bilang kepada
ibu-ibu di sampingnya,”Alhamdulillah tadi ada laki-laki gak dikenal yang bantu
nenek bawa beras. Baik banget.” Dan bla-bla-bla aku gak ikut campur lagi dengan
omongan antara nenek dan ibu itu. Yang jelas, subhanallah banget gak laki-laki
seperti itu? Yang bilang itu mainstream sih terserah ya... J
So, apalagi ya. Hm.. ya. Laki-laki itu harusnya jangan
membiarkan seorang perempuan ketika di angkutan umum duduk di dekat pintu.
Kalau yang ini relatif dan kondisional. Tergantung posisi tempat duduk
angkutannya. Yang aku maksudkan disini itu angkutan perkotaan yang bangkunya 6 4
itu loh? Paham ya?Terus kan biasanya ada bangku kecil yang muat dua orang kan
ya deket pintu mobil itu? Ada laki-laki yang tidak peka membiarkan perempuan
duduk di dekat pintu. Padahal ia bisa turun dulu lalu membiarkan si perempuan duduk
di dalam. *Jadi gak deket-deket pintu banget gitu. Well, tapi pada tahu kan
mobil angkot yang aku maksud? Kalau gak mudeng, main deh ke Bogor. Selain
dijuluki Kota Sejuta Angkot. Gak main-main cara kemudinya yang sering ugal-ugalan.
Kepengen nandingin Buraq kali yaa? Nah loh, disitu posisi perempuan sedikit
terancam kalau dibiarkan duduk dekat pintu. Katanya laki-laki pemimpin kan ya?
Jadi dia juga harus menjadi sosok yang melindungi. Kecuali…emang dasarnya si
perempuan menolak dengan alasan tertentu. Ya gak dipaksa juga kali.
Terus terus teruss.. Laki-laki harus peka dong. Kalau di
transportasi umum, usahakan lebih utamakan perempuan untuk duduk. But, ini
berlaku bukan untuk perempuan aja. Tapi anak-anak, ibu-ibu, gadis sekalipun, orang
tua yang sudah lanjut usia, nenek maupun kakek-kakek. Tumbuhkanlah rasa empati
dan simpati dalam diri kita. PEKA COBA! Kurangi rasa cuek kalian itu.
Oke, mungkin itu hanya sebagian kecil contoh dari keseharian
yang aku amati. Lebih banyaknya lagi, agan atau aganwati bisa observasi sendiri
aja. Hhe. Buat laki-laki yang takut dibilang modus atau keganjenan atau
pencitraan atau apalah kata mereka. Saranku sih jangan dihiraukan. Jadilah laki-laki
yang berprikelaki-lakian (maskulin). Percaya deh, tampan di mata kami lebih
berkualitas nilainya dari penilaian kalian terhadap perempuan secara fisik.
Tampan di mata kami memang terlalu didramatisir. Tapi memang seperti itu
faktanya. Laki-laki jangan cuma mikir ganteng. Rambut terawat. Wangi. Rapi.
Stylish. Itu bisa jadi gak ada artinya apa-apa. Nomor satu itu, jadilah pria
yang berprikelaki-lakian. Pria yang memiliki sifat-sifat yang memang layak ada
pada diri laki-laki. *Camkan itu ya. Hhhe.. J
*Tulisan ini hanya berdasarkan testimoni penulis. Sekali lagi
ditegaskan, bahwa cerita di atas bersifat relative dan kondisional. Dan bukan
berdasarkan hasil observasi kepada banyak orang. Jadi woles aja ya, belum ada
legitimasinya kok. Sekedar berbagi opini. Hihi. Salam! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar